Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Sign of Affection (3)
Siangnya, suasana di kantor terasa sibuk seperti biasa. Pegawai lalu lalang membawa dokumen, beberapa lainnya fokus di meja masing-masing, mengetik dengan cepat. Di tengah kesibukan itu, Jae Hyun berjalan menyusuri lorong dengan langkah tenang tetapi tegas. Matanya yang tajam memantau aktivitas di ruang kerja utama.
Pandangan Jae Hyun tertuju ke meja Riin. Bukannya menemukan gadis itu, ia malah melihat Min Gyu tengah duduk di kursinya dengan ekspresi serius, jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu di komputer.
“Apa ada masalah dengan komputernya?” tanya Jae Hyun, menghentikan langkahnya di depan meja.
Min Gyu, yang baru menyadari kehadiran atasannya, langsung berdiri. “Oh, Sajangnim. Komputer Nona Riin tiba-tiba eror. Saya sedang mencoba memperbaikinya. Semoga datanya tidak ada yang hilang.”
Jae Hyun mengerutkan kening, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang samar meski nada suaranya tetap tenang. “Lalu, di mana dia sekarang?”
Min Gyu menunjuk meja kerja editor Kim Seon Ho. “Dia tadi bilang akan melanjutkan pekerjaannya dengan editor Kim di sana.”
Namun, meja yang ditunjuk itu kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Riin maupun Seon Ho. Min Gyu tampak bingung, sementara Jae Hyun memicingkan mata, sedikit tak sabar. “Bukankah tadi mereka masih di sana?” gumam Min Gyu pelan.
Tanpa berkata lebih banyak, Jae Hyun berbalik dan segera berjalan cepat menyusuri ruangan. Ia mencarinya ke beberapa tempat, tetapi Riin tidak ada di manapun. Akhirnya, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi gadis itu.
Suara dering telepon terjawab setelah beberapa nada. “Sajangnim?” suara Riin terdengar dari seberang.
“Cepat ke ruanganku!” ucap Jae Hyun, tegas dan tidak bisa dibantah.
***
Riin, yang saat itu berada di ruang buku bersama Seon Ho, langsung merasa jantungnya berdegup kencang. "Sepertinya ada masalah," gumamnya sambil segera membereskan buku-buku yang tadi sedang ia periksa. Seon Ho memandangnya dengan alis terangkat.
“Kurasa dia terdengar agak marah. Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Seon Ho dengan nada khawatir.
Riin hanya tersenyum kaku. “Lebih baik aku segera ke sana sebelum masalahnya jadi lebih besar.”
Setelah berpamitan dengan Seon Ho, Riin setengah berlari menuju ruang kerja Jae Hyun. Begitu sampai, ia mengetuk pintu dengan cepat sebelum masuk. Napasnya masih tersengal-sengal, tetapi ia berusaha tetap tenang.
“Sajangnim, ada apa? Apa ada masalah dengan pekerjaanku?” tanyanya, menatap pria itu dengan raut cemas.
Jae Hyun menatapnya dengan dingin, menyilangkan tangan di dada. “Kau ke mana? Bukankah ini masih jam kerja?”
“Tadi… Editor Kim mengajakku ke ruang buku. Dia ingin menunjukkan beberapa referensi puisi yang pernah diterjemahkan,” jelas Riin, mencoba menjawab dengan hati-hati.
Jae Hyun tidak berkata apa-apa sejenak, hanya menatapnya tajam sebelum akhirnya berkata, “Min Gyu bilang komputermu eror. Jadi mulai sekarang, kerjakan tugasmu di sini.”
Mata Riin membelalak sedikit. “Apa? Aku rasa tidak perlu. Editor Kim bahkan sudah menawarkanku untuk menggunakan komputernya,” ucapnya dengan nada ragu, berharap argumennya diterima.
“Kau hanya akan mengganggu pekerjaannya. Jangan membantah dan lakukan saja perintahku,” ujar Jae Hyun, nadanya tegas, tetapi ada sesuatu di balik nada itu yang membuat Riin merasa aneh_seperti sebuah kepedulian yang tidak biasa.
Riin menggigit bibir bawahnya. “Maaf, tapi aku rasa bekerja di sini hanya akan menimbulkan gosip,” balasnya, tetap berusaha mempertahankan argumennya.
Jae Hyun mengerutkan kening, berpikir sejenak. Ia sadar ucapan Riin ada benarnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuka tas kerjanya dan mengeluarkan laptop pribadinya. “Gunakan ini untuk sementara waktu,” ucapnya, menyerahkan laptop itu kepada Riin. “Kau bisa memakai ruang meeting untuk bekerja.”
Riin menerima laptop itu dengan kedua tangan, masih merasa bingung dengan situasinya. Sebelum ia sempat pergi, Jae Hyun menambahkan, “Oh, satu lagi. Kita harus segera membahas pernikahan dengan orang tuamu. Atur waktunya. Aku ingin urusan ini cepat selesai.”
Ucapan itu membuat langkah Riin terhenti. Ia menatap Jae Hyun dengan mata membulat, tetapi pria itu tampak tidak terpengaruh. Ia hanya berdiri dengan tenang, seolah yang ia katakan adalah hal biasa.
“Aku akan menghubungimu jika waktunya sudah ditentukan,” jawab Riin akhirnya, dengan nada pelan. Ia membungkuk sedikit sebelum keluar dari ruangan, membawa laptop itu menuju ruang meeting.
