Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Mari berpisah.
"Kau sendiri? Bukankah kau juga mengkhianatinya?" desis Zamar.
"Ma-maksudmu?" Suara Sandra terbata. Ia berjalan mundur, tanpa ia sadari.
"Malam itu, apa kau bersamanya?"
Seluruh tubuh Sandra, basah bermandikan keringat dingin. Ia meremas ujung bajunya, dengan tangan yang gemetar.
"Aku tidak mengerti, apa yang kau bicarakan."
Selangkah demi selangkah, Zamar mendekat. Sandra panik, namun hanya bisa membeku ditempat. Tatapan kata yang tajam dan rahang yang mengetat, menyiratkan kemarahan. Untuk pertama kalinya, ia melihat kedua mata itu, menatapnya dingin dan wajah tanpa ekspresi.
"Malam itu, kau mengatakan. Kalian bersama malam itu. Kau memintanya minum alkohol dan dia hanya mampu minum segelas. Kau sudah ingat?"
"A-aku, aku, aku tidak tahu." Sandra memalingkan wajah. Bergerak mundur, namun tertahan oleh Zamar yang sudah mencengkram tangan kirinya.
"Jangan membuatku membencimu, Sandra. Selama ini, aku menghormati dan menghargaimu sebagai seorang teman. Aku tidak ingin berburuk sangka, sebelum aku tahu yang sebenarnya."
Sandra terpojok. Air matanya semakin deras dan tidak dapat ia cegah. Satu kesalahan, yang membuatnya dalam keadaan seperti ini. Mabuk, ia kini menyalahkan minuman keras itu, yang setiap ada masalah, ia akan menjadikannya sebagai obat penenang.
Logikanya terus memberontak, ketika hati menggerakkan bibirnya, untuk berbohong.
"Aku tidak ingat, pernah mengatakan itu."
Kedua tangan Zamar jatuh. Tatapannya masih sama, dingin dan tidak bersahabat. Helaan napasnya, terdengar seolah penuh kekecewaan. Ia mundur, tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku perhatian dan baik kepadamu, karena aku yang meminta, untuk menikah denganku. Kita memiliki tujuan yang sama. Tapi saat ini, aku melihat, perasaan dan tujuanmu sudah berbeda."
Jantung Sandra seperti akan meledak. Begitu juga, kedua paru-parunya yang seolah berhenti berfungsi, hingga membuatnya kehilangan oksigen. Ia menatap nanar, pada pria didepannya.
"Apa aku salah?" lirih Sandra. "Aku jatuh cinta pada suamiku sendiri. Apa aku berdosa? Selama ini, aku juga terus mengingatkan pikiranku. Tapi, aku kalah. Sekarang, kau menghakimiku, seolah aku berbuat jahat." Sandra menggigit bibir, demi menahan isaknya.
"Mari berpisah!" tutur Zamar, dengan tegas. "Aku tidak mau, kau terluka dengan perasaanmu dan aku tidak bisa membalas perasaanmu."
Sandra tersenyum getir. Ia terkulai di kursi kerjanya, melirik langit-langit dengan mata yang basah.
"Apa kau membenciku hanya karena aku jatuh cinta padamu?"
"Tidak. Tapi, aku membenci ketidakjujuranmu."
"Maksudmu, perasaanku?"
"Bukan. Tentang Maya."
Maya, Maya dan Maya. Kenapa perempuan yang sudah lama menghilang, masih berada diantara mereka. Kecewa dan sakit hati, bercampur menjadi satu. Sandra tidak memiliki tenaga lagi, untuk berdebat. Dia hanya terisak, dengan kepala menunduk dan memijit pelipisnya.
"Ini hampir tiga tahun, Zamar. Kau membenci, tapi masih mempertahankannya dalam hatimu. Kau pikir, Maya akan melihat perasaanmu? Dia sudah pergi dan kau sendiri yang mengusir dan menghancurkan impiannya. Kau pikir, dia tidak akan membencimu? Bukankah, itu sangat lucu."
"Itu bukan urusanmu." Zamar memutar badan, hendak pergi. Namun, ia kembali berhenti, tanpa menoleh. "Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya."
Hening, setelah pintu tertutup. Sandra menekan kuat dadanya, berharap bisa bernapas lebih baik. Ia tenggelam dalam tangis dan kemarahan, entah pada siapa. Ia marah pada dirinya, pada Zamar dan pada Maya.
Kenapa waktu, tidak dapat mengubah perasaan seseorang?
Sandra sudah tidak memiliki mood untuk bekerja. Ia sangat kacau sekarang. Make up luntur, rambutnya acak-acakkan, dan wajahnya sembab.
