NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:979
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦠꦶꦒꦥꦸꦭꦸꦱꦸꦁ

Herlic menatap Mela dengan ekspresi bingung. Ia mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang baru saja diucapkan Mela. Namun, percuma saja Mela menggunakan bahasa Jawa yang tidak ia pahami.

"Apa lihat-lihat?" tanya Mela, nada suaranya tajam sambil menatap Herlic dengan sorot mata penuh tantangan.

"Kau ini ya, benar-benar," jawab Herlic sambil melipat tangannya di dada. "Kau memakai bahasa yang aku tidak mengerti, Mela. Bagaimana aku bisa tahu apa yang kau maksud?"

Mela tersenyum tipis, ada sedikit kepuasan di wajahnya. "Bagus kalau begitu. Jadi kau tidak akan tahu apa yang aku pikirkan atau apa yang aku katakan tentangmu."

Herlic menghela napas panjang, merasa kesal tetapi juga geli dengan sikap keras kepala Mela. "Aku rasa aku harus belajar bahasa Jawa kalau begini caranya. Kau tidak pernah membuat sesuatu menjadi mudah, ya?"

Mela mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. "Itu urusanmu, bukan urusanku."

"Tapi bukankah lebih mudah kalau kita saling memahami, Mela?" tanya Herlic sambil mendekat. "Aku tidak di sini untuk menjadi musuhmu. Jadi, tolong... setidaknya, bicara dengan bahasa yang aku mengerti."

Mela mendengus kecil, tetapi ia tetap memandang Herlic dengan rasa penasaran. "Kalau kau mau mengerti, belajar saja. Aku tidak punya waktu untuk mengajari orang seperti kau."

Herlic tersenyum kecil, lalu berkata dengan nada setengah bercanda, "Baiklah, anggap saja ini tantangan. Aku akan belajar bahasa Jawa, Mela. Suatu hari nanti, aku akan bisa menjawab setiap kata-katamu."

Mela tertawa pelan, meskipun ia berusaha menahannya. "Kita lihat saja, Tuan Besar."

Herlic tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tatapannya tak lepas dari Mela yang kini duduk dengan ekspresi penuh keberanian. Gadis itu benar-benar berbeda. Tidak seperti wanita-wanita lain yang biasanya tunduk dan patuh di hadapannya, Mela selalu melawan, membangkang, bahkan tak ragu berkata kasar.

Namun, alih-alih merasa marah atau terganggu, Herlic justru merasa anehnya terhibur. Ada sesuatu dalam sikap keras kepala Mela yang membuatnya sulit untuk marah. Ia tahu, dalam situasi lain, keberanian seperti ini akan langsung dihukum. Bahkan prajurit sebaik apa pun tidak akan berani menunjukkan sikap seperti itu kepadanya. Tapi Mela? Gadis itu tampaknya tak pernah mengenal rasa takut di hadapannya.

"Kenapa kau selalu melawan, Mela?" tanya Herlic akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.

"Karena aku tahu apa yang kalian lakukan itu salah," jawab Mela tegas tanpa ragu. "Aku tidak mau tunduk pada orang yang memperlakukan kami seperti ini. Kalian mengambil segalanya dari kami tanah, keluarga, bahkan harga diri kami."

Herlic terdiam sejenak. Kata-kata Mela menusuk lebih dalam daripada yang ia kira. Ia tahu ada kebenaran di dalamnya, tapi ia juga terikat oleh aturan dan sistem yang selama ini ia jalani.

"Aku tidak tahu apakah aku harus memuji keberanianmu atau merasa kesal karena kau tidak pernah berhenti berbicara seperti itu," ujar Herlic sambil tersenyum kecil.

Mela melipat tangannya di dada, tatapannya tetap tajam. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Kalau kau mau menghukumku, silakan saja. Aku tidak akan menyesal atas apa yang aku katakan."

Herlic menghela napas panjang. "Mela, kau ini... sungguh membuatku bingung."

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit kamar sejenak. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak akan pernah sanggup menghukum Mela, apalagi menyakitinya. Ada sesuatu dalam diri gadis itu keberanian, kejujuran, atau mungkin hanya semangat hidupnya yang membuat Herlic merasa berbeda.

"Kalau aku mau menghukummu, aku pasti sudah melakukannya sejak tadi," kata Herlic akhirnya. "Tapi aku tidak bisa, Mela. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak sanggup menyakitimu."

