Warm Time With You
(Hangatnya Bersama mu)
....
Kalau penasaran dengan ceritanya langsung aja baca yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Udumbara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Amanda terus menatap sinis Aditya. Ia bahkan memasukkan Zyan ke dalam bajunya karena malu. Beruntung ia memakai baju ukuran besar, karena di lokasi syuting ia akan berganti baju.
"Biasa aja liatnya, Nona," kata Aditya terkekeh.
"Aku malu tau." Amanda cemberut.
"Gak apa-apa, udah tidur belum Zyan nya?" tanya Aditya hendak mengintip dibalik baju Amanda sengaja.
"Ih, Aditya!" Amanda langsung membalik badannya membelakangi Aditya.
Aditya terkekeh, ia mengeluarkan ponselnya. "Nona, bentar lagi jam 12 siang. Mau pergi ke lokasi syuting, 'kan?" tanyanya.
"Eh, serius?" Amanda memeriksa Zyan yang ternyata belum tidur itu. "Belum tidur Zyan nya," adunya.
"Lepas paksa aja, gak apa-apa."
"Tapi dia belum kenyang pasti,"
"Gak apa-apa, Nona, kalau susuin Zyan sampai kenyang, malah kamu yang kelaparan." kekeh Adit.
Amanda memasang wajah judes. "Tega amat sama anak sendiri," cibirnya.
Adit tertawa kecil. "Jangan terlalu dibiasakan Zyan menyusu, Nona, itu akan membuatnya susah berhenti nanti." pungkasnya.
"Lha? Gak apa-apa dong. Toh, aku bisa menyusuinya terus," kata Amanda yang tidak keberatan menyusui Zyan selama bayi itu masih kecil.
Adit tersenyum tipis. "Emangnya tidak bisa berhenti keluar? Katanya asi akan berhenti keluar kalau anaknya udah gak nen lagi, 'kan?" tanyanya serius.
Amanda menggeleng pelan. "Terakhir aku periksa ya saat mengetahui bahwa aku bisa mengeluarkan asi. Kata dokter sih kelebihan hormon, gak tau bisa sembuh atau enggak, soalnya aku gak sempat nanya dan sudah harus kembali pemotretan," jelasnya.
Adit mengangguk paham. "Apa kamu tidak ingin sembuh? Sebaiknya periksa kembali dan tanya bagaimana cara menyembuhkannya," sarannya yang kasihan, karena bagi perempuan yang bisa menghasilkan asi itu pasti susah.
Amanda mengintip Zyan kembali, ia tersenyum lebar. "Awalnya mau periksa buat nyembuhin. Tapi, aku ingin Zyan mendapatkan asi agar imunnya bagus," imbuhnya dengan tulus.
Adit ikut tersenyum lebar. Ia terharu akan kebaikan Amanda. "Kamu begitu baik, berbeda dengan ibunya yang tidak ingin memberinya asi," cicitnya lirih.
Amanda menatap Aditya yang nampak sedih itu. Ia memegang lengan kekar Aditya. "Udah gak apa-apa, sekarang Zyan punya aku buat kasih dia asi."
"Apa ayahnya juga mendapatkan itu," mata Aditya tertuju pada payudara Amanda yang tertutup itu.
Plak..
"Aditya, ihh... Aku serius juga..." kesal Amanda.
Aditya terkekeh pelan. "Bercanda, tapi kalau kamu ingin memberinya untukku juga gak apa-apa." godanya semakin menjadi.
"Kamu mau?" Amanda malah memberikan tawaran pada Aditya.
Aditya menatap Amanda dan tersenyum jahil. "Apa kamu bercanda, Nona? Siapa laki-laki yang menolak penawaran ini?" Amanda tertawa pelan, ia mengulurkan punggung tangannya didepan Aditya. "Nikahin dulu akunya, baru dapat asi gratis.." candanya.
