Miko seorang Psikiater menangani seorang pasien wanita dengan gangguan mental depresi. Tetapi dibalik itu ternyata ada seorang Psikopat yang membuatnya menjadi depresi.
Ketika pasien tersebut ternyata bunuh diri, sang Psikopat justru mengejar Miko.
Hari-hari Miko menjadi berubah mencekam, karena ternyata psikopat tersebut menyukainya.
Setelah menghadapi si psikopat ternyata ada sisi lain dari pria ini.
Bagaimana Miko menghadapi hari selanjutnya dengan sang Psikopat?
Yuk simak kisahnya di cerita Othor. Ada beberapa plot twist-nya juga loh..yang bikin penasaran...
Jangan lupa dukungannya ya man teman...
Oiya, di cerita ini ada adegan mengerikan, ****** ****** dan kata2 'agak gimana yah'
Jadi buat dek adek yg rada bocil mending skip dulu yah....maap ya dek...
Mohon bijak dalam membaca...
*Salam hangat dari othor*
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Osborn
Marble mengeong di kaki Morino.
“Hey, Marble” sapa Morino menatap kucing gemuk yang manja di kakinya.
“Sepertinya dia menyukaimu” ucap Miko sambil tersenyum lebar.
“Bawa saja Marble pulang nanti”
“Bolehkah?”
“Ya, tentu saja”
Mereka memasuki ruangan yang hangat.
“Mau coklat hangat?” tawar Miko.
“Aku lebih suka kopi”
“Baiklah”
Miko memberikan kopinya pada Morino.
“Aku suka suasana rumahmu” ujar Morino.
“Benarkah?” Miko menaikan alisnya.
“Boleh aku menyicipi kue ini?” tanya Miko tak sabar membayangkan rasa kue yang menggoda itu.
“Makanlah” ujar Morino yang sudah duduk di kursi meja makan.
Miko menyediakan potongan Gateaux untuk Morino di piring kecil. Miko langsung menyendok potongan miliknya lalu melahapnya dengan semangat.
“Emmh, ini enak sekali! Benar-benar enak” ungkap wanita itu dengan mulut yang penuh kue.
Morino tersenyum lebar melihat tingkah Miko.
“Kau sangat berbeda ketika berada di rumah sakit dan menghadapi pasien”
Miko menutup mulutnya yang gembung sambil tersenyum.
“Benarkah? Maaf. Tapi aku masih sama dengan yang di rumah sakit”
Morino tidak melepas sedetikpun pandangannya dari Miko ketika ia melahap kue di depannya dengan antusias.
“Berhentilah menatapku seperti itu. Kau membuatku tidak konsentrasi. Maaf, tapi kue ini sangat enak. Aku sampai lupa diri” ucap Miko yang kini mengakhiri suapan terakhirnya.
“Aku suka melihatmu yang seperti ini”
Wajah Miko sedikit memerah.
Setelah selesai makan. Miko akan mengambil beberapa barang dari kamarnya.
“Sebentar aku akan mengambil barang-barangku di kamar”
Miko menaiki tangga menuju kamar di lantai atas, Morino mengekornya di belakang.
Sesampainya di kamar, Miko langsung mencari beberapa barang yang akan dibawanya.
Sembari menunggu Miko, Morino melihat-lihat isi kamar wanita itu. Sampai ia pada jendela yang terbuka.
“Kenapa kau tidak menutup jendela kamarmu?” tanya Morino kemudian berdiri di tepi jendela.
Tiba-tiba senyum di bibir Morino menyudut. Ia melihat kearah rumah tua di seberangnya. Rumah kosong yang pernah ia jadikan tempat memantau Miko dari sana.
“Aku suka udara malam dan bau malam yang tenang juga hening” jawab Miko.
“Hening tak selamanya membuat tenang dan damai. Hening juga bisa menjadi mencekam” balas Morino.
Miko spontan menoleh kearah Morino. Wanita itu tersenyum heran sambil mengerutkan alis. “Tidak kusangka kau bisa sepuitis ini”
Tiba-tiba Morino menjulurkan tangannya menarik pintu jendela. Ia akan menutupnya.
“Tapi udara hari ini sangat dingin. Kau harus menutupnya”
* * *
Beberapa hari kemudian,
Di sebuah gedung di tengah kota. Morino sempat melihat berita di saluran televisi di kantornya. Berita mengenai hilangnya seorang pejabat, Don G, Ayah dari pemuda yang pernah menjadi klien Morino. Morino langsung melangkah menjauh. ‘Si brengsek itu pasti sudah membusuk dengan lubang di dadanya’ batin Morino.
Tak lama setelah itu, ia memasuki lift. Ponselnya berderit. Sebuah pesan masuk di ponselnya.
‘Ah, Miko’ gumamnya sedikit semangat.
Morino segera menghubungi Miko.
“Ada apa?” tanya Morino.
“Aku pulang agak telat, ada keluarga pasien yang tiba-tiba memintaku datang kerumahnya” jawab Miko di sebrang telepon.
“Baik, tapi hubungi aku begitu sampai dirumah pasienmu”
“Kenapa memangnya?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kau sampai dengan selamat”
“Yah, baiklah”
Setelah menutup telepon, Morino tersenyum sendiri.
Kemudian Morino keluar lift dan menuju ke ruangannya.
Baru saja ia meletakkan tas kerjanya. Sebuah notifikasi di ponselnya kembali masuk.
Morino duduk bersandar di kursi Boss-nya.
