Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Hidup Diana semakin kacau. Setiap hari terasa lebih berat dengan bayang-bayang Arman yang terus mengganggunya, baik dengan pesan-pesan yang tidak pernah berhenti maupun dengan kunjungan tak diundangnya ke rumah mereka. Rafael semakin acuh, seperti dunia ini tidak lagi ada tempat untuknya. Ia merasa terabaikan, dan rasa marah serta penyesalan menguasai hatinya.
Di tengah kekacauan itu, sebuah kejadian yang tak terduga membuat Diana semakin tenggelam dalam rasa cemburu dan kebencian. Suatu sore, saat Diana sedang berbelanja di mall, ia melihat sosok yang tak asing lagi—Amara, wanita yang telah menjadi bayangan gelap di setiap pikiran Rafael.
Tapi kali ini, ada yang berbeda. Amara tampak berjalan dengan seorang pria tampan yang jauh lebih gagah dan karismatik daripada Rafael. Pria itu tinggi, berwajah tampan, dan dengan kepercayaan diri yang tak bisa disangkal. Diana merasa seolah dunia tiba-tiba berhenti berputar. Matanya menyipit, menatap Amara dan pria itu dengan penuh amarah.
"Dia... lebih baik dari Rafael," bisik Diana, hatinya dipenuhi rasa cemburu yang mendalam.
Amara, yang tampaknya sedang menikmati waktu bersama pria itu, tidak menyadari kehadiran Diana di sana. Namun, saat Diana melangkah lebih dekat, Amara akhirnya melihatnya. Satu detik keheningan tercipta antara mereka, sebelum Amara menyapa dengan senyuman tipis.
"Selamat sore, Diana," ucap Amara dengan suara tenang.
Diana menatap Amara dengan tajam, nafasnya terengah-engah. "Apa yang kau lakukan dengan pria ini, Amara?" tanyanya dengan nada yang penuh rasa tidak suka.
Amara sedikit terkejut, tetapi ia tetap tenang. "Dia teman lama aku, kenapa?"
"Teman lama?" Diana tertawa sinis, menatap pria itu dari atas hingga bawah. "Lihat dia, Amara. Apa kamu pikir dia lebih baik dari Rafael?"
Amara mengangkat alis, melihat Diana yang mulai kehilangan kendali. "Diana, kenapa kamu harus marah? Ini hanya teman, tak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Tapi kenapa kau selalu terlihat lebih bahagia tanpa Rafael?" kata Diana, suaranya mulai meninggi. "Apakah kau selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan, bahkan pria seperti ini?"
Pria di samping Amara, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut. "Tenang, Nona. Saya hanya teman Amara. Tidak perlu khawatir."
Diana semakin terpancing. "Aku tidak khawatir! Aku hanya... hanya muak melihat semuanya." Ia merasa emosi yang terpendam selama ini mulai meledak. "Kau yang selalu mencuri perhatian, Amara! Kau yang selalu lebih baik! Aku hanya ingin Rafael kembali, tapi dia malah acuh padaku. Sedangkan kau—kau—"
Amara terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia melihat perubahan drastis dalam diri Diana, sesuatu yang bahkan tidak ia duga sebelumnya.
Pria itu akhirnya menarik Amara sedikit menjauh, berbisik padanya, "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara."
Diana berdiri terpaku, hatinya bergejolak. Lihatlah, Amara memang selalu mendapat apa yang ia inginkan. Setiap kali Diana mencoba mendekati Rafael, Amara selalu ada, dan sekarang, Amara tampaknya menemukan pria yang jauh lebih baik darinya.
"Baiklah," kata Diana, menahan tangis. "Lakukan saja apa yang kau inginkan, Amara. Aku sudah lelah."
Sebelum Amara sempat menjawab, Diana berbalik dan pergi dengan langkah terburu-buru, meninggalkan Amara dan pria itu di tengah mall. Ia merasa cemburu, marah, dan terhina. Perasaan itu semakin mendalam saat ia menyadari bahwa ia bahkan tidak bisa mengendalikan kehidupannya sendiri, apalagi mendapatkan kembali kepercayaan Rafael.
Setelah Diana pergi dengan terburu-buru, Amara merasa cemas dan bingung. Dia tahu Diana sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Tapi perasaan cemburu dan kebencian yang baru saja dilihatnya membuat Amara merasa sulit untuk menghadapinya. Ferdi, yang saat itu bersamanya, mulai memperhatikan ekspresi Amara yang berubah.
"Amara, apa yang sebenarnya terjadi dengan Diana?" tanya Ferdi, yang masih belum sepenuhnya paham tentang hubungan mereka. "Kenapa dia bisa begitu marah?"
Amara menghela napas panjang, berusaha menjelaskan. "Diana dulu sahabatku. Tapi semuanya berubah ketika Rafael memilihnya dan meninggalkanku. Mereka menikah, dan itu membuat segalanya rumit. Diana tidak pernah benar-benar melupakan itu, dan sekarang aku bisa merasakan cemburunya. Dia merasa terancam dengan kehadiranku."
Ferdi menatap Amara dengan cemas. "Aku bisa melihat betapa Diana cemburu, Amara. Tapi bukankah kamu sudah move on? Kenapa pertemuan ini masih mempengaruhi kamu begitu dalam?"
