Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Sebesar Jeruk Nipis
Salah tidak ya kalau aku angkat? Ponsel ‘kan privacy. Tapi …, aku ini istrinya. Jangan sampai ada pesan penting.
Pada akhirnya Laras mengangkat telepon. Tapi, suara pria itu duluan berucap sesuatu yang panjang lebar, sehingga mata Laras membola.
Laras segera berlari menuju klinik desa. Meski Laras lupa memakai sandal, ia tak perduli lagi. Warga kampung yang sudah mendapatinya tadi berciuman di dalam gudang gabah jadi mencibir.
“Eleh, makin gila saja habis civokan.”
“Tiba-tiba sekali ya, nikahannya? Laras lama di kota, ‘kan?” ujar yang lainnya.
“Sekolah tinggi-tinggi tapi dapet suami ojol.”
“Tahu darimana, kamu?”
“Tuh.” Tunjuk bapak-bapak itu ke arah lelaki yang baru saja datang dari klinik.
Laras tak mendengarkan gosip murahan tersebut. Baginya, saat ini ia harus segera mendapatkan penjelasan dari Ali.
Setibanya di sana. Pria itu masih terbaring tak sadarkan diri. Laras masuk dengan tergesa, menggoyangkan bahu Ali dengan kasar.
“Heh, Laras. Ada apa, nak?” heran Pak Kaget.
“Dia harus bangun, Pak!”
“Maaf … ada apa ribut-ribut?” dokter wanita itu menegur Laras, “pasien belum sadar dan Anda malah melakukan hal seperti itu?”
“Diem dulu, dok. Ini suami saya!”
“Tapi saat ini dia pasien saya. Jadi, saya berhak atas kenyamanan pasien!”
Tubuh Laras memaju. Seolah bersiap untuk saling jambak. Namun, Ali segera sadar. Ia pegang perutnya yang berbalut kain kasa tebal.
Ia melirik ke samping dan melihat Laras tengah berkacak pinggang memasang wajah sok garang.
“Persis seperti bapaknya,” Ali berujar pelan. Karena tidak ada yang sadar jika Ali siuman. Pria itu memanggil istri kecilnya, “Laras ….”
“Heh, udah bangun?” Laras segera menarik kedua lengan Ali. “Cepat pakai baju kamu.”
“Hah?”
“Ayo buruan! Pak Pras lagi nungguin di kota!”
“Apa?!” seketika raut wajah Ali menegang. Ia tepok jidatnya.
Sial, aku ketahuan!
“Heh, ngapain sih, Mas Al?” Laras buru-buru memasangkan kemeja Ali, dikancingkan namun salah penempatan.
“Maaf …,” kata Ali tiba-tiba.
“Loh?” beo Laras.
“Maaf karena sudah meni …,” ucapan Ali terhenti sebab Laras segera berteriak.
“Pak Pras nungguin tuh, katanya kamu mau dikasi naik jabatan!”
“WHAT?!”
“Iya …, katanya Mas hari ini harus ke kantor gojek.”
Laras bantu Ali berdiri. “Mana obatnya, dok?” tangan mungil itu meminta.
Dokter wanita itu menganga lebar begitu pun dengan Pak Kaget.
“Mingkem, dok. Lalat bisa masuk itu.” Laras segera menyabet sebungkus obat-obatan dan pengganti perban Aliando. “Pak …, bayarin ya, hehe.”
Laras segera masuk ke dalam mobil kijang tempo doloe bapaknya. Kunci sudah melengket sejak tadi di sana. Laras segera menekan klakson, menurunkan kaca. “Pak …, pinjem dulu ya, mobilnya!”
Tanpa perduli teriakan Pak Kaget. Laras segera memacu mobil tempo doloe bapaknya. Jantung Aliando yang nyaris copot, kini, berusaha bernapas dengan baik.
Gadis ini benar-benar gila! Hampir saja aku mati berdiri. Aku pikir aku ketahuan, ternyata hanya karena ia mendengar aku akan naik jabatan, lantas ia segera menyeretku dari klinik? Luar biasa, semua istri ternyata sama saja …, cinta uang.
“Kenapa?” Laras melirik namun tetap fokus menyetir.
“Tidak.”
“Takut ketahuan, ya?”
“Apa?!” Aliando segera menoleh, ia menelan ludah.
“Haha …, ekspresi kamu lucu, Mas.”
“Maksud kamu apa, Laras?” Ali nampak memburu jawaban.
