Laura adalah seorang wanita karir yang menjomblo selama 28 tahun. Laura sungguh lelah dengan kehidupannya yang membosankan. Hingga suatu ketika saat dia sedang lembur, badai menerpa kotanya dan dia harus tewas karena tersengat listrik komputer.
Laura fikir itu adalah mimpi. Namun, ini kenyataan. Jiwanya terlempar pada novel romasa dewasa yang sedang bomming di kantornya. Dia menyadarinya, setelah melihat Antagonis mesum yang merupakan Pangeran Iblis dari novel itu.
"Sialan.... apa yang harus ku lakukan???"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADA ULAR BESAR DI TAMAN!!
Entah apa yang terjadi, sensasi hangat yang sudah lama tidak Edith rasakan, tiba-tiba dia rasakan saat ini. Rasa hangat yang halus dan berliku.
Ash terbangun dari tidurnya karena merasakan punggungnya yang diusap halus oleh tangan asing. Dia melirik ke belakang, melihat kedua mata Edith yang masih tertutup. Ekspresi tidurnya sungguh tenang. Ash kembali membelakangi Edith.
Ash menggehela napas ringan. Dia teringat dengan ucapan Dokter yang memeriksanya. "Anda tidak bisa terus-menerus menahan sihir Anda dengan obat penekanan. Anda membutuhkan bantuan Healer atau Saint demi kesembuhan Anda. Jangan melupakan jika Anda juga memiliki sihir Iblis. Hanya Healer atau Saint yang bisa menolong Anda" Ash tidak bisa berfikir tenang karena ucapan Dokter itu.
Jika Ash tidak segera menemukan Healer atau Saint yang cocok dengan dirinya, dirinya bisa mengamuk dan tentunya amukannya itu bisa berbahaya bagi orang disekitarnya. Ash mulai merasa mengantuk, karena perasaan lembut yang hangat mengalir dari punggungnya yang disentuh oleh Edith. Sentuhan itu, sungguh membuat kepala Ash menjadi ringan, dia bisa tidur dengan mudah. Yang sebelumnya, Ash mengalami insomnia berat akibat kekhawatirannya.
Pagi hari, Ash terbangun. Tubuhnya sungguh terasa ringan. Dia melihat ke arah punggungnya. Edith sudah tidak ada disana. Dia duduk perlahan. Memegang kepalanya yang biasa terasa berat namun kini menjadi ringan. Dia mengerakkan jari-jari tangannya. Eksistensi sihirnya terlihat dalam kadar normal.
"Adler...." Ash memanggil Prajuritnya.
Prajurit kemarin yang memojokkan Edith hingga membuat Edith berteriak mengatakan jika dia menyukai Ash, muncul. "Saya datang, Pangeran. Apa yang Anda butuhkan?' Tanya Adler sambil membungkukkan tubuhnya.
Adler melihat wajah Ash yang lebih segar dari biasanya. Ash terlihat lebih sehat, dia tersenyum melihat Pangeran yang dia abdi di hadapannya itu.
"Panggilkan aku Dokter Nox dan, selidiki Pelayan yang mengantarkan makanan untukku kemarin" Ash mengusap tempat tidur yang sebelumnya di gunakan Edith. Tempat itu sudah dingin, yang artinya Edith sudah lama pergi dari kamar ini.
"Hanya itu saja Pangeran?" Tanya Adler sekali lagi.
"Ah, ya. Hanya itu saja" Jawab Ash sambil bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil atasan Piyama miliknya yang dia lepas.
"Baik Pangeran. Saya akan segera kembali secepatnya" Jawab Adler keluar dari kamar Ash.
Ash meregangkan tubuhnya. Dia sungguh merasa lebih sehat hari ini. Dia melihat pantulannya dari cermin di lemarinya. Dia tersenyum tipis, "Jika itu perkiraanku benar, aku tidak akan mencari orang lain" Ucap Ash menatap pantulan dirinya.
Di sisi lain, Edith merasa terpukul. Dia berjongkok dipojokan dapur sambil menutup kepalanya dengan panci besar. Koki di sana mengelengkan kepalanya melihat Edith seperti itu, "Astaga, anak ini.... Apa yang kau lakukan di sini? Pelayan lainnya sedang bersih-bersih. Jika begini, kamu bisa kena marah" Ucap Koki itu membiarkan salah satu pancinya di kepala Edith.
Suara helaan napas terdengar dari dalam panci itu. "Ini adalah akhir kisah hidupku yang singkat sebagai seorang Pelayan" Ucap Edith memasukkan kedua tangannya ke dalam panci itu dan memakan permen cokelat yang ada di sebelahnya.
Para koki yang mendengar ucapan Edith tertawa, ucapan Edith terdengar seperti lawakan di telinga mereka. Edith menghela napas panjang lagi, "Sudah bisa dipastikan aku akan dibunuh oleh Ratu, jika ketahuan aku tidak sengaja tidur dengan Ash. Aaakh! Lagi pula! Aku tidak melakukan apa-apa pada Ash! Aku sungguh harus pergi dari sini" Edith sudah mencair di sana.
Suara diluar sana terdengar berisik. Edith membuka panci di kepalanya karena mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Edith mengintip, ternyata itu adalah sesama Pelayan yang memanggilnya. "Edith, aku butuh bantuanmu di taman. Kamu lagi santai kan?" Seorang Pelayan yang seumurannya mendatangi Edith dan segera menarik tangannya.
