Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Bekal bersama Saila
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Bukannya aku terlalu tinggi berharap, kamu saja selalu menarikku dengan magnet anganmu.—...
...꒰✘Д✘◍꒱...
Sambil membalas surat untuk Nona Ikan Guppy, Dikta menyelipkan satu box berukuran sekepalan tangan yang berisi bola-bola jeruk cokelat dengan bungkus penuh estetika, berpita corak cokelat.
Pada bagian dalam bola-bola jeruk cokelat itu terdapat cokelat lembut melumer, sedangkan pada kulit jeruknya yang jingga bisa dimakan karena terbuat dari bahan cokelat juga. Dikta meletakkannya di atas surat balasan.
Semoga kamu suka cokelatnya, batin Dikta merindu.
Balasan tulisan Dikta, ✒Habis permen kentang asam-manis yang memanjakan indra pengecap, terbitlah jeruk cokelat yang melumer sampai ke jiwa. Dihabiskan ya, Pypy.
Pypy diambil dari kata belakang GupPy, sebagai panggilan manja dari Dikta untuk Nona Ikan Guppy yang memanggilnya Tata.
Di saat Dikta kepayahan memasang plester dengan melihat melalui layar smartphone, Saila memutar badan menghadap ke arahnya.
"Mau aku bantuin, Dikta?" tawar Saila dengan suara imut dan mata membulat teduh.
"E-bantu plester!" Dikta terperanjat. Bahasa gadis di depannya sangatlah halus piawai, tapi membuat Dikta kejang-kejang.
"Hihi!" tawa Saila melihat kagetnya seorang Dikta dari dekat.
Jantungnya Dikta hampir terpacul rasanya setiap Saila dengan rela menoleh ke belakang untuk melihatnya. Yang pasti, Dikta berkeyakinan kuat bahwa Saila adalah Nona Ikan Guppy. Sayangnya, Dikta terlalu takut untuk menuduhnya.
Mentang-mentang nama belakang Saila adalah Guppy, apakah seratus persen gadis itu adalah Nona Ikan Guppy yang menghangatkan hati Dikta selama ini?
"B-boleh," kata Dikta yang pasrah ketika plester dari tangannya diambil pelan oleh Saila. Dikta berniat mengimbangi bagaimana cara Saila berlaku dan bertutur kata.
Saila pun tanpa ragu memutar bangkunya agar benar-benar menghadap meja Dikta. Dia tersenyum malu sembari menempelkan plester itu tepat ke kening Dikta yang masih ada bekas luka.
Mata Dikta sampai berkedip cepat ketika merasakan rabaan lembut telunjuk mungil Saila, yang mana menyentuh kulit dahinya yang berkeringat. Dikta sampai tidak rela kalau jari Saila ternoda karena menyentuhnya.
"Udah," kata Saila berbinar menatap mata baswara Dikta dengan lekat. Jemari Saila menyisir lembut poni Dikta hingga menyelimuti si Plester.
Sungguh, Dikta tidak menyalahkan hatinya kali ini, tatapan Saila benar-benar sebagai isyarat bahwa dia adalah Nona Ikan Guppy. Namun, dari mana Dikta akan memulai pembahasan itu, sedangkan Saila tidak ada mengatakan sesuatu yang menjadi penguat.
"Makasih," ucap Dikta berusaha mengatur napas. Dia tidak ingin terlihat gugup, tapi reaksi tubuhnya tidak bisa bermain dusta terlalu banyak. "Kamu sampai repot memutar kursimu, Saila."
Saila menggeleng kecil, artinya tidak repot sama sekali.
Tiba-tiba Dikta berpikiran untuk menjebak Saila dengan memberi sebuah pertanyaan. "Saila, kamu beli plester ikan guppy ini di mana?"
Saila mengedikkan bahu, lalu menjawab, "Itu 'kan plestermu, Dikta."
Dikta mengerutkan dahi atas jawaban itu seolah-olah Saila bukanlah Nona Ikan Guppy.
Ah, masa sih?! Pasti dia pura-pura nggak tahu biar aku gagal bukti'in, batin Dikta lesu dan merasa bodoh.
Saila mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah wadah makanan berisi banyak bekal miliknya ke hadapan Dikta. "Kita ... sebagai ketua kelas dan wakil di hari pertama, kamu mau membantuku menghabiskan bekal ini, Dikta?"
Dikta terlena bukan main mendengar Saila berbicara banyak padanya. Bukannya ge'er, tapi inilah kenyataannya. Saila terus mengajak Dikta berinteraksi, tapi gadis itu tidak terlalu menggubris murid lainnya.
"A-aku?" tanya Dikta tidak menyangka.
Dikta dan Saila belum menyadari jika beberapa murid 12 IPA 2 begitu antusias membicarakan keterikatan keduanya.