“Kamu takut ketahuan kalau jabatan kamu naik, ya?”
Ali menutup matanya rapat-rapat. Ia mendengus. “Kenapa kamu senang kalau saya naik jabatan?” tanya Ali lelah.
“Supaya kamu gak usah ngojek lagi, Mas. Aku takut kalau kamu kena tusuk lagi. Dari dulu aku gak mau punya suami yang pekerjaannya berbahaya.”
Ali menoleh. Ia pandang wajah gadis itu lekat-lekat. Bisa-bisanya dia berkata begitu. Suami? Dia benar-benar mengakui aku sebagai suami? Kenapa dia mudah sekali percaya dengan seseorang, sih?
“Apa lihat-lihat? Mau cerai?”
Lagi-lagi polisi intel itu dibuat takjub dengan omongan nyelenehnya Laras.
“Perhatikan jalan kamu,” kata Aliando.
Laras tersenyum, “takut jadi duda, ya?” goda Laras, kedua alisnya naik turun.
“Dih, dasar jamet.”
“Apa?!” protes Laras. Mukanya terlihat seperti kucing betina yang merajuk,
“Udah …, lihat lurus sana.”
Sekitar dua jam mengemudi. Mereka tiba di kota. Akan tetapi hujan pun turun dengan sangat deras.
“Sebentar lagi pasti banjir,” ucap Aliando melihat curah hujan yang semakin mengucur deras, “kita tidak akan bisa sampai di kantor grab.”
“Kenapa?” Laras memelankan laju kendaraannya.
“Di sana banjir. Air bisa setinggi pinggang orang dewasa.”
“Gak tinggi-tinggi amat itu.”
“Iya …, tapi kamu bakalan tenggelam. Kamu ‘kan cebol.” Ali menjulurkan lidahnya. Detik itu juga itu merutuki dirinya. Intel itu menutup rapat matanya, merasa sebaiknya ia terbawa arus banjir saja.
Apa-apan kamu Aliando Putra Perdana? Sejak kapan kamu bisa seakrab itu sama perempuan? Ditambah lagi dengan modelan macam kucing birahi begitu?
“Komat-kamit apa sih, Mas Al?” Laras memasukkan mobil ke sebuah kosan.
Ali mengenali tempat itu. Ya, itu adalah pertemuan pertama mereka. Pernikahan tiba-tiba itu pun terjadi karena insiden salah paham di kamar kos ini.
“Ngapain ke sini?”
“Berteduh. Lokasi ini satu-satunya tempat dengan dataran tinggi. Gak bakalan banjir.” Gadis itu menaikkan jempolnya. Ketika ia tersenyum, matanya bagaikan bulan sabit.
Sepersekian detik, polisi intel itu terpana. Detak jantungnya terpacu berkali-kali lipat. Lamunannya segera berhenti karena Laras.
“Hey! Ayo naik!” Mata Laras berkedip-kedip akibat tetesan air hujan yang deras. Melihat Aliando yang kesusahan turun dari mobil karena lukanya baru saja dijahit ulang, Laras segera berputar mengitari mobil.
Tangan lembut Laras memegang lengan si Polisi intel. Dipapahnya hingga mereka berdua berdiri berhadapan.
Seolah terkena sihir, keduanya tak lagi merasakan tajamnya air hujan membasahi mereka berdua. Bagaikan sedang menjalani proses syutin video klip, anak kos yang baru saja datang membeli gorengan sontak bersiul.
Laras segera melepaskan pegangannya pada Ali. Pria itu nyaris limbung.
“Cepetan naik. Inget kamar nomor berapa, ‘kan?” wajah Laras memerah.
“Yakali tidak ingat, saya terjebak gara-gara insiden itu.”
***
Laras seketika dongkol saat ia membuka lemari pakaian. Kosong melompong.
“Jadi si Lolly bawa kabur semua pakaian dan barang-barang gue?” Bahu Laras jatuh, menghela napas.
Ali tiba-tiba teringat perempuan di gang waktu itu. Ia yakin, itu adalah Lolly. Ini adalah kesempatanku untuk menggali informasi.
Perut Laras berbunyi, ia lapar. Gadis itu memesan grabfood menggunakan ponsel Aliando. Namun, semuanya menolak. Katanya, banjir dimana-mana.
Suara guntur memekakkan telinga Laras. Kaget bukan main. Lengkap sudah penderitaannya. Gadis mungil itu menghentakkan kakinya ke lantai. Isakan kecil mulai terdengar.