Permen cokelat yang Edith raub berjatuhan di lantai. "Ah! cokelatku!!!" Edith mengambil cokelatnya yang berjatuhan di lantai dan memasukkannya ke dalam saku di seragamnya bagian perut. Kemudian, Edith mengikuti langkah cepat rekannya itu yang buru-buru. "Kenapa dengan tamannya?" Tanya Edith melepaskan tangannya dari temannya itu.
Rekan Edith itu berhenti dan menatap wajah Edith dengan matanya yang ingin menangis. "A...ada ular....aku takut untuk mengusirnya" Ucapnya.
"Astaga, ayo kita singkirkan ular it-" "BRUK!" Baru saja Edith melangkahkan kakinya untuk berbelok di lorong menuju taman bunga itu, dia tidak sengaja menabrak seseorang yang akan berbelok ke arah yang berlawanan dengannya.
"Aduh! Apa matamu tid-" "Ah...." Seorang Pria berbadan tinggi dengan gaya rambut hitam panjang yang dikuncir, dan mengenakan kacamata frame gantung persegi itu menundukkan kepalanya untuk melihat Edith yang dia tabrak.
Kedua mata hijau Edith terbelalak lebar melihat iris biru milik pria itu. "Dia,.... Leonard Crizen! Dokter kepercayaan Ash!" Mulut Edith mengangah tanpa sadar saat melihat karakter kesukaannya muncul di hadapannya.
Adler tiba-tiba muncul dari sisi kanan Crizen itu. "Oh! Pelayan yang mencin-" Kemunculan Alder yang tiba-tiba itu, mengejutkan Edith. Edith langsung sadar dari lamunannya dan menarik Adler pergi bersamanya, serta temannya itu.
"HAH? Apa yang terjadi di sini?" Crizen terlihat bingung dengan apa yang terjadi dengannya. Crizen tolah-toleh. "Ya, aku harus ke Pangeran dulu" Ucapnya.
Adler melihat telapak tangannya yang digengam oleh Edith. Adler juga melihat ke sisi kirinya, teman Edith terlihat ketakutan dan dia meminta Edith untuk tidak berlari.
"Tunggu! Aku masih banyak urusan!" Ucap Adler yang dibawa lari oleh Edith.
"Singkirkan dulu urusanmu! Urusan kami lebih penting!" Tegas Edith mengenggam telapak tangan Adler. Dari gengaman itu, samar-samar Alder merasakan sensasi sejuk yang mengalir dari tangannya ke lengannya. "Apa ini?" Batin Adler melihat telapak tangan Edith.
Sampai di taman bunga, rekan Edith yang diketahui bernama Serra itu, menunjukkan tempat ular yang terakhir kali dia lihat. Dan beruntung bagi mereka, ular itu masih ada di sana. Ukurannya sungguh besar.
Adler mengeluarkan pedang besinya. Dia melihat perut ular itu yang diameternya kurang lebih 15 cm. "Kalian, tutup pintu tamannya. Jangan biarkan ular ini kabur" Ucap Adler.
Edith gerak cepat. Dia menutup semua pintu ataupun lubang yang bisa dilewati ular itu. Dia memperhatikan Adler yang mencari ujung kepala ularnya. Dan hampir memakan 14 menit bagi mereka, baru bisa membunuh ular jenis Python sepanjang 4.3 meter itu.
Adler mengibaskan pedang besinya yang terdapat darah dari ular tersebut sebelum dia masukkan ke dalam sarung pedangnya. Alder melihat ke arah dua pelayan perempuan itu. Dimana Edith terlihat memasukkan kepala ular itu yang bisa saja menggigit meski telah dipenggal dengan hati-hati ke dalam karung. Sedangkan, rekan Edith yang bernama Serra itu sedikit pun tidak berani mendekati tubuh ular itu.
"Emang agak lain" Batin Adler mengusap keringat di keningnya dan mendekat ke arah Edith. "Jika kalian melihat ular lainnya, segera minta bantuan penjaga lainnya, jika tidak ada aku" Pesan Adler.
Edith mendonggakkan kepalanya melihat wajah Adler yang berkulit matang dengan iris cokelat dan rambutnya yang sedikit kecokelatan itu. "Terima kasih Pengawal Tuan Muda! Maaf sudah merepotkanmu. Ah, ini untuk ucapan terima kasih dariku karena sudah membantu kami. Ulurkan tanganmu" Edith meminta Adler untuk mengulurkan tangannya.
Adler segera melakukannya dan Edith memberikan empat permen cokelat di telapak tangan Adler. "Cokelat?" Adler menatap permen cokelat di tangannya itu, kemudian menatap wajah Edith. Wajah Edith terlihat bersinar dengan senyuman cerianya itu. Adler mengalihkan pandangannya dan mengantungi empat permen cokelat itu.
"Sudahlah, aku harus pergi" Adler pergi dari tempat itu. Edith melihat ke arah Adler. Kedua telinga Adler terlihat memerah. "Penjaga Sialan! Aku akan membungkam mulut ember itu" Edith masih kesal karena ucapan Alder saat ada Crizen sebelumnya.