***
Tidak lama setelah Riin pergi, Shin Ah Ri masuk ke ruangan Jae Hyun dengan senyum lebar di wajahnya. Ia meletakkan tumpukan dokumen di meja kerja Jae Hyun, tetapi tatapannya penuh godaan.
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apa Tuan CEO kita ini sedang cemburu?” tanyanya dengan nada menggoda.
Jae Hyun menghela napas panjang. “Shin Ah Ri, aku sedang tidak ingin mendengar omong kosongmu,” balasnya dingin.
Ah Ri tertawa kecil, tidak gentar sedikit pun. “Cemburu itu wajar, kau tahu? Apalagi jika itu soal calon istrimu. Jangan-jangan, kau jadi ingin segera menikahinya karena takut dia didekati orang lain?”
Jae Hyun memutar matanya, kesal. “Diam kau!” omelnya, tetapi rona merah samar terlihat di wajahnya, membuat Ah Ri semakin geli.
Ah Ri terkekeh sambil keluar dari ruangan. “Astaga, Sajangnim kita ini ternyata lucu juga kalau sedang jatuh cinta,” katanya sebelum menutup pintu, meninggalkan Jae Hyun yang hanya bisa mendengus kesal.
***
Riin mencoba fokus menerjemahkan kumpulan puisi yang diberikan Jae Hyun. Suasana di ruang meeting terasa hening, hanya ditemani deru lembut AC yang berhembus. Di hadapannya, laptop milik Jae Hyun menampilkan layar dokumen yang penuh dengan kalimat indah dalam bahasa asli. Riin menghela napas panjang. Menerjemahkan puisi memang bukan perkara mudah. Ia harus memilih kata-kata dengan hati-hati agar keindahan dan pesan dari setiap bait tetap tersampaikan.
Namun, pikirannya terusik oleh kejadian sebelumnya di ruangan Jae Hyun. Perkataan pria itu tentang pernikahan masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya sulit berkonsentrasi. Ia menopang dagunya dengan tangan, menatap layar dengan pandangan kosong.
“Riin?”
Suara lembut itu mengagetkannya. Ia menoleh dan mendapati Kim Seon Ho berdiri di ambang pintu ruang meeting. Pria itu tersenyum hangat, membawa secangkir kopi di tangan kanan dan sebuah map di tangan kiri. “Aku mengetuk tadi, tapi sepertinya kau terlalu tenggelam dalam pikiranmu.”
“Oh, Editor Kim. Maaf, aku tidak mendengar,” jawab Riin dengan nada sedikit canggung. Ia segera merapikan duduknya dan mencoba tersenyum.
Seon Ho melangkah masuk, meletakkan map di meja sebelum menyerahkan secangkir kopi kepada Riin. “Kau terlihat lelah. Aku pikir kau butuh ini.”
Riin menatap cangkir itu dengan ragu, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih. Tapi, aku tidak ingin terlalu merepotkanmu.”
“Tidak perlu sungkan. Lagipula, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” ujar Seon Ho sambil menarik kursi dan duduk di sebelahnya. “Apa yang sedang kau kerjakan?” tanyanya, melirik layar laptop yang menampilkan teks puisi yang sedang diterjemahkan Riin.
Riin menghela napas. “Ini tugas baru dari Sajangnim. Menerjemahkan kumpulan puisi. Dia bilang pesannya harus tetap tersampaikan dengan baik, jadi aku harus benar-benar hati-hati memilih kata.”
Seon Ho mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Itu memang tidak mudah, tapi aku yakin kau bisa. Kalau ada yang sulit, kau bisa minta bantuanku.”
Riin ragu sejenak sebelum mengangguk. “Sebenarnya, ada beberapa bagian yang agak sulit. Sepertinya pemilihan kata-kataku belum pas.”
“Boleh aku lihat?” Seon Ho mencondongkan tubuhnya sedikit, meminta izin untuk membaca layar. Riin menggeser laptopnya agar lebih mudah dilihat.
Seon Ho membaca dengan seksama, alisnya sedikit berkerut saat ia menganalisis beberapa bait puisi. “Hmm, ini cukup indah, tapi kalau diterjemahkan terlalu harfiah, rasanya kurang pas. Lihat bagian ini,” ia menunjuk sebuah kalimat. “Bagaimana kalau kau ubah kata ini menjadi ‘melankolis’? Itu lebih sesuai dengan suasana bait ini.”
Riin memperhatikan dengan seksama, lalu mengangguk setuju. “Benar juga. Itu terdengar lebih puitis.”
Seon Ho tersenyum puas. “Dan di bait ini, mungkin kau bisa mengganti frasa ini dengan sesuatu yang lebih sederhana, tapi tetap mengandung makna mendalam. Misalnya...” Ia memberikan beberapa saran, dan Riin mencatatnya dengan cepat.
Selama hampir satu jam, Seon Ho membimbing Riin dengan sabar. Mereka berdiskusi tentang makna tersembunyi di balik setiap bait dan bagaimana menerjemahkan perasaan yang tertuang dalam puisi itu ke dalam bahasa baru tanpa kehilangan esensinya.
“Aku harus mengakui, kau benar-benar berbakat,” puji Seon Ho ketika mereka selesai membahas bait terakhir. “Dengan sedikit latihan lagi, aku yakin kau bisa menjadi penerjemah puisi yang hebat.”
***