Erlangga Putra Prasetyo, seorang pemuda tampan dengan sejuta pesona. Wanita mana yang tidak jatuh cinta pada ketampanan dan budi pekertinya yang luhur. Namun di antara beberapa wanita yang dekat dengannya, hanya satu wanita yang dapat menggetarkan hatinya.
Rifka Zakiya Abraham, seorang perempuan yang cantik dengan ciri khas bulu matanya yang lentik serta senyumnya yang manja. Namun sayang senyum itu sangat sulit untuk dinikmati bagi orang yang baru bertemu dengannya.
Aira Fadilah, seorang gadis desa yang manis dan menawan. Ia merupakan teman kecil Erlangga. Ia diam-diam menyimpan rasa kepada Erlangga.
Qonita Andini, gadis ini disinyalir akan menjadi pendamping hidup Erlangga.Mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Siapakah yang akan menjadi tambatan hati Erlangga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
Setelah selesai makan siang, mereka akan kembali pulang. Karena hujan pun sudah reda, jadi mereka keluar dari restoran. Mereka berpisah sampai di parkiran restoran. Kali ini tanpa diingatkan, Rifka tidak hanya mencium punggung tangan kedua mertuanya tapi juga suaminya. Mami Fatin dan Papi Zaki sudah masuk ke dalam mobil.
"Ya sudah, ayo pulang dulu." Ujar Bunda Winda.
"Oh iya, tunggu sebentar." Ujar Erlangga kepada istrinya.
"Ada apa?"
Ia mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya. Lalu diberikan kepada istrinya.
"Ini nafkahmu."
"Tidak perlu, nanti saja."
"Peganglah! Walau bagaimana pun kamu sudah menjadi tanggung jawabku."
"Hem, terima kasih."
"Sama-sama istriku. Oh iya, pinnya tanggal ulang tahunmu."
Rifka mengangguk.
Bunda Winda mengulum senyum melihat gelagat mereka berdua.
Akhirnya Erlangga masuk ke dalam mobil, begitu pun dengan Rifka.
Kabar pernikahan mereka belum ada yang tahu kecuali keluarga dan asisten mereka. Opa Tristan ingin memberi kejutan kepada publik. Ia juga tidak ingin keluarga terutama cucunya akan mengalami sesuatu yang tidak mengenakan karena telah membatalkan perjodohan dengan salah satu pengusaha ternama. Dan sebelumnya juga rumor tentang Erlangga dan Qonita. Jadi Opa Tristan tetap menyuruh orang untuk berjaga-jaga. Apa lagi Opa tahu kalau Qonita dan Omnya itu terobsesi kepada Erlangga. Meski masalah mereka sudah beres, namun tetap saja harus ber hati-hati.
Sampai di rumah, Bunda Winda menghubungi karyawannya untuk membagi tugas mencetak undangan, dan menyiapkan vendor untuk pesta nanti. Bunda Winda sangat paham dengan warna kesukaan menantu dan putranya. Erlangga suka warna hitam sedangkan Rifka suka warna cream. Jadi nanti tema undangan dan vendor mereka perpaduan warna tersebut. Setelah selesai menghubungi karyawannya, Bunda pun tidur siang menyusul Papa, yang sudah terlelap.
Sementara Erlangga di kamarnya sedang bersembunyi di balik selimut. Ia bersin tak henti-henti. Sepertinya, alerginya akan berkelanjutan. Ia segera minum obat lalu membenarkan selimutnya kembali. Ia pun akhirnya bisa terlelap.
Sore harinya
Di rumah Opa Tristan.
Rifka sedang dipanggil oleh Opa dan di kamar mereka. Ia duduk di atas tempat tidur di tengah-tengah antara Opa dan Omanya.
"Rifka."
"Iya, Opa."
"Bagaimana hubunganmu dengan Er?"
"Hubunganku? Tentu baik-baik saja Opa."
"Ingat, dia itu sudah menjadi suamimu. Jangan terlalu cuek. Seiring-seringlah berkomunikasi. Tidak perlu gengsi. Opa yakin kamu masih ingat dengan materi tentang suami-istri di pesantren. Kamu paham kan maksud Opa?"
"Paham Opa."
"Oma tahu kamu itu sebenarnya cuma malu, iya kan?"
Rifka menunduk malu.
"Hehehe... dasar anak muda. Malu-malu mau. Sudah sana, hubungi suamimu! Kasih dia perhatian, biar dia merasa punya istri." Ujar Opa.
"Nggak mau, Rifka mau di sini saja dulu."
Rifka menggandeng lengan Opa lalu bersender ke bahu Opa.
"Bahu Er lebih enak daripada bahu Opa."Goda Opa.
"Ah Opa... "
Opa mengusap puncak kepala Rifka.
"Hahaha... kalian sudah dewasa. Opa merasa sudah sangat tua. Berjanjilah, kalian akan hidup bahagia."
"Opa dan Oma akan panjang umur, dan bisa melihat cucu yang lain menikah."
"Amin... "
Setelah bersenda gurau dengan Opa dan Omanya, Rifka kembali masuk ke kamarnya. Ia sudah menempati kamar sendiri karena abang dan saudaranya yang lain sudah kembali ke Jakarta. Ia memeriksa handphone-nya berharap Erlangga mengirim chat atau menelponnya. Namun tidak ada sama sekali.
"Hem, baru menikah satu hari, dia sudah nyuekin aku. Eh salah, apa aku yang terlalu cuek ya." Lirihnya.
Sedangkan Erlangga menggigil di kamarnya. Badannya panas sekali. Setelah shalat Ashar ua kembali bersembunyi di balik selimutnya.
Tok tok tok
"Bang.... "
"Hem.... "
Sahutan Erlangga sangat pelan, tidak terdengar keluar.
"Bang.... "
Karena khawatir, Bunda pun membuka pintu kamar Erlangga yang tidak terkunci.
"Bang kamu tidur?"
"Hem... "
Bunda menghampirinya dan meraba dahinya.
"Astagfirullah... panas sekali. Sudah minum obat, Bang?"
"Sudah, Bun. Obat alergi tadi."
"Bunda kompres ya. Bentar Bunda ambil air hangat dan kompresan."
Bunda Winda keluar dari kamar Erlangga dan pergi ke dapur mencari wadah baskom dan mengisinya dengan air hangat. Lalu ia mengambil washlap.
"Buat apa, Bun?" Sapa Papa.
"Mau kompres Er, Pa. Badannya panas sekali. "
"Karena kehujanan tadi mungkin."
"Mungkin."
Bunda masuk ke kamar Erlangga diikuti oleh Papa. Bunda pun mulai mengkompresnya. Papa duduk di ujung tempat tidur Erlangga.
Kembali ke Rifka.
Ia sedang mengamati nomor suaminya. Entah kenapa ia kepikiran suaminya. Namun ia gengsi untuk menghubunginya terlebih dahulu. Hati dan pikirannya bertolak belakang. Jarinya tak sengaja memencet tombol telpon, hal tersebut membuatnya panik dan langsung mematikannya.
Bunda Winda yang baru saja selesai mengkompres sempat terkejut karena mendengar handphone Erlangga berdering sebentar. Papa mengambilkan handphone untuk Erlangga khawatir ada yang perlu.
"Tolong lihat Bun, siapa yang misscall barusan."Ujar Erlangga.
Atas ijin orangnya Bunda pun melihatnya.
"My Wife." Sahut Bunda.
Sontak Erlangga terjaga dan merebut handphone dari tangan sang Bunda.
"Rifka, Bun."
Bunda mengulum senyum dan melirik suaminya.
"Telpon balik saja, mungkin ada perlu. Bunda keluar dulu ya."
"Terima kasih, bun."
"Iya sama-sama."
"Ayo Pa, kita keluar. Sepertinya putra kita akan mendapatkan obatnya." Goda Bunda.
"Hem ayo."
Hal tersebut membuat Erlangga salah tingkah.
Ia pun segera menghubungi istrinya. Beberapa kali berdering, akhirnya diangkat juga.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Kamu telpon tadi?"
"Ti-tidak kok, cuma kepencet tadi."
"Oh ya? Bohong, dosa lho!"
"Hem, iya nggak bohong. K-kamu baru bangun? Kok suaramu berat?"
"Aku demam."
"Hah, demam?"
"Hem, ini lagi dikompres."
"Eh, ka-kalau begitu istirahat saja lagi. Apa sudah minum obat?"
"Obat yang pahit sudah, obat yang manis belum."
"Memangnya ada obat manis? Sirup kali, buat anak kecil."
"Ada selain sirup."
"Apa?"
"Senyumanmu."
Tentu saja hal tersebut membuat Rifka tersipu malu.
"Ya Allah, ternyata dia bisa menggombal." Batin Rifka.
"Istriku...kok nggak jawab? Kamu pasti lagi tersenyum, iya kan?"
"Apaan sih, nggak kok."
"Huh... aku lagi sakit, tapi kamu nggak perhatiin. Dosa lho!"
"Astagfirullah... maaf. Kalau begitu sku akan menjengukmu."
"Benarkah?"
"Iya, nanti aku bilang Mami Papi dulu."
"Semoga mertuaku mengerti."
Mereka pun mengakhiri obrolan. Rifka malu mau bilang kepada Maminya. Tapi dalam hatinya ia cukup khawatir kepada suaminya. Rifka pun pergi ke kamar Maminya untuk memberitahu.
Namun saat akan mengetuk pintu kamar Maminya, ternyata bersamaan dengan itu pintu kamar tersebut terbuka.
"Rifka, kebetulan Mami mau ke kamarmu."
"Iya, ada Mi?"
"Barusan Dek Winda telpon, Er sakit katanya. Kamu kenapa ke kamar Mami?"
"E... itu Mi, iya mau bilang itu juga. Hehe.... "
"Ya sudah, nanti malam kita ke sana."
"Iya, Mi."
Rifka pun kembali ke kamarnya.
Bersambung....
...****************...
Terima kasih supportnya readers yang baik hati, love you 😘
lanjut
semangat untuk up date nya
semoga bahagia terus Erlangga dan Rifka