Amara menunduk, sejenak terdiam. "Aku memang sudah mencoba untuk move on, Ferdi. Tapi tidak mudah. Rafael dan aku punya sejarah yang tak bisa diabaikan begitu saja. Dan kini, aku harus melihat dia bahagia dengan Diana, meski mereka berdua sedang terjebak dalam masalah mereka sendiri."
Ferdi meraih tangan Amara dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Aku mengerti, Amara. Tapi kamu sudah bersama aku sekarang, dan itu yang harus kamu fokuskan. Diana perlu menghadapi masalahnya sendiri. Kita tidak bisa selalu ada untuknya."
Amara menatap Ferdi, lalu mengangguk pelan. "Kamu benar, Ferdi. Aku tidak bisa terus hidup di masa lalu. Mungkin sudah saatnya aku melepaskan semuanya, termasuk Diana. Tapi... aku masih khawatir tentangnya. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Ferdi menggenggam tangan Amara lebih erat. "Kita bisa berbicara dengannya, Amara. Kalau kamu merasa ini perlu, aku akan mendukungmu. Tapi kita juga harus ingat bahwa hidup kita harus terus berjalan."
Amara merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Ferdi. Dia tahu, meskipun Diana adalah bagian dari masa lalunya, dia harus menghadapinya dengan cara yang lebih dewasa. Amara juga sadar bahwa jika dia ingin bahagia dengan Ferdi, dia harus melepaskan semua rasa cemburu dan kebencian yang masih tertanam di hatinya.
Sementara itu, Diana yang telah pergi dengan marah, merasa semakin terpuruk. Ia tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaannya yang semakin kacau. Saat melihat Amara bersama seorang pria yang lebih tampan dan gagah dari Rafael, ia merasa harga dirinya terinjak. Perasaan cemburu itu semakin menguasainya, dan kini dia merasa semakin terjebak dalam kehidupan yang penuh kebohongan dan penyesalan.
Setibanya di rumah, Diana tidak bisa menahan amarahnya. Begitu pintu ditutup, dia langsung melempar tas tangannya ke meja dengan keras. Seluruh tubuhnya bergetar, dipenuhi dengan perasaan cemas dan kesal. Di luar sana, Amara tampak bahagia dengan Ferdi, sementara dirinya sendiri terperangkap dalam kekacauan hidup yang tak kunjung reda.
Diana meremas rambutnya frustasi. "Kenapa kehidupan Amara selalu lebih baik dariku?" pikirnya dengan suara parau. "Aku sudah mendapatkan Rafael, tapi apa yang kudapatkan? Kehidupan yang lebih rumit, penuh kebohongan, dan perasaan yang terus mengganggu."
Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menatap kosong ke luar jendela, merasa cemas dan lelah. Sejak menikah dengan Rafael, segalanya tampak berbeda dari apa yang ia bayangkan. Apa yang dia kira akan menjadi kebahagiaan ternyata berubah menjadi beban yang semakin berat. Hubungannya dengan Rafael semakin renggang, dan meskipun ia berusaha mempertahankan pernikahannya, Diana merasa terperangkap.
Teringatlah dia dengan Arman, pria yang ia temui di aplikasi kencan beberapa waktu lalu. Awalnya, Arman tampak seperti teman biasa, tapi lama-lama dia mulai menggoda dan mengganggu kehidupan Diana. Meski Diana tidak pernah menginginkan hal itu, Arman tetap tidak berhenti menghubunginya, bahkan datang ke rumahnya tanpa diundang. Kehidupan Diana yang sudah penuh tekanan semakin kacau dengan gangguan yang datang dari Arman.
"Kenapa aku begitu bodoh?" Diana merintih, meremas kedua tangannya. "Aku bahkan tidak bisa mengendalikan hidupku sendiri. Aku terus-menerus merasa kalah... bahkan dengan Rafael yang sudah kumiliki, aku tidak pernah merasa puas."
Hatinya terasa sesak. Diana merasa terjebak dalam sebuah lingkaran tak berujung. Di satu sisi, ia merasa iri dengan Amara, yang meskipun telah kehilangan Rafael, tetap terlihat bahagia dengan hidupnya. Sementara dirinya, meskipun sudah mendapatkan segala yang ia inginkan, justru semakin kehilangan arah.
Dia kemudian membuka ponselnya dan melihat pesan dari Arman. Pria itu terus mengirimkan pesan-pesan yang menggoda dan menuntut perhatian. Diana merasa kesal dan bingung. "Kenapa dia terus mengganggu aku?" pikirnya. Meskipun ia merasa risih, Diana juga tak bisa menahan rasa ingin tahu yang muncul.
Ketika Diana membuka pesan dari Arman, dia semakin merasa terperangkap. Arman semakin memaksanya untuk bertemu, membuatnya merasa tak bisa keluar dari jerat yang ia ciptakan sendiri. Diana tahu bahwa Arman bukanlah pilihan yang baik, tetapi hatinya yang kacau membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
"Kenapa hidupku seperti ini?" Diana merintih, menatap bayangannya sendiri di kaca. "Aku sudah mendapatkan semua yang aku inginkan, tapi malah merasa hampa dan tak bahagia."
Kehidupan Diana semakin terpuruk. Bahkan setelah merebut Rafael dari Amara, ia merasa semakin kesepian dan terisolasi. Perasaan cemburu terhadap Amara, ketidakpuasan terhadap Rafael, dan gangguan Arman semakin membuatnya merasa tidak bisa mengendalikan hidupnya. Setiap langkah yang ia ambil hanya semakin mendalamkan jurang kesulitan yang ia hadapi.