Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Impian si mantan
"Raya." Arya tercengang, tatkala sang mantan istri berdiri dihadapannya. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu dan Raya tampak berubah.
"Mau pesan apa, Pak?" tanya Raya, masih mode profesional dan tentu saja berpura-pura tidak kenal. "Kami memiliki menu baru, silahkan." Raya menyodorkan buku menu, tanpa membalas tatapan sang mantan suami.
"Kamu kerja disini? Mana, Lily?" tanya Arya lagi, yang sama sekali tidak peduli dengan buku menu dan Raya yang berpura-pura tidak mengenalnya.
"Maaf, Pak. Saya sedang bekerja. Tolong, kerjasamanya," ujar Raya sopan, namun dengan mata melotot. Ia kembali menyodorkan buku menu.
"Jawab aku, Ra. Mana Lily?"
Raya akhirnya muak dan langsung pergi. Arya yang tersadar, langsung bangkit dan mengejar Raya, tanpa peduli, dengan tatapan orang-orang.
"Ra, Raya!" teriak Arya.
"Ada apa ini?" tanya manajer restoran, yang menghentikan langkah Arya. Bahkan, melindungi Raya dibelakang tubuhnya.
"Maaf. Jangan ikut campur," jawab Arya, yang hendak menarik tangan Raya. Namun, sang manajer restoran menghempaskan tangan Arya dengan kasar.
"Anda mengganggu pekerjaan orang lain dan kenyamanan para pengunjung. Silahkan pergi, jika Anda tidak berniat untuk makan disini."
Arya menoleh kiri kanan, memperhatikan orang-orang yang kini fokus menatapnya tidak suka. Ia juga melihat Raya, yang sudah menghilang dari balik punggung pria kekar di depannya.
"Ingat, Raya. Aku akan kembali!" teriak Arya dengan lantang.
Raya mondar mandir di dapur sembari bertolak pinggang, ritme napasnya memburu dengan wajah memerah.
"Satu bulan lebih, dia baru bertanya? Bajingan!" desis Raya.
"Ra, kamu dipanggil sama pak manajer."
Raya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Ia mencoba menetralkan emosinya yang membuncah.
"Bapak, panggil saya?" tanya Raya basa-basi.
"Duduk." Sang manajer meletakkan buku yang ia baca dan menghadap Raya. "Boleh saya bertanya, tentang pelanggan tadi?"
"Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Dia mantan suami saya. Saya juga bingung, kenapa dia tiba-tiba seperti itu."
"Oh. Baiklah. Kali ini, saya memahami situasi kamu. Tapi, sebaiknya kamu menyelesaikan masalah dengan mantan suami kamu. Saya tidak mau pelanggan lain terganggu, hanya karena urusan pribadi kamu."
"Baik, Pak. Terima kasih, saya minta maaf dan saya janji, ini tidak akan terulang lagi."
"Lanjutkan pekerjaanmu!"
Raya kembali bekerja, seperti biasa. Namun, ia sudah tidak fokus, karena memikirkan Lily. Si mantan suami, yang tidak ada angin, tiba-tiba menanyakan keberadaan anak kandungnya. Padahal, terakhir kali mereka bertemu, ia hanya memamerkan istri barunya.
Meski kekalutan, menguasai pikiran. Raya tetap profesional saat bekerja. Ia tersenyum ramah dan sopan, saat menyapa pelanggan resto yang baru datang. Ia juga turut bernyanyi, tatkala seorang anak kecil merayakan ulang tahun di tempat itu. Raya tidak ingin kehilangan pekerjaan lagi, setelah drama di rumah sakit. Apalagi, alasannya hanya karena seorang laki-laki.
"Ra, ini dari chef. Katanya, bawa pulang."
Raya dengan senang hati, menerima bungkusan makanan. Dengan begini, ia bisa langsung pulang dan menikmati makanan ini bersama Retno. Sudah beberapa hari, ia hanya makan tahu, tempe dan sayuran. Bukan malas memasak, tapi bahan makanan yang terbatas, sebab belum sempat berbelanja.
"Duluan, yah," pamit rekan-rekannya. Raya hanya melambaikan tangan, sembari memeriksa isi tasnya, siapa tahu ada yang ketinggalan.
Kini dipukul sebelas malam, lalu lintas tampak sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang melintas. Raya mengecek aplikasi, memesan ojek online. Tapi, ia langsung terlonjak, saat lengannya ditarik seseorang.