Perlahan rasa canggung Amanda hilang karena Aditya suka menggoda dirinya. Jujur, bercanda dengan membicarakan asi dengan Aditya baginya biasa saja. Beda lagi kalau bersama mantan kekasihnya, jangankan berbicara masalah serius seperti itu, ditatap Raflk saja ia ketakutan.
Aditya menatap punggung tangan Amanda. Ia tersenyum tipis. "Tetaplah jadi ibu angkat Zyan, tanpa berniat menjadi ibu sambungnya," ujarnya menjauhkan tangan Amanda perlahan.
"Kenapa?" tanya Amanda bingung.
"Kita beda level, Nona. Kamu jauh berada diatas kami yang hanya rakyat kecil,"
"Lho? Kamu anak Tuan Zenaraga, Aditya. Itu artinya kamu berada diatas ku," kata Amanda berusaha mengalihkan perasaan canggungnya sekarang.
Niat bercanda, tapi kenapa perasaannya benar-benar merasakan sakit saat Aditya mengatakan mereka beda level.
Aditya terkekeh kecil. "Diatas tubuhmu, Nona?"
Amanda menatap datar pria itu. "Serius, ih!!" kesalnya.
Aditya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah bermimpi menjadi anak seorang pengusaha, Nona. Cinta dari orang tuaku yang meninggal itu sudah cukup membuatku tidak berpikiran bahwa mereka bukan orang tua kandungku. Tanda lahir yang ada padaku dan Zyan? Itu hal biasa. Banyak kok yang memiliki tanda lahir yang sama tanpa adanya ikatan darah,"
Aditya benar-benar tidak menyangka akan kehidupannya sekarang. Setelah 25 tahun hidup susah, dan sekarang ada seorang pengusaha yang mengakuinya sebagai anak? Itu mustahil.
"Aku mengerti. Tapi, bagaimana kalau mereka benar-benar orang tua aslimu?" tanya Amanda serius.
"Apa yang kamu bicarakan, Nona? Sudah, cepatlah ke lokasi syuting. Nanti terlambat," pungkas Aditya seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil alih Zyan.
"Kamu mengusirku?" tanya Amanda menatap Aditya sinis.
Aditya tertawa pelan. "Iya, kamu harus jadi pemain film terbaik agar Zyan bangga menjadi anak sambung mu," candanya.
Amanda mendengus kesal, ia melepaskan nipple-nya dari mulut Zyan. "Aaaaa, nen..." celoteh Zyan yang tidak ingin berhenti menyusu.
"Sudah ya, Zyan," kata Amanda seraya membenarkan bra dan bajunya.
"Nen...." kata Zyan yang masih ingin.
Aditya langsung mengambil alih anaknya itu. "Mama mau kerja, Zyan, besok lagi nen nya." ucapnya lembut.
Zyan menggeleng kuat. "Nen.." ujarnya lagi.
Amanda terkekeh gemes. "Pulang syuting mama mampir lagi. Sekarang mama harus kerja dulu ya, Sayang.." ia mengusap lembut pipi gembul Zyan.
"Nen.."
Cup
"Nih, mama cium dulu. Nanti nen nya nyusul," Amanda mengecup singkat bibir mungil nan kecil itu.
"Nona?" Aditya menatap Amanda.
"Ada apa?" bingung Amanda.
"Kok first kiss Zyan diambil? Dia masih kecil lho...."
"Apa sih? Kecup doang, bukan dilumat." Amanda geleng-geleng kepala karena perkataan Aditya.
Aditya cengengesan. "Bapaknya dapat juga, gak?"
Amanda terbelalak, ia langsung berdiri.
"Bahaya kalau lama-lama disini. Bapaknya Zyan memiliki hati yang iri terhadap anaknya," ia bergidik dan langsung berlari keluar.
Aditya tertawa mendengar perkataan Amanda. Ia ikut berdiri dan mengantarkan gadis itu hingga depan pintu.
"Dadah, Mama. Jangan lupa kasih Zyan nen lagi..." Aditya memegang lengan putranya dan menggerakkannya agar sang putra melambai pada Amanda.
"Aditya!!" teriak Amanda menatap garang pria itu. Bagaimana kalau tetangga sebelah dan sopirnya mendengar perkataan Aditya? Bisa-bisa mereka berpikiran yang tidak-tidak.
"Dadah, Mama..." Aditya terkikik geli karena menurutnya Amanda begitu lucu.
***
Sepulangnya dari rumah sakit, Sebastian menuju panti asuhan tempat Aditya diadopsi dulu. Hari ini Sebastian memang benar-benar menyelidiki tentang anaknya sendiri tanpa memikirkan pekerjaan.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya kepala panti perempuan itu.
Sebastian mengangguk kecil. "25 tahun lalu, ada bayi yang dibuang ke sini, bukan? Apa anda tahu siapa yang membuangnya?" tanyanya to the point.
Kepala panti itu mengerutkan keningnya bingung. "Ada banyak anak yang dibuang kesini, Tuan. Saya lupa kejadian yang bahkan sudah sangat lama itu," jawabnya jujur.
Sebastian menarik napas dalam. Ia membuka ponselnya dan memperlihatkan foto terakhir anaknya sebelum menghilang.
"25 tahun lalu, apa ada seseorang yang menitipkan bayi yang menggunakan baju seperti difoto ini?" Sebastian menunjuk baju yang terakhir kali anaknya pakai.
Kepala panti itu memperhatikan foto tersebut sambil mengingat-ngingat nya.
"Iya, saya ingat. Tapi, bayi ini sengaja dibuang, bukan diserahkan oleh seseorang, Tuan." ya, ia mengingat saat dirinya tidak sengaja mendengar suara tangis bayi dimalam hari. Karena panti itu sudah terbiasa dengan hal seperti itu, ia lantas keluar dan benar saja ada yang meletakkan bayi di depan pintu panti.
"Apa ada CCTV-nya dulu?" tanya Sebastian lagi.
Kepala panti itu menggeleng pelan.
"Sayangnya dulu panti ini, panti kecil yang belum memiliki fasilitas yang cukup, Tuan. Jadi, tidak ada CCTV sehingga kami tidak mengetahui siapa yang membuangnya." jelasnya.
Sebastian mengangguk pasrah. "Bayi ini sudah diadopsi, bukan? Apa anda masih menyimpan data orang yang sudah mengadopsinya?"
Ia membutuhkan data tersebut untuk meyakinkan Aditya bahwa ia anak adopsi dari orang yang sudah dianggap orang tua olehnya.
"Sebentar, saya cari dulu." kata kepala panti itu.
Sebastian mengangguk, ia memperhatikan kepala panti yang berjalan menuju lemari besar yang terdapat banyak berkas-berkas dari anak-anak dan kertas dari seseorang yang mengadopsi anak di sana.
Setengah jam berlalu, kepala panti itu kembali ke tempat duduknya dengan membawa satu map di tangannya.
"Saya baru ingat kalau ada barang bayi itu yang tertinggal," kepala panti itu memberikan sebuah gelang perak yang bertuliskan Dirga Zenaraga dan map itu pada Sebastian.
Sebastian tersenyum haru melihat gelang anaknya itu. Ia membuka dan membawa data identitas dari orang tua angkat anaknya itu. Di sana juga terdapat foto sang putra saat mau diadopsi.
"Yang mengadopsi bayi itu mengubah namanya agar tidak dicari oleh orang tua asli dari bayi tersebut. Makanya di sana tertulis Aditya Nanda, bukan Dirga Zenaraga, Tuan." jelas sang kepala panti.
Sekarang Sebastian mengerti kenapa detektif dan intel tidak bisa menemukan anaknya yang hilang. Ternyata identitas anaknya diganti oleh orang tua angkat sang putra.
"Tidak masalah, setidaknya ini sudah cukup bukti untuk meyakinkan Aditya bahwa dia adalah anak saya," Sebastian benar-benar bersyukur karena tidak sia-sia ia bertemu dengan Zyan dan menyelidiki tentang ayah dari cucunya itu.
Kepala panti itu tersenyum dan mengangguk.
