Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kutukan yang Menimpa Diri Sendiri
Di rumah keluarga Seo-Rin, suasana pagi itu begitu suram dan penuh ketegangan. Seo-Rin, yang tengah mengandung dan seharusnya bisa beristirahat, malah dikejutkan oleh kedatangan seorang pria berwajah gusar di depan pintu rumah mereka.
Pria itu berdiri dengan sorot mata penuh kemarahan. Ia membungkuk sekadarnya sebagai penghormatan, tapi sikap tegasnya menunjukkan bahwa ia datang dengan maksud serius. Seo-Rin segera menghampirinya, menahan lelah yang terasa semakin menggerogoti tubuhnya.
"Ada keperluan apa, Tuan?" tanya Seo-Rin sopan, mencoba mempertahankan ketenangan di wajahnya.
Pria itu langsung menyampaikan keluhannya tanpa basa-basi. "Maafkan saya, Nona, tetapi saya tak bisa lagi menahan diri. Adik Anda, Tuan Min-Ho... ia sudah berkali-kali mengganggu istri saya, bahkan tanpa sedikit pun rasa malu."
Seo-Rin terdiam sejenak, mendengar tuduhan itu dengan hati yang semakin berat. Ia tahu betul sifat adiknya, Min-Ho, yang keras kepala dan sering bertindak sembarangan. Tapi sekarang, ia merasa semakin terjepit karena situasi ini justru semakin buruk ketika ia dalam keadaan hamil dan jauh dari istana.
Pria itu melanjutkan, suaranya semakin keras karena emosi yang tak tertahankan. "Istri saya bahkan merasa tertekan dan malu untuk keluar rumah. Jika ini terus terjadi, saya khawatir reputasi keluarga kami akan rusak. Tolong, Nona Seo-Rin, lakukan sesuatu. Kalau tidak, saya mungkin harus bertindak sendiri."
Seo-Rin menarik napas dalam, mencoba meredakan perasaannya. "Saya meminta maaf atas kelakuan Min-Ho, dan saya berjanji akan berbicara dengannya secepat mungkin. Saya harap Anda bersedia memberi kami waktu untuk menyelesaikan masalah ini."
Pria itu mengangguk sedikit enggan, namun akhirnya setuju untuk memberikan Seo-Rin kesempatan. Setelah pria tersebut pergi, Seo-Rin kembali ke dalam rumah dengan hati yang semakin terasa berat. Tak berapa lama, Min-Ho muncul dengan wajah santai, seolah tak ada masalah yang terjadi.
“Kakak, kenapa kau terlihat begitu murung?” tanyanya dengan nada ceria, bahkan sedikit acuh.
Seo-Rin menatap Min-Ho dengan tatapan tajam, membendung kemarahan yang sudah mencapai puncaknya. "Min-Ho, aku sudah mendengar segalanya. Apakah benar kau terus menggoda wanita yang sudah bersuami? Apa yang sebenarnya kau pikirkan?”
Min-Ho hanya tertawa kecil, tak merasa bersalah sedikit pun. "Ah, Kak, mereka terlalu berlebihan. Lagipula, aku hanya bersikap ramah pada mereka. Itu saja."
“Ramah? Kau sudah membuat istri orang merasa tertekan, bahkan suaminya sampai harus datang ke rumah ini untuk mengadu. Apakah kau tak sadar betapa memalukan perbuatanmu? Jika kau terus bertindak seperti ini, kau tak hanya mencemarkan nama keluarga, tapi juga membuatku semakin kesulitan!"
Min-Ho mendengus, seolah tak terpengaruh oleh kata-kata Seo-Rin. "Kak, kau terlalu tegang. Aku hanya mencoba menikmati hidup. Kau sebaiknya tidak mencampuri urusan kecil ini."
Seo-Rin merasa jantungnya berdetak kencang karena emosi yang tak tertahankan. Dalam keadaan normal, mungkin ia masih bisa menahan diri. Namun, dengan kondisinya yang tengah hamil dan semua tekanan yang dihadapi, ia merasa sudah di ambang batas.
“Min-Ho, aku sudah cukup bersabar. Jika kau tak juga berubah, kau akan menyeret keluarga ini dalam kehancuran! Jangan sampai kau membuatku mengambil tindakan tegas,” ucap Seo-Rin dengan nada dingin, berusaha memberikan peringatan terakhir pada adiknya.
Namun, bukannya menunjukkan penyesalan, Min-Ho malah tersenyum sinis dan meninggalkan Seo-Rin begitu saja, seperti angin yang berlalu tanpa meninggalkan kesan. Seo-Rin hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan kecewa dan frustrasi.
Setelah Min-Ho pergi, Seo-Rin merasa tubuhnya semakin lelah. Semua ini, mulai dari masalah Min-Ho hingga keinginannya untuk segera kembali ke istana menemui Pangeran Ji-Woon, membuat pikirannya kalut dan emosinya terkuras. Ia mengusap perutnya perlahan, merasa perlu melindungi kehidupan yang tengah tumbuh di dalamnya dari segala tekanan yang melanda. Tapi bagaimana caranya ia bisa melindungi dirinya dan bayinya, jika orang-orang terdekatnya terus membuatnya terjebak dalam masalah yang tak ada habisnya?
*
Aluna duduk di kamarnya, termenung memikirkan keputusan untuk kembali ke istana. Di satu sisi, hatinya ingin segera menemui Pangeran Ji-Woon, namun di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kondisi orang tua Seo-Rin yang semakin renta. Mereka adalah sosok yang, meskipun bukan orang tuanya yang sebenarnya, telah merawat dan memperlakukannya dengan penuh kasih selama ia berada di rumah itu. Mengabaikan mereka begitu saja saat mereka dihadapkan pada ulah Min-Ho yang semakin tak terkendali rasanya seperti pengkhianatan.
Pikiran Aluna kembali pada skenario yang ia tulis dalam novel, di mana keluarga ini mengalami kehancuