Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Cewek Pertama
Mobil beranjak meninggalkan terminal, Medi menyampaikan permohonan maaf karena sambutan dan penjemputan Kaisar biasa saja, bahkan penjemputan hanya menggunakan mobil sejuta umat milik Medi pribadi. Tentu saja pria ini tahu kalau Kaisar bukan karyawan biasa di kantor pusat.
Kaisar sudah kesal semenjak menerima surat tugas bahkan sampai tadi pagi saat ia berangkat pagi tadi. Johan melarang Kaisar membawa mobilnya ke lokasi, sangat kontras dengan keadaan di sana.
Dari apartemen Kaisar dijemput travel dan hanya diantarkan sampai terminal. Sudah menyampaikan itu pada Medi dan akan dijemput, ternyata langsung dijemput oleh kepala cabang dan yang menyebalkan ada miskomunikasi menyebabkan dia menunggu terlalu lama. Dalam perjalanan dari terminal menuju kantor kurang lebih dua jam perjalanan menggunakan mobil.
Kalau tidak ada Medi dan Rumi, Kaisar mungkin akan mengumpat melihat jalanan rusak bahkan di beberapa titik yang mereka lewati ada genangan air. Jangan ditanya becek atau tidak, yang jelas sangat parah di mata pria itu.
“Kalau di sini, tidak akan kena macet Mas, tapi ya begini keadaannya. Jalan harus pelan karena banyak jalan berlubang.”
Kaisar hanya mengangguk saja, beruntung dia tidak memaksa membawa mobilnya. Apa jadinya mobil itu dibawa ke sini, sudah pasti akan rusak parah.
“Pak Medi, mampir dulu,” seru Rumi mengingatkan.
“Mampir kemana lagi, gue udah pengen ngerokok. Mulut pahit banget,” batin Kaisar.
“Oh iya, kita makan siang meski agak telat. Mas, ini ada warung makan lumayan terkenal di sini karena rasanya enak. Sop Iga Ceu Lena, moga Mas Kaisar cocok ya,” tutur Medi dan kali ini Kaisar hanya menjawab dengan berdehem.
“Pak Kaisar ini nggak punya mulut apa gimana, dari tadi hanya angguk-angguk kayak golek dan berdehem seperti lagi nahan mules,” ujar Rumi lirih pada Medi saat mereka memasuki rumah makan dan Kaisar berjalan di depan.
“Sstt, kamu itu, jangan ngomong sembarangan.”
***
Kaisar memundurkan kursi yang diduduki lalu membakar sebatang rokok. Rumah makan tersebut bukan area no smoking, terlihat pelanggan lainnya juga merokok setelah makan dan Medi sudah lebih mengawali.
“Saya pikir Mas Kaisar tidak merokok,” seru Medi.
“Tergantung kebutuhan,” sahut Kaisar pendek.
Medi mengangguk, membuat Rumi yang tidak suka dengan gaya kedua pria itu merokok lalu melayangkan pandangan ke arah jendela.
“Gimana rasa makanannya?” tanya Medi lagi.
“Not bad,” sahut Kaisar lalu menghembuskan asap rokoknya ke arah lain, tidak ingin membuat ngebul ke depan Rumi.
Sepertinya Kaisar tidak ingin berekspektasi tinggi dengan daerah itu. Mulai dari jalanan dan lingkungan, tidak mungkin mendapatkan restoran apalagi cafe mewah. Medi terlihat fokus dengan ponsel, Kaisar menoleh ke arah Rumi. Sejak tadi gadis itu tidak bersuara.
Penasaran dengan pandangan Rumi, Kaisar ikut menoleh lalu mengernyitkan dahi karena tujuan tatapan gadis itu mengarah pada pasangan muda-mudi yang siap menaiki motor di parkiran depan rumah makan.
Pasangan yang menjadi pusat perhatian Rumi terlihat begitu romantis. Si lelaki memakaikan helm dan memastikan sudah aman lalu tersenyum penuh arti. Pundaknya disentuh saat si perempuan saat naik dan duduk di belakang.
Rumi mencibir menyaksikan hal tersebut, Kaisar merasa aneh dengan sikap Rumi.
‘Apa dia iri atau laki-laki tadi mantan kekasihnya? Tapi mana mungkin,’ batin Kaisar lalu memindai wajah Rumi dengan kacamata dan mengikat rambut di belakang tengkuk. Juga pakaian yang terlihat biasa dan sederhana, Rumi memang tidak menarik perhatian.
‘Sepertinya dia iri. Wajarlah, mana ada laki-laki yang tertarik dengan penampilannya yang … mengenaskan, batin Kaisar lagi.