"Semoga membantu, Tuan."
Sebastian menganggukkan kepalanya pelan. Ia menoleh ke arah Tobi yang sedari tadi berdiri dengan setia menunggu dirinya selesai.
"Tob, sumbangkan uang 100jt ke panti ini." titahnya.
"Baik, Tuan." patuh Tobi
***
"Bagaimana?" tanya Salsa pada Pak Surya.
"Maaf, Nona. Tuan Zenaraga sibuk beberapa minggu ke depan. Beliau tidak menerima kerjasama dengan siapapun selama itu, kita harus menunggu." kata Pak Surya sopan.
Salsa menatap kekasihnya itu. "Bagaimana, Sayang?" tanyanya.
Rafli mengangguk mengerti. "Kita akan menunggu. Untuk sekarang kamu cari pengusaha lain dulu buat bantu perusahaan kembali berkembang,"
"Baik, Tuan." Pak Surya pun mengakhiri panggilan telepon itu.
Salsa menyimpan ponselnya dan memeluk mesra Rafli. "Sayang," manjanya.
"Kenapa?" tanya Rafli menatap kekasihnya itu.
"Aku merindukan sentuhanmu," bisik Salsa bak jal*ng.
Rafli menaikkan sudut bibirnya. "Tunggulah sebentar. Dikit lagi sampai," kekehnya.
Mereka sedang berada didalam mobil. Salsa begitu manja yang tidak ingin pulang sendiri. Wanita itu menempel terus-menerus pada Rafli.
"Bukankah kita belum pernah bermain didalam mobil?" goda Salsa menggerakkan jari lentiknya sensual.
Rafli mengerutkan keningnya. Ia menatap jalanan yang cukup sepi itu. "Kamu ingin mencobanya?" tanyanya.
"Why not?" Salsa tersenyum nakal.
"Kita cari tempat yang lebih sepi,"
"Baiklah,"
Dasar pasangan hyper. Sama-sama gila selangkang*n dan bermain tidak tahu tempat.
***
Sore harinya, Aditya baru saja menidurkan sang putra. Ia duduk di tepi ranjang dan melamun karena memikirkan kejadian tadi lagi.
"Ayah dan ibu tidak pernah mengatakan kalau aku anak adopsi. Mereka bahkan bersikap layaknya orang tua kandungku. Lalu, bagaimana bisa orang itu mengatakan kalau aku anaknya?" Aditya bertanya-tanya.
Ia berdiri dan berjalan ke arah lemari baju. Ia mencari sesuatu untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Ini dia," ia kembali duduk di tepi ranjangnya.
Dibukanya map yang berisi akta kelahiran miliknya itu. "Bahkan aku memiliki akta kelahiran, itu artinya aku memang benar-benar anak ayah dan ibu, bukan anak mereka." ujarnya yakin.
Aditya membuka berkas pribadinya yang lain hingga foto masa kecilnya terjatuh ke lantai. Ia mengambil foto itu dan tersenyum.
"Ayah, ibu, Adit kangen. Lihatlah, cucu kalian sekarang sudah mulai bisa berjalan." ia mengajak foto itu berbicara.
Ting...
Aditya menoleh ke arah ponselnya yang berbunyi. Ia mengambilnya dan terlihat pesan dari Amanda.
Amanda [Aditya... Apa kamu mau jadi partnerku untuk pemotretan besok? Bentar lagi aku sampai di rumahmu, kita akan bicarakan ini, oke? Sampai ketemu]
Aditya terkekeh pelan karena membaca pesan dari Amanda. Bagaimana bisa gadis itu tidak sabaran memberitahu tentang partner pemotretan padahal gadis itu sedang menuju ke rumahnya.
"Gadis yang ceria. Dia bahkan tidak terlihat begitu sakit hati setelah putus. Sungguh berbeda dengan ku yang menangisi Naura," Aditya tersenyum kecut saat mengingat dirinya yang menangisi perempuan yang tidak bisa menghargainya itu.
🌸🌸🌸🌸🌸