Ali mengusap wajahnya. “Kenapa lagi?”
“Hiks …, lapar.” Laras melemparkan ponsel itu ke kasur.
“Tadi aku lihat ada warung di depan sana.” Tunjuk Ali dari jendela kamar mengarah ke ujung jalan.
Laras menggeleng. “Gak suka menunya.”
Ali mengigit lidahnya. Karena capek dengan tingkah laku Laras, Ali memilih berbaring. Lukanya masih sangat perih, menggigit.
Namun, seketika itu, aliran listrik pun mati. Ruangan menjadi gelap gulita. Suara tangisan laras mulai menggema.
Polisi itu segera menyalakan senter ponselnya. Ditariknya Laras menuju ranjang. “Duduk sana. Ya ampun.”
Laras masih terus menangis. Perutnya lapar, lampu padam, suara guntur membuatnya takut. Ia butuh perlindungan.
“Hiks …, Mas Al ….”
“Iya, kenapa?”
“Peluk.”
“Hah?”
“Laras takut.”
Aliando memijit pundak dan leher belakangnya. Sebentar lagi tensinya akan segera naik. “Huffft.” Meski ia mengeluh, tetap saja polisi intel itu menuruti keinginan Laras.
“Pelan-pelan, perut saya jangan kamu sentuh.”
“Iya, tahu, kok.”
Keduanya berbaring pada ruangan kosan yang gelap. Hanya mengandalkan senter tadi tapi sekarang ponsel Ali lobet.
“Mana ponselmu?”
“Di mobil,” jawab Laras santai.
Kilat menjadi penerang alami. Laras merasa begitu ngantuk. Suaranya mulai parau.
“Mas All ….”
“Hem?”
“Kata dosenku, kalau kita ngantuk saat berada di samping orang lain …, itu tandanya kita nyaman.”
“Terus?” Ali memperbaiki posisinya. Pelukan Laras kian kuat. Detakan jantung Ali semakin tidak karuan. Diluar hujan lebat, harusnya dingin. Namun, tubun Aliando terasa panas sekarang.
“Itu berarti kamu bukan orang jahat. Laras biasanya susah bobo. Tapi …, sekarang …, Laras ngantuk berat.”
“Ya sudah, tidur saja.”
“Laras percaya sama Mas Al.”
Itu kalimat terakhir yang dikatakan Laras. Gadis mungil itu langsung tertidur dalam dekapan Aliando Putra Perdana. Sementara itu, pria tersebut setengah mati mengatur napasnya sebab toket Laras menyentuh bagian tubuhnya Ali.
“Hey, untuk apa cemas? Hanya sebesar jeruk nipis. Tidak membuatku bergairah,” gumam Aliando meyakinkan diri sendiri. Tapi tubuh tak bisa berbohong. Ali junior pun menegang. Polisi Intel tersebut menelan ludah berkali-kali sambil merapalkan doa.
Eh …. tapi, ‘kan Laras sudah jadi istrinya. Kenapa takut, sih?
Gak mungkin aku jatuh cinta sama Laras …, dia bukan tipeku! Mana toketnya kecil kek jeruk nipis.
Pada akhirnya Ali menutup matanya rapat, mencoba tidur dan memejamkan mata namun yg dibawah gak mau bobo juga.
Seberkas cahaya yg diberikan oleh kilat menampilkan bayangan adik kecilnya Ali mengacung tegak ke atas. Perlahan, polisi intel itu menatap bibir Laras yg mungil semerah ceri. Ali kian tergoda.
“Pasti sangat lembut dan hangat,” gumamnya lalu mengalihkan pandangan asal tidak menatap wajah gadis itu.
Tiba-tiba saja Ali teringat dengan ucapan Pras ketika Aliando melangsungkan kencan buta beberapa bulan yang lalu bersama seorang dosen wanita.
“Al …, kalo lo berdebar saat cium bibir perempuan, itu berarti lo suka sama dia.”
Perkataan Prass itu terbayang di kepala Ali hingga saat ini. Benar juga yang dikatakan sahabatnya itu. Ketika Ali mencium dosen wanita itu di dalam mobil. Aliando tak merasakan apa pun. Bahkan barang miliknya tak hidup.
Tetapi, mengapa saat bersama Laras ia merasa begitu haus, lapar, sekaligus terbakar?
“Haruskah aku coba?” gumam Ali menoleh pada Laras yang tertidur pulas.