Padahal Rumi bukan iri, hanya saja teringat dengan kisahnya bersama Ardi. Pernah merasakan manisnya perhatian dari pria meski berakhir dengan pengkhianatan. Tangan Rumi meremas tisu menyalurkan rasa kesalnya mengingat Ardi dan Mela yang ternyata bermain di belakangnya sejak lama.
“Kita langsung, Mas,” ajak Medi.
“Oh, oke,” jawab Kaisar tersadar dari pandangannya.
“Rum, beresin ya!” titah Medi agar mengurus pembayarannya. “Jangan lama-lama, udah sore, takut hujan.”
“Nggak pak, ngapain juga saya lama-lama di kasir. Takut ada yang nawar, lagian bapak udah kayak paranormal aja pake nebak mau hujan. Cuaca panas gini,” seru Rumi lalu menuju meja pembayaran. Kaisar lagi-lagi mengernyitkan dahi mendengar Rumi bicara dengan atasannya.
“Jawab aja, kamu,” ucap Medi.
Medi mengarahkan mobilnya menuju rumah yang akan ditempati Kaisar, hampir jam empat sore saat mobil memasuki kampung di mana kantor tujuan mereka berada.
“Ke kantor besok pagi saja, Mas Kaisar bisa istirahat dulu. Sekalian dicek butuh apa, mumpung masih sore biar nanti Rumi yang carikan.”
“Kok saya, pak?” tanya Rumi. Biasanya urusan kebutuhan tamu bukan ranahnya.
“Lah terus siapa? Kamu asisten saya masa saya harus minta Bu Eni yang urus Mas Kaisar,” sahut Medi setelah menghentikan mobil di depan sebuah rumah. Bu Eni adalah bagian keuangan di kantor tempat Medi dan Rumi bertugas.
Kaisar menatap rumah yang akan ditempatinya selama beberapa hari ke depan. Jangan harap ada hotel melati atau penginapan, hanya rumah kontrakan. Mobil Medi sudah meninggalkan Kaisar dan Rumi.
Menyeret koper dan membuka pintu lalu Rumi menggantungkan kunci di belakang pintu. Ada sofa meski tidak meyakinkan kenyamanan saat diduduki lalu meja makan tanpa penghalang atau sekat dan pintu kamar di sebelah kanan pintu masuk.
Yang membuat Kaisar heran, dia bisa berpindah dari ruang tamu ke ruang makan dan kamar hanya dengan dua atau tiga langkah.
“A-ku tinggal di sini?” tanya Kaisar masih memperhatikan arsitektur rumah tersebut. Ada lorong dengan sekat gorden sepertinya mengarah ke dapur.
“Iya, pak,” jawab Rumi lalu membuka pintu kamar dan menyeret koper ke dalam.
“Sprei sudah diganti baru. Bapak bawa alat mandi atau mau saya siapkan?” tanya Rumi memastikan lampu kamar terang.
“Tidak usah, saya sudah bawa.” Kaisar menatap ke dalam kamar berdiri di tengah pintu. Rumi sempat terpaku melihat tubuh Kaisar hampir pas dengan kusen pintu. Entah kusen yang kependekan atau tubuh Kaisar yang tinggi menjulang.
“Kalau begitu saya permisi. Makan malam nanti ada yang mengantar, kalau butuh apa-apa silahkan hubungi saya,” ujar Rumi tidak minat dengan kalimat terakhir. Inginnya sih jangan dihubungi apalagi kalau banyak permintaan macam-macam.
Kaisar mendengus kesal lalu bergeser agar Rumi bisa keluar. Bukan kesal pada Rumi, tapi pada Johan yang memutuskan dia harus berada di sini. Ia pun menuju sofa dan duduk di sana mengeluarkan ponsel. Siap mengoceh pada Johan saat Rumi sudah pergi.
“Oh, iya. Bapak bawa selimut atau jaket?”
“Tidak saya hanya bawa cardigan dan selimut … kayaknya tidak usah. Tadi sarung baru ‘kan?” tanya Kaisar menunjuk ke kamar dengan dagunya, sempat melihat ada kemasan sarung di atas ranjang.
“Iya, baru, pak. Tapi kalau malam cuaca disini dingin, khawatir ….”
“Tidak usah khawatir, bagus kalau dingin karena saya lihat rumah ini tidak ada AC,” ungkap Kaisar menyela ucapan Rumi.
“Ya sudah, saya permisi.”
Setelah Rumi pergi, pria itu mencoba ranjangnya. Berbaring menatap langit-langit kamar merencanakan pekerjaannya dan berharap cepat selesai lalu kembali ke Jakarta. Bahkan berencana liburan dan mengunjungi ibunya direncanakan lain kali.
“Boro-boro dapat jodoh, cewek pertama yang gue temui di sini bentuknya kayak gitu,” keluh Kaisar.