EKSKLUSIF HANYA DI NOVELTOON.
Jika menemukan cerita ini di tempat lain, tolong laporkan🔥
Hari ulang tahunnya dan juga saudari kembarnya yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka, justru berakhir duka. Berliana mengalami kecelakaan. Dan sebelum meninggal dunia, Berliana memberikan wasiat agar sang suami, Dion Ananta, menikahi kembarannya yakni Binar. Demi kedua buah hati mereka yang belum genap berumur satu tahun yakni Devina dan Disya.
Binar Mentari Mahendra terpaksa menikah dengan kakak iparnya demi kedua keponakannya yang sangat membutuhkan figur seorang ibu. Pernikahan yang membawa nestapa baginya karena hanya dianggap sebatas istri bayangan oleh suaminya.
Padahal di luar sana ada lelaki yang begitu mencintai Binar walaupun usianya lebih muda dua tahun darinya yakni Langit Gemintang Laksono. Satu-satunya orang yang mengetahui rahasia penyakit Binar.
Simak kisah mereka yang penuh intrik di dalamnya💋
Update Chapter : Setiap hari.
🍁Merupakan bagian dari Novel Bening☘️ONE YEAR
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Safira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 - Pingsan
Satu minggu kemudian.
Arjuna sekeluarga berziarah ke makam Berliana di San Diego Hills Memorial Park and Funeral Homes, Karawang, Jawa Barat. Brahma, Bisma dan Eyang Lina pun turut hadir di sana.
Tak ada yang menangis saat itu. Karena sebelum berangkat, Arjuna yang meminta pada semua orang bahwa tujuan mereka hanya untuk berziarah dan mendoakan mendiang Berliana. Sehingga jangan sampai ada yang menangis karena mendiang Berliana orangnya periang dan tak mudah menangis.
Sebagai Papa, Arjuna tak ingin mendiang putri sulungnya yang sudah tenang dan berada di sisi Allah SWT tersebut bersedih jika melihat keluarganya masih menangisi kepergiannya. Dan acara ziarah tersebut berlangsung lancar dan khidmat. Semua keluarga mematuhi perintah Arjuna. Bahkan si kembar juga tidak menangis di depan makam ibu kandungnya.
Binar pun mengelus nisan sang kakak.
"Maafkan aku jika suatu saat nanti tak bisa memenuhi janjiku pada kakak dengan sempurna," batin Binar.
"Maafkan aku sayang, jika belum bisa memenuhi janjiku padamu untuk menjadi Ayah yang sempurna buat Devina dan Disya serta suami yang baik untuk adikmu. Kini aku ikhlaskan kepergianmu, Ber. Semoga aku bisa memperbaiki semuanya semampuku," batin Dion di depan pusara mendiang Berliana.
☘️☘️
Satu bulan kemudian.
Kehidupan rumah tangga Dion dan Binar terbilang masih datar. Walaupun kini Dion sudah tidak ketus pada Binar. Namun masih terlihat ada jarak yang terbentang di antara keduanya. Terlebih mereka masih tidur pisah kamar.
Komunikasi keduanya masih dominan tentang si kembar terutama saat Dion sedang ke luar kota seperti sekarang ini. Namun sudah satu bulan ini, Dion mempekerjakan seorang art di rumahnya untuk membantu menjaga si kembar terutama saat Binar bekerja serta melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih. Namanya Bik Ima (55 tahun).
"Papi kok ja_ llang pulang sih, Mi! Dicaa aneen main ba leng ama Papi," keluh Disya menjelang tidur.
"Sabar ya sayang, kan Papi lagi kerja di Lombok. Papi kerja cari uang yang banyak buat masa depan Kak Devina dan Disya. Besok atau lusa katanya Papi sudah pulang kok," ucap Binar berusaha menenangkan rengekan Disya.
"Mami kok uucat muka na?" tanya Disya.
"Mirip antuu putih di tipi-tipi muka na Mami ta kayak meelekaa. Hehe..."
"Ah, ini mungkin tadi Mami kasih bedaknya ketebalan. Nanti di mobil Mami hapus kok sayang biar gak putih kayak hantu. Hehe..."
"Mami mo ke mana?"
"Mami mau kerja dulu, sayang. Tapi ini cuma sebentar saja kok. Setelah selesai operasi nanti Mami segera pulang," jawab Binar.
"Tadi pagi Mami kan uda kel ja. Kok cekalang kel ja lagi?" tanya Disya kembali yang heran karena tadi pagi Binar sudah kerja. Baru pulang beberapa jam, malam hari sudah kerja lagi.
"Mami harus bantu orang untung operasi ya sayang. Besok Mami jelasin lagi. Sekarang Mami buru-buru berangkat. Kak Devina dan Disya malam ini boboknya ditemani Bik Ima dulu ya sayang,"
"Ya Mami," jawab keduanya.
Akhirnya Binar pun menitipkan anak-anak pada Bik Ima. Jam sembilan malam, Binar langsung melesat mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Ya, malam ini dirinya mendadak mendapatkan panggilan dari rumah sakit untuk membantu dokter senior menangani operasi pasien gawat darurat.
Profesinya sebagai seorang dokter memang tak mengenal waktu. Harus siap sedia jika ada pasien. Terlebih dalam kondisi gawat darurat. Banyak nyawa yang membutuhkan bantuannya sebagai perantara dengan Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan.
Apalagi dirinya masih dokter muda yang sedang tahap akhir dalam menyelesaikan persyaratan untuk mengambil kuliah jurusan spesialis kedokteran anak. Tentu langkahnya yang tinggal sedikit lagi, tak akan ia sia-siakan. Lagi pula menjadi seorang dokter memang cita-citanya sejak kecil.
☘️☘️
Setibanya di rumah sakit, Binar tengah bersiap ke ruang operasi. Namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti sejenak.
"Euu ggh..."
"Ya Tuhan, kenapa nyeri ini harus datang sekarang. Aku mohon jangan dulu," gumam Binar lirih seraya menahan rasa nyeri yang timbul tenggelam.
Tangan kanannya sedang memegang tembok rumah sakit untuk menahan bobot tubuhnya agar tidak tumbang. Sedangkan tangan kirinya memegang perutnya yang terasa nyeri.
Sudah satu bulan ini Binar sudah jarang merasa nyeri di bagian perutnya. Namun, malam ini mendadak nyeri itu muncul kembali tanpa ia duga. Bahkan lebih sakit dari biasanya.
Setelah beberapa menit Binar mampu mengontrol kembali dan minum obat pereda nyeri seperti biasanya, ia bisa melanjutkan langkahnya kembali ke ruang operasi. Karena nyeri tersebut mereda.
Akhirnya, satu setengah jam operasi berlangsung dengan lancar. Walaupun kondisi tubuhnya sedang tidak enak badan. Para dokter dan suster sudah beranjak keluar dari ruang operasi setelah pasien yang mereka tangani sudah dinyatakan boleh dibawa ke ruang perawatan.
Tinggal Binar dan seorang dokter senior di dalamnya. Setelah berganti baju, Binar pun keluar dari area operasi.
"Wajahmu kok pucat, Bin?" tanya salah seorang dokter senior yang juga berada di ruang operasi bernama Dokter Fatma.
"Iya, Dok. Mungkin kecapekan saja sama kurang tidur," jawab Binar singkat.
"Ya sudah, setelah ini langsung pulang saja. Kalau memang besok masih enggak enak badan lebih baik kamu ambil cuti beberapa hari," saran Dokter Fatma.
"Makasih, Dok."
"Masih kuat nyetir? Atau pulang bareng aku saja. Biar besok suamimu atau kamu suruh orang ke sini buat ambil mobilmu. Daripada kenapa-napa di jalan," ucap Dokter Fatma kembali menyarankan pada Binar dengan mimik wajah cukup khawatir melihat Binar yang memang tampak pucat.
"Makasih, Dok. Saya mau ke ruangan Dokter Meta sebentar, ada perlu. Dan kebetulan beliau menunggu saya hingga selesai operasi," ucap Binar.
"Oh begitu. Ya sudah aku pamit duluan ya karena suamiku sudah jemput aku di parkiran," ucap Dokter Fatma seraya berpamitan.
"Hati-hati di jalan Dok," ucap Binar.
"Iya cantik. Kamu juga jaga kesehatan," balas Dokter Fatma lalu masuk ke dalam lift dan Binar kembali berjalan ke lorong rumah sakit.
Ruangan Dokter Meta ada di lantai yang sama dengan tempat operasi yang baru saja selesai. Hanya saja berada cukup jauh dari area tempat Binar berjalan sekarang.
"Eug hhh..."
"Ya Tuhan, sakit..." ucap Binar lirih seraya menahan nyeri kembali yang datang di perutnya dan rasanya semakin hebat. Kepalanya tiba-tiba pusing dan pandangannya menggelap seketika.
BRUKK...
Binar mendadak pingsan dan tubuhnya kini tergeletak di lantai rumah sakit tepatnya di ujung lorong yang sepi. Dalam kondisi sedang tidak ada seorang pun yang lewat di sana.
Sedangkan di dalam lift, Dokter Fatma sibuk memikirkan sesuatu yang menurutnya cukup aneh di benaknya.
"Ada perlu apa ya Binar bertemu Dokter Meta? Bahkan Dokter Meta rela menunggu Binar sampai selesai operasi. Padahal kan Binar mau ambil spesialis anak. Dokter Meta kan bukan Dokter Spesialis Anak. Apa ada hal penting antara mereka berdua di luar urusan kuliah Binar?" batin Dokter Fatma.
Bersambung...
🍁🍁🍁
Bantu Like💋
msh blom puas?
cerdas dan pinter dan tanggap
kan sudah besar ditinggal binar aja umur a 3thn lah sekarng di+ 5 thn kemudian kn sudah besar🙏