Saila mengangguk dengan binar. "Kamu kayaknya males ke kantin, tapi kelihatan lapar, Dikta Manik."
Gregetan sekali Dikta mendengar Saila memanggilnya begitu, ditambah dengan irama manja yang membuat Dikta pingsan di dalam.
Ah—ngomong-ngomong, tentu saja Dikta kelaparan usai muntah banyak di toilet sekolah. Semua nasi goreng kerang buatan nenek ludes dari lambungnya.
Dikta terperangah saat melihat Saila sudah menyiapkan dua sendok makan—warnanya cokelat dan kuning.
Apa jangan-jangan ... seharusnya bekal ini dimakan Saila bersama Arjuna? batin Dikta mulai aneh-aneh dan tidak fokus dengan ajakan Saila.
"MINGGIR!!!" tepis Puri kasar pada lengan Saila yang memegang sendok. "Ups! Haha!" tawa Puri melihat salah satu sendok Saila—berwarna cokelat—sudah jatuh ke lantai menyatu dengan kuman. Ada beberapa murid yang berjalan dan tak sengaja menendang sendok itu.
Padahal, sendok cokelat yang dipegang Saila tadi akan diberikan kepada Dikta. Namun, rencana mengajak makan berdua dengan Dikta pun gagal, membuat bibir Saila mengerucut. Mudah saja jika Saila ingin melawan Puri balik, tapi dia ingin melihat reaksi Dikta.
Tak sanggup Dikta menyaksikan kedua netra indah Saila mulai berair dengan bibir mengerucut. Lantas, dia memarahi Puri. "Pur-ikan! Lo kenapa sih, gangguin gue sama Saila yang mau makan?!"
Puri makin merengek karena Dikta membela Saila. Dia menarik paksa lengan Dikta sampai Tuan Kuda Laut itu ikut berdiri dari kursinya.
"Jajan sama gue aja, Dikta! Ngapain makan bekal nggak enak punya dia?!" sebal Puri yang berniat mengajak Dikta keluar kelas. "Kok lo mau aja 'sih diajak makan sama orang yang baru gabung kelas kita? Kalau di makanannya ada racun, gimana?"
Saila mengejam ke arah Puri yang asal bicara.
Dikta mengembus napas lejar atas sikap Puri yang masih belum jera membuat Lingga cemburu. Tak sengaja minat Dikta tertuju kembali pada sendok cokelat Saila yang berada di lantai.
Dikta lebih memilih mengambil sendok itu daripada terus berada di gandengan Puri. Kemudian, sebuah tulisan di bagian belakang tangkai sendok cokelat itu membuat Dikta tertegun beberapa detik.
"Ih, Dikta! Itu sendok kotor!" marah Puri, keki.
Dikta kembali ke tempat duduknya, lalu bercakap pada Saila, "Sendok ini kotor, tapi aku lagi malas untuk mencucinya. Gimana kalau kita makan pakai sendok kuningmu sama-sama, Saila?"
Puri syok mendengarnya. "Dikta, lo udah gila!!!"
Saila tersenyum dan meluluskan ajakan Dikta. Setelah itu, diam-diam Saila menjulurkan lidah ke arah Puri sebagai tanda kejayaan.
Puri naik pitam dan berniat merenggut habis rambut panjang Saila. Dia tidak menyangka sosok Saila yang dikenal pendiam, ternyata bisa nakal! Sayangnya, niat Puri untuk menjambak Saila pun gagal karena Lingga datang kembali ke kelas.
"Mau lihat gue berantem lagi?" kesal Lingga pada Puri yang tidak jera mengajak Dikta jajan.
Puri memutar bola matanya malas, terpaksa mengalah.
Tangan kanan Lingga yang tidak cedera langsung menggandeng lengan Puri untuk mengajaknya ke kantin.
Menu bekal Saila adalah nasi goreng dengan sosis mini, tak lupa telur ceplok yang memiliki hiasan bentuk mata berlinang marah.
"Hahah!" tawa Dikta gara-gara rupa telur itu.
"Kenapa Dikta ketawa?" tanya Saila penasaran.
"Mata telurnya mirip mata kamu waktu sebel sama Puri," jawab Dikta mengulum tawa.
Saila terkekeh kecil dan membalas, "Mirip juga sama mata Dikta yang sebel lihat pak Satria. Pfffttt!"
"Iyeee, keh?" balas Dikta yang mencoba terbiasa memandangi wajah Saila dari dekat meski jantungnya depresi.
Sebelum makan, Saila yang tak berhenti mesem-mesem pun bertanya, "Ini makannya mau bergantian sendok atau ... Dikta mau aku suapin?"
Bersambung ... 👑