"Masuk. Aku akan mengantarmu pulang." Tanpa permisi, Arya langsung menuntun Raya masuk mobil.
"Tidak perlu," Raya langsung menghempaskan tangan sang mantan suami dan berjalan kembali ke tempat semula. "Mau apa kamu?"
"Aku hanya mau mengantarmu pulang. Ini sudah larut."
"Aku rasa itu tidak ada hubungannya denganmu. Pergi!" usir Raya, yang kembali fokus pada ponselnya.
Seakan tak kenal menyerah dan malu, Arya masih menarik tangan Raya dan kali ini ia memaksa dengan kasar. "Kenapa kau masih keras kepala? Aku hanya mau menemui Lily. Dimana dia?"
Plak.
Akhirnya, Raya bisa melampiaskan amarahnya yang terpendam. Meski, tamparan itu rasanya belum cukup. "Sudah satu bulan lebih dan kau baru menanyakan putrimu. Kenapa? Apa istri barumu tidak membuatmu puas?"
"Karena kau tidak pernah memberitahuku keberadaan kalian," jawab Arya dengan nada tinggi. Alasan yang terdengar cukup masuk akal baginya.
"Kau punya nomor ponselku dan aku tidak pernah memblokir nomor ponselmu. Apa kau pernah menelpon? Tidak! Saat aku mengambil akta cerai, apa kau menanyakan putrimu? Tidak! Kau hanya memamerkan istri barumu, seolah dia memiliki kebaikan seluruh alam. Sekarang, kau tiba-tiba muncul dan bertanya. Lucu skali!" ejek Raya dengan sudut bibir terangkat.
Arya langsung bungkam, seribu bahasa. Namun, dengan egonya yang tinggi, ia tidak akan menyerah. Ia sudah susah payah menunggu, beberapa jam, ia tidak akan menyerah, apalagi pergi, setelah menemukan Raya.
"Berikan, Lily padaku!" ancam Arya. Ia tahu kelemahan Raya. Jika ia mengambil hak asuh, Raya tidak akan bisa berkutik. Wanita ini akan menyerah dan tentu saja, apa yang Arya inginkan akan terwujud. Ia membutuhkan Raya sebagai istrinya kembali. Hal yang baru terpikirkan, saat ia mulai bosan dengan pernikahan barunya dan disaat yang tepat, ia menemukan sang mantan istri.
"Benarkah?" Raya justru sumringah, "baiklah. Dengan begitu, aku bisa bekerja dengan tenang. Aku juga bisa bekerja ditempat yang jauh. Aku ingin mendaftar bekerja diluar negeri. Jika Lily bersamamu. Aku bisa pergi, tanpa beban."
Arya mengerutkan dahi. Kenapa reaksi Raya justru sebaliknya? Bukan ini, yang ia harapkan. Seharusnya, wanita ini memohon, bukan malah tersenyum dan ikhlas memberikan Lily kepadanya. Sekarang, ia bingung harus mengatakan apa. Karena, ia tidak berniat mengambil putri kandungnya.
"Aku tidak main-main, Raya. Jika aku mengambil Lily, jangan pernah berharap bertemu dia lagi!" ancam Arya, untuk kedua kalinya. Ia masih tidak percaya dengan reaksi yang Raya berikan. Ia ingin memastikan sekali lagi.
"Baiklah. Besok, aku akan mengantarnya ke rumah. Pendaftaran bekerja luar negeri, juga segera ditutup. Aku harus bergegas," ujar Raya lagi yang memberikan reaksi yang sama.
Arya kehabisan akal, ia kembali mencengkram lengan Raya dengan kasar. "Kau mau bersenang-senang dengan bebas, kalau Lily bersamaku. Iya?" Arya melotot.
Bugh.
Satu bogem mentah, mendarat dengan sempurna diwajah Arya. Pria itu, tersungkur dan mengaduh diatas tanah, yang tertutupi paving block. Arya menatap tajam, pria berkemeja hitam, yang kini berdiri tegak dengan tangan terkepal.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Adrian kepada Raya, dengan lembut. Bahkan, memeriksa setiap inci tubuh wanita itu, jika ada luka atau lecet.
Pemandangan, yang membuat darah Arya mendidih seketika. Kepalanya berasap, karena api cemburu. Ia tidak terima, apalagi pria itu terlihat mapan dari segi penampilan.
"Bajingan!" desis Arya kasar dan langsung berdiri dengan tegak.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat