Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Di tengah meriahnya pesta itu berlangsung, Angga memilih mengajak Quin naik ke rooftop.
Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan karena sikap gadis itu kini sedikit melunak.
Setibanya di rooftop, Quin mengerutkan kening. Di tempat itu sudah terhidang makanan serta minuman di atas meja.
"Dinner romantis?" tanya Quin sembari menatap Angga yang sedang berdiri di hadapannya.
"Hmm, apa kamu menyukainya?" Angga tersenyum seraya ingin mendaratkan ciuman di bibir Quin. Namun, berakhir kecewa karena sang tunangan menahan bibirnya dengan jari telunjuk.
Bukannya senang akan usaha yang telah dilakukan Angga. Quin justru merasa perasaannya tak enak.
"Sayang, ayo," ajak Angga sembari menggenggam jemari Quin menuju meja makan.
Dengan patuh Quin menurut. Sesaat setelah duduk saling berhadapan, Angga tersenyum bahagia memandangi wajah cantik gadis itu.
'Calm down, Quin. Semuanya akan baik-baik saja,' batin Quin.
"Sayang, ayo kita makan. Lagian sejak tadi aku sudah lapar," cetus Angga kemudian mulai menyantap makanannya.
Melihat makanan yang tersaji cukup mengunggah selera, Quin pun ikut menyantap makanan itu dengan lahap.
Ketika ekor matanya tertuju ke arah segelas wine, ia tersenyum. Namun, sedikit merasa curiga. Takut kalau kalau minuman itu sudah dicampur obat perangsang.
Begitu selesai menyantap makanannya, Quin memilih meraih gelas berisi air putih lalu meneguknya hingga tuntas.
"Thanks for dinner," ucap Quin dengan senyum manis.
"Sayang, apa kamu nggak ingin mencoba wine-nya?" tawar Angga.
Quin bergeming sembari mengusap bibir dengan serbet makan. "Boleh deh," sahut Quin. Ia mengambil gelas wine lalu meneguknya sedikit.
"Dari rasanya saja, aku sudah bisa menebak, wine ini pasti mahal," tebak Quin lalu menghabiskan sisa wine-nya.
Angga tersenyum sembari mengangguk. "Wine itu mama beli seminggu yang lalu di Italia, sebelum ke kota J. Katanya kamu pasti menyukainya," timpal Angga.
"The best camer," puji Quin dengan senyum manis. Sedetik kemudian ia beranjak. "Angga aku ingin ke toilet. Apa kamu bisa menungguku sebentar?"
"Baiklah, tapi jangan lama-lama."
"Kemarilah sebentar," pinta Quin seraya merentangkan kedua tangan.
Tanpa pikir panjang Angga langsung beranjak dari tempat duduk. Menghampiri Quin lalu mendekapnya erat.
"Sayang, terima kasih untuk hidangan juga wine-nya, aku suka banget," bisik Quin dengan nada manja. "Jangan ke mana-mana tunggu aku di sini sehingga aku kembali. Aku masih ingin menikmati wine itu bersamamu."
Suara yang terdengar manja itu, membuat Angga tersenyum lebar. Ditambah lagi Quin kembali memanggilnya dengan sebutan sayang.
"Baiklah, aku akan menunggu," balas Angga dengan senyum mengembang sempurna.
Quin mengurai dekapan Angga. Mempercepat langkahnya menuruni anak tangga. Alih-alih ke toilet, ia malah langsung turun ke lantai satu.
"Damn it! Bisa-bisanya dia ingin menjebakku!" umpat Quin karena merasakan kepalanya mulai berat.
Sesaat setelah langkahnya terhenti di lantai satu, ia menghampiri Al juga Altaf yang sedang mengobrol di ruang tamu.
Quin lalu membisikkan sesuatu. "Al, ayo kita pulang sekarang dan segera antar aku ke rumah Damar. Kepalaku semakin berat."
Al hanya mengangguk lalu menatap Altaf. "Kak Altaf, kami pulang dulu, ya," pamit Al dan Quin.
"Baiklah, kalian hati-hati, ya," pesan Altaf dengan seulas senyum.
Sementara itu, Angga yang masih berada di rooftop, terus tersenyum merasa puas.
Satu jam sebelumnya, ia meminta beberapa pelayan untuk menyiapkan makanan di tempat itu.
Tak lupa, ia meminta supaya minuman milik Quin dicampur obat tidur.
"Sayang, maafkan aku. Kamu harus menjadi milikku malam ini. Dengan begitu kamu nggak akan memutuskan pertunangan kita melainkan mempercepat pernikahan kita," gumam Angga,
Sedangkan Quin juga Al yang kini sedang dalam perjalanan pulang, sedang mengobrol santai.
"Al antar aku ke Jalan xxxx no 36," pinta Quin sambil memijat kening turun ke pangkal hidung, karena semakin merasakan pening. "Al, ngebut dong!"
"Ini sudah ngebut Quin, kamu saja yang merasa lambat." Al terbahak.
Quin berdecak sambil memejamkan mata.
"Brengsek! Dia pikir bisa mengelabuiku, apa? Aku nggak sebodoh yang kamu pikirkan Angga!" gerutu Quin.
*****
Setibanya di kediaman Damar ....
"Al, thanks, ya. Besok aku akan menghubungimu," ucap Quin lalu turun dari mobil.
"Oke."
Tanpa pikir panjang, Quin langsung mengayunkan langkah cepat menghampiri pintu.
Sesaat setelah berada di dalam rumah, Quin semakin mempercepat langkah menapaki anak tangga. Yang ada di benaknya adalah, ingin segera merebahkan kepalanya di bantal empuk.
Setibanya di lantai dua, ia langsung masuk ke kamar. Hand bag-nya ia lempar begitu saja ke sembarang arah lalu menghampiri ranjang.
Tanpa pikir panjang, ia langsung merebahkan tubuhnya di benda empuk itu.
"Quin, ah, dia salah kamar," gumam Damar lalu menutup laptopnya. Menatap lekat gadis itu yang sedang tertidur di sampingnya. "Sepertinya dia dalam pengaruh obat tidur."
.
.
.
Sudah hampir satu jam Angga menunggu. Namun, Quin belum juga kembali.
"Quin, mana sih? Apa jangan-jangan dia sudah tumbang di dalam kamar?" Angga tersenyum penuh arti. "Sebaiknya aku ke kamar saja."
Dengan hati berbunga-bunga, ia segera ke kamarnya. Akan tetapi, berakhir kecewa karena Quin tak berada di ruangan itu.
Angga langsung berlari kecil menuruni anak tangga lalu menghampiri sang kakak. Berharap Quin masih berada di pesta itu.
"Kak, lihat Quin nggak," tanyanya.
"Loh, apa Quin nggak bilang sama kamu, jika dia mau pulang?" Altaf balik bertanya.
Angga bergeming seraya mengumpat dalam hati. 'Sial! Dia membohongiku. Rencanaku gagal total!'
Gagal sudah semua rencananya Angga untuk meniduri Quin. Niat hati ingin menjebak. Namun, apalah daya, sang tunangan lebih cerdik dari yang ia duga.
...----------------...