Mela terkejut mendengar kata-kata itu. Ia mencoba membaca wajah Herlic, mencari tanda-tanda apakah pria itu hanya bermain-main. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan, sesuatu yang jarang ia temukan pada seorang Belanda.

"Sudahlah, Mela, aku mau pulang dulu," kata Herlic sambil melangkah menuju pintu. "Lagi pula, aku harus bertemu dengan William."

"Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantuku," jawab Mela dengan nada tulus, meski ada sedikit rasa canggung dalam suaranya.

Herlic berhenti di ambang pintu dan menoleh ke belakang. "Iya, jaga kesehatanmu. Kau jangan terlalu lasak dulu, biar lekas sembuh."

"Iya, terima kasih," sahut Mela.

Herlic menatapnya sebentar, lalu menyipitkan matanya. "Terima kasih doang?"

Mela menatapnya balik dengan tatapan datar, lalu tersenyum sinis. "Dasar kompeni, cepat sebutkan saja berapa yang harus aku bayar. Aku tahu maksudmu," katanya dengan nada setengah mengejek.

Herlic menggeleng sambil tersenyum kecil. "Kau tidak perlu membayar, Mela. Kau sembuh saja, itu sudah cukup. Selama kau sakit, kami tidak akan mengutip pajak darimu."

Mela menatap Herlic dengan curiga. "Benarkah?"

"Tentu," jawab Herlic, serius. "Tapi ada satu syarat. Setelah sembuh, kau harus datang ke tempat kami untuk memberikan jamumu sebagai gantinya. Kau tahu, beberapa orang di sana juga membutuhkan jamu-jamumu."

Mela mendengus pelan. "Itu saja? Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi jangan pikir aku akan tunduk seperti mereka," katanya tegas.

Herlic tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Aku tidak pernah memintamu untuk tunduk, Mela. Aku hanya ingin kau sehat dan tetap menjadi dirimu."

***

William menatap Herlic dengan campuran rasa kecewa dan kebingungan. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.

"Herlic, kau tahu aturan kita. Menolong pribumi adalah tindakan yang melanggar kebijakan, meskipun kau melakukannya dengan niat baik," kata William dengan suara yang dalam namun tegas.

Herlic mengangguk, menundukkan kepala dengan rasa bersalah. "Aku tahu, Will. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia terluka begitu saja. Aku bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan."

William mengisyaratkan pada Teses, tangan kanannya. Teses segera mengambil cambuk yang tergantung di pinggangnya, lalu menyerahkannya kepada William.

"Kalau begitu, kau tahu apa konsekuensinya," ujar William, menatap Herlic yang sudah bersiap.

Herlic melepas bajunya perlahan, membiarkan tubuhnya yang kokoh terlihat di bawah sinar lampu. Ia membungkuk sedikit, memperlihatkan punggungnya yang kini akan menerima hukuman.

"Aku tidak akan lari dari ini," ujar Herlic mantap.

Teses berdiri di samping, wajahnya datar, sementara William menggenggam cambuk itu dengan tangan yang kokoh. Namun, saat hendak mengayunkan cambuk, William menghentikan gerakannya.

"Herlic," katanya sambil mendekat, nada suaranya melunak sedikit. "Aku tidak ingin melakukan ini, tapi kau membuatku tidak punya pilihan."

"Aku mengerti, Will," jawab Herlic tanpa menoleh.

Suara cambuk melayang di udara, namun William hanya menghentakkan cambuknya di lantai, tidak ke tubuh Herlic.

Herlic mendongak sedikit, bingung, tapi tidak berani menoleh.

"Her, kau ini sepupuku. Aku tahu kau tidak seperti kebanyakan orang di sini. Tapi kau harus belajar bahwa perasaan pribadi tidak bisa mendahului aturan," lanjut William. "Kali ini, aku akan menganggap ini sebagai peringatan. Tapi jika kau mengulangi hal ini, aku tidak akan ragu untuk menjatuhkan hukuman yang sesungguhnya."

Herlic menoleh, wajahnya menunjukkan rasa syukur dan sedikit heran. "Will... terima kasih."

"Jangan terlalu senang dulu," William memotong. "Pergilah sekarang. Dan pastikan kau tidak membuat masalah lagi. Kau tahu reputasi kita di sini dipertaruhkan."

Herlic mengenakan kembali bajunya dengan cepat dan berdiri tegak. "Aku mengerti. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

William hanya mengangguk, lalu berbalik pergi, meninggalkan Herlic yang terdiam, merasa lega sekaligus teringat akan risiko besar dari tindakannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!