Sebuah foto dikirim oleh nomer tak dikenal. Morino membukanya.
‘Marble?’
Morino membulatkan matanya.
Foto Marble sang kucing terlihat sedang di gendong di tangan seseorang yang tidak asing untuknya.
“Ini, Osborn Oneil. Kenapa Marble ada bersamanya? Apa dia ada di kota ini?”
Sepersekian detik, pesan baru muncul di ponselnya.
-Yo, Morino. Apa kabarmu? Mudah saja bagiku untuk mengambil kucing ini dari rumahnya. Berarti mudah juga bagiku untuk mengambil pemiliknya. Bukan begitu?-
Tanpa pikir panjang, Morino langsung menghubungi nomer tersebut.
Setelah beberapa kali sambungan telepon tersebut tidak diangkat, kemudian barulah sebuah suara berat menjawab panggilan telepon Morino.
“Kau panik, Morino?” tanya suara berat di sebrang telepon.
“Tuan Osborn, apa yang kau inginkan dariku? Tolong jangan kau ganggu Miko!”
“Aku tidak akan turun tangan, jika kau tidak macam-macam dengan putriku”
“Ayolah, Tuan Osborn. Kita bisa bicarakan ini baik-baik”
“Sepertinya sudah terlambat, Morino. Kau yang menyatakan perang denganku”
“Tunggu dulu! Jika ini hanya masalah Helena, anda tidak perlu seperti ini. Ini cuma masalah kecil, kenapa harus dibesar-besarkan?” sanggah Morino.
“Masalah kecil katamu? Kemarin Helena datang hanya untuk menemuimu. Lalu kau sia-siakan begitu saja, bahkan kau menamparnya!. Ck, kau benar-benar bajingan Morino!” suara Osborn masih agak datar.
Morino memijit keningnya.
“Baiklah, apa kita bisa bertemu untuk membicarakan ini?!”
“Datanglah! Temui aku. Alamatnya ku kirim sebentar lagi. Jika kau tidak datang hari ini, jangan salahkan aku jika kau kehilangan orang yang kau sayangi”
Sambungan telepon terputus.
Morino yang geram menggebrak meja. “Sial!” pekiknya.
Ia langsung mengingat Miko. Ia buru-buru menelpon wanita itu agar tidak kemana-mana. Tapi telepon Miko sedang tidak aktif.
“Sial! Baru saja tadi di telepon, kenapa langsung tidak aktif!’ umpat Morino yang berkali-kali mencoba menghubungi Miko.
Morino langsung menelpon anak buahnya untuk menjemput Miko di rumah sakit.
Di sebuah ruang agak besar. Sebuah club ternama, tempat yang disepakati Osborn untuk bertemu Morino.
Pria setengah tua berumur lima puluhan duduk di sofa bersandar sambil menghisap cerutu.
“Yo, Morino. Sudah lama tidak bertemu” sapa Osborn yang disekelilingnya beberapa anak buah berdiri mengawalnya.
“Baik, Tuan Osborn. Kita langsung saja ke intinya” ujar Morino sambil mulai duduk di sofa.
Merka berdiskusi, sedikit alot. Tapi akhirnya menemui kesepakatan untuk berdamai. Morino akan meminta maaf pada Helena.
Osborn masih menghargai Morino karena ia adalah cucu dari guru yang sangat dihormatinya, Morgan. Morgan Stenell adalah kakek Morino yang banyak membantu Osborn untuk segala hal.
Setelah pertemuan dengan Osborn, hari sudah mulai meninggi, Morino buru-buru kembali ke rumanya. Ia khawatir dengan Miko.
Sesampainya di halaman, ia langsung membanting pintu mobil dan sedikit berlari kedalam. Pria itu terus memanggil-manggil Miko, sampai ke lantai atas.
Ketika pintu kamar dibuka dengan keras, langkah Morino baru berhenti. Nafasnya agak tersengal. Ia berdiri di depan pintu dengan kecemasan yang langsung mereda. Ia melihat Miko yang tengah terlelap di ranjang.
Morino menghela nafas panjang, ia menunduk. ‘Huf, kau membuatku cemas, Miko’
Morino mendekati ranjang. Ia terus memandang Miko yang tengah terlelap. Mengusap rambutnya, menutupi tubuh istrinya dengan selimut.
Miko membuka matanya perlahan. “Morino? Kau sudah pulang?” Mata Miko terbuka setengah.
“Ya. Kenapa handphone-mu tidak aktif?” pertanyaan pertama Morino.
Miko duduk sambil mengusap kasar matanya.
“Maaf, ponselku jatuh. Pecah, setelah itu tidak hidup lagi” jawabnya.
Morino menurunkan pundaknya, dan berdecak ringan.
“Baiklah. Besok kita beli yang baru. Sekarang tidurlah”
Morino akan beranjak dari ranjang. Tetapi Miko spontan memanggilnya.
“Ada apa?” tanya pria itu.
“Apa kau tidak ingin tidur di ranjangmu?” tanya Miko.
“Memangnya kau sudah siap?”
“Um, bagaimana ya?” jawab Miko sedikit manja.
“Nah, kan. Kau belum juga siap. Yasudahlah, aku tidur di kamar bawah saja”
Kemudian Morino meninggalkan Miko sendiri, pria itu sudah keluar kamar.
Miko membuka mulutnya terkesiap. -Kenapa pria itu tidak peka-. Saat itu justru Miko sudah siap. Miko hanya bisa menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangan.