Gadis Desa yang memiliki kakak dan adik, tetapi dia harus berjuang demi keluarganya. Ayahnya yang sudah usia di atas 50 tahun harus dia rawat dan dijaganya karena ibunya telah meninggal dunia. Adiknya harus bersekolah diluar kota sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki keluarga yang sedang diuji perekonomiannya.
Ikuti terus karya Hani_Hany hanya di noveltoon ♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani_Hany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Kurang lebih tujuh hari disana di kampung PP, kini saatnya mereka pamit. "Kami pulang dulu Mas, semoga sehat-sehat semua." Pamit ayah Ahmad pada Om Jaya.
"Aamiin. Iya selamat sampai tujuan Mad." Jawab Om Jaya. Ayah dan Hasna berpamitan pada semua keluarga lalu masuk ke dalam bus.
Mereka membawakan kue khas Kampung PP, tidak banyak tapi cukup untuk dibagi-bagi. Cukup panjang perjalanan dari Kampung PP ke Kampung MO.
Setibanya di rumah mereka langsung turun di rumah Mami Titik. "Alhamdulillah sudah sampai juga." Gumam Hasna.
"Sana tidur di kamar sama adekmu Hasna." ujar mami Titik keluar dari dapur menuju ruang keluarga.
"Iya kak, sini yuk tidur sama aku." ajak Widia ke kamarnya. Yusuf sudah tidur. Hasna mengekor dibelakang Widia untuk tidur di kamarnya.
"Kalian kapan datang?" tanya Ayah basa basi. Mereka sedang duduk di kursi depan televisi.
"Saya hanya lima hari disana, kemarin dulu saya sudah sampai." jawab Mami Titik seadanya.
"Saya mau cepat pulang tapi ditahan sama Mas Bukhori, disuruh menginap di rumahnya." jawab Ayah Ahmad jujur. "Disana sudah makin ramai, lamanya saya tidak pernah kesana." imbuhnya.
"Berapa tahun Mas?" tanya Mami. Mereka tinggal berdua karena Hasna dan Widia sudah masuk ke dalam kamarnya untuk istirahat.
"Tahun 1990 an kayaknya terakhir kesana, sebelum nikah! Sekarang saja sudah tahun berapa ini, 2020." ujarnya membayangkan masa lalu saat masih sendiri.
"Sekarang anak-anak sudah besar, bisa saya pergi-pergi lagi." gumam ayah pelan, dia ingin menikmati masa tuanya dengan bahagia.
Berbeda dengan pemikiran Mami Titik. "Pergi-pergi kemana? Nafkahi kami saja gak mampu. Hhhh." batin Mami menggerutu. "Aku tidur duluan Mas." pamitnya pada suaminya.
Tidak lama kemudian, ayah Ahmad menyusul untuk tidur. Semua sudah tertidur pulas ke alam mimpinya.
Esok hari, Hasna bangun subuh. Dia shalat, membaca Kalamullah lalu menyapu, cuci piring. Kiranya apa yang bisa dia kerja di lakukan, kecuali memasak karena belum ada hak.
"Sudah bangun nak?" tanya Mami basa basi, dia baru bangun pukul 05.20 menit.
"Iya Mam." jawab Hasna singkat. Dia sudah menyelesaikan pekerjaannya lalu ke sofa duduk-duduk dengan ponsel di tangannya.
Ayah Ahmad keluar dari kamar, seperti sudah shalat subuh. Ayah duduk di sofa juga dengan Hasna. "Kamu mau cari kerja apa nak?" tanyanya.
"Belum tahu ini ayah, nanti aku tanya di teman-teman aku yang lama." jawab Hasna jujur. Dia membuka media sosialnya mencari lowongan kerjaan.
"Ayah, aku ingin tinggal di rumah saja boleh?" tanya Hasna hati-hati.
"Kenapa nak?" tanya ayah balik. Dia menatap anaknya penuh selidik.
"Ya enak saja kalu di rumah sendiri ayah." jawab Hasna berbisik sambil menengok ke kanan dan ke kiri. "Syukur gak ada mami." batinnya.
"Kalau di rumah kamu sendiri nak, disini enak ada Ayah, ada Mami, ada adik-adikmu." ujar ayah menjelaskan. Hasna hanya diam saja tanpa merespon lagi.
Beberapa hari Hasna tinggal di rumah mami Titik, dia merasa tidak nyaman. Sesekali dia pulang ke rumahnya naik motor sang ayah. Padahal tidak begitu lincah naik motor.
"Kasih masuk berkas di sekolah-sekolah deh." batinnya sambil duduk menyiapkan berkas. Saat ini dia sedang berada di rumah orang tuanya yang lama.
"Beres." ujarnya pelan. Berkas sudah siap, tinggal dimasukkan di sekolah yang di tuju. Sorenya Hasna harus kembali ke rumah mami Titik. "Kasihan juga kalau ayah disana sendiri, aku kesana saja deh demi ayah!" gumamnya pelan.
Hasna bersiap ke rumah Mami, setelah siap dia berangkat. Setibanya disana ternyata hanya ada Widia sendiri yang sedang main ponselnya. "Mami dan ayah kemana Widia?" tanyanya baru datang.
"Oh, kakak sudah pulang. Mama sama ayah ke kebun kak. Cari pakan kambing." jawab Widia jujur. Mami memang pelihara kambing, jadi mau tidak mau ayah membantu mencari pakannya.
Tanpa menjawab, Hasna duduk di teras. "Kak, kalau mau masuk ke kamar saja. Atau mau di kamar yang lain juga ada kok yang kosong. Kemarin mama sudah bersihkan." ujar Widia keluar dari rumah, duduk disamping Hasna.
"Oh iya makasih." jawab Hasna singkat, dia tidak begitu suka dekat dengan orang baru. Apalagi Widia kayak cari perhatian. Mungkin dia bahagia karena punya kakak.
"Sama-sama kak." jawab Widia cemberut karena Hasna malah masuk ke dalam rumah. Dia mau melihat kamar yang katanya dibersihkan untuknya.
"Lumayan lah, gak kayak gudang. Baik juga mami mengizinkanku tidur di kamar anak laki-lakinya." gumam Hasna pelan. Anak laki-laki pertamanya yang sudah meninggal maksudnya.
Hasna bersihkan ulang kamar tersebut, disapu dan dipel. Dia susun pakaian yang ada meski sedikit. Mau tidak mau dia harus terima takdir yang membawanya ke arah tersebut.
"Ayah, pagi ini aku mau pinjam motor ya!" ujar Hasna saat sarapan pisang goreng. Ayah Ahmad menatap anaknya seolah bertanya mau kemana?
"Aku mau masukkan lamaran ke sekolah. Cukup lama aku menganggur, belum dapat kerja juga." gumamnya pelan merasa sedih. Sekitar seminggu Hasna disana tapi terasa sangat lama.
"Pergilah nak." jawab ayah memberikan semangat. "Semoga diterima di sekolah." doa ayah tulus untuk anaknya. Hasna mengaminkan dan mengangguk.
Tepat pukul 08.00 Hasna sudah siap berangkat sendiri. "Aku berangkat dulu ayah." pamitnya. Dia tidak pamit pada mami, dia pikir biasa saja. Ternyata berdampak besar!
"Hasna kok gak pamit aku Mas? Begitu caramu mengajarinya?" cecar mami Titik pedas, ayah hanya diam saja.
"Katanya pintar ngaji, sekolah tinggi, tapi pamit saja gak ngerti." omel mami Titik.
"Iya dia tidak melihatmu di dapur Mi." jawab ayah Ahmad. Mami tidak percaya, dia mencelos pergi dari depan ayah.
"Anakku pintar ngaji tapi juga punya adab. Meski aku gak bisa ngajari sendiri." lanjutnya jujur mengungkapkan siapa dirinya.
"Anakku yang pintar-pintar mengaji, dia juga sopan. Hanya dia tidak melihatmu makanya dia tidak pamitan." jawab ayah santai.
"Alah, anak kayak gitu saja dibela." ujarnya lagi. Ayah diam saja! Masih lanjut panjang kali lebar omelannya tapi ayah sudah tidak berniat menanggapi.
Ayah memilih pergi melihat kambing daripada pusing dengar orang mengomel tidak jelas. Lama-lama diam juga karena tidak ada yang mendengar omelannya.
Tidak hanya sampai disitu, Mami ternyata cerita pada tetangganya. Namanya Bi Sri, dia cerewet suka ceplas ceplos. Tidak ada rahasia antara Mami dengan Bi Sri tersebut, sudah seperti saudara gosip.
Kembali ke Hasna yang berangkat kek sekolah untuk menyetor surat lamaran. Setibanya di sekolah Hasna disambut baik. "Permisi bu, mau masukkan berkas lamaran pekerjaan menjadi guru." ujarnya ramah.
"Oh iya, mana berkasnya? Tulis saja nomor teleponnya nanti kalau dibutuhkan baru dikabari ya!" ujar stafnya. Hasna mengangguk dan pamit. Ada sekitar lima sekolah yang dia datangi, kemudian Hasna pulang ke rumah mami.
semangat kak hani /Determined//Determined//Determined//Determined/