"Halo, Ma." Sandra terisak.
"Kenapa, sayang? Kamu menangis?"
"Zamar, akan menceraikanku." Sandra berlinang air mata dan tangan kirinya, menjambak rambutnya dengan kuat.
"Jangan menangis. Mama, tidak akan membiarkan itu. Sekarang, kamu pulang!"
"Tapi, aku harus bagaimana? Aku tidak punya muka, untuk menghadapinya."
"Bersikaplah, seperti biasa. Sebaiknya, kamu pulang dan kita bicarakan di rumah. Mama akan menemui dia."
"Baik, Ma."
Sandra berlari masuk toilet, membasuh wajahnya berulang kali. Ia merapikan rambut dan kembali memoles wajahnya, dengan make up. Selesai, Ia menatap pantulan dirinya dalam cermin. Memaksakan senyum dan menepuk-nepuk kedua pipinya.
🍋
🍋
"Selamat siang, sayang. Kau dari mana? Mama dari tadi menunggu?"
Zamar terkesiap, saat ia baru menginjakkan kaki dalam ruangannya. Wanita, yang dilihatnya berada dirumah sakit, pagi tadi. Kini, tiba-tiba berada disini.
"Pagi, Ma. Aku baru bertemu klien."
"Duduklah. Mama ada perlu."
Zamar memilih duduk sofa single, menghadap sang ibu. Ia memperhatikan senyum dan gerak-gerik wanita didepannya. Seperti, baru saja memenangkan hadiah, karena senyumannya yang tampak berbeda dari biasanya.
"Mama, tadi ke rumah sakit. Mama berkonsultasi dengan dokter Marsya, mengenai bayi tabung. Bagaimana pendapat mu?"
Jadi ini, yang membuat sang ibu tampak berbeda hari ini? Zamar menarik napas, mengatur ritme jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang.
"Mama, sudah bertanya pada Sandra?"
"Belum, sayang. Mama belum sempat bertemu. Mama, ingin dengar pendapatmu dulu. Kalian sudah lama menikah dan Mama mulai malu, jika terus ditodong pertanyaan yang sama setiap hari."
"Kenapa harus malu? Kita tidak bisa berbuat apa-apa, jika Tuhan belum mau memberi."
"Paling tidak, kalian harus berusaha, Zamar. Mau, ya? Ini demi, Mama."
Jika, dua kata terakhir itu terlontar, Zamar seolah tidak memiliki pilihan lain. Tidak tega, itulah senjata yang membuatnya luluh seketika.
"Apa Mama sangat menginginkan cucu?"
"Iya, dong. Kamu pertanyaannya, gimana sih. Kamu masih ingat teman Mama, yang anaknya seorang dokter. Dia punya cucu kembar dan setiap bertemu, dia akan menceritakan mereka, membuat Mama panas saja."
Kembar? Zamar teringat pada anak kembar yang berenang bersamanya. Memang lucu, memiliki sepasang anak seperti mereka. Apalagi, Khaira yang sangat menggemaskan dan cerewet. Zamar senyum-senyum, mengingat momen itu.
"Aku akan pertimbangkan, permintaan Mama."
"Kok dipertimbangkan? Kamu harus setuju, Zamar. Besok, kita ke rumah sakit, untuk pemeriksaan."
"Besok, aku tidak bisa. Mungkin, minggu depan. Sekalian, Mama Minta pendapat Sandra."
"Baiklah. Pulang nanti, Mama akan tanya dia. Sebaiknya, kalian pulang cepat!"
"Iya, Ma."
"Ya, sudah. Mama pulang dulu."
Zamar berdiam di kursi kebesarannya. Tangannya yang terkepal, memukul-mukul meja. Otaknya berpikir keras, mencari jalan keluar.
Tok, tok, tok.
"Tuan," Huan melangkah tergesa-gesa.
"Ada apa?"
"Kami menemukan jejak, nona Maya?"
Zamar sontak bangkit, kursinya terhempas kebelakang. "Dimana?"
"Dia menuju kampung nelayan di pesisir, namun kami belum memastikan lokasinya. Di pesisir, ada banyak kampung nelayan dan kami akan menelusurinya, satu persatu."
Benar. Laut. Maya menyukai laut. Seharusnya, aku mencarinya disana.
"Lakukan, secepatnya! Dan, cari tahu di pesisir, tempatku membangun Villa. Mulailah, dari sana."
"Baik, Tuan."
Zamar mengeluarkan foto Maya dari dalam laci. Menatapnya dengan penuh rindu.
Bertahanlah. Biarkan aku, menjemput dan bersujud, padamu.
🍋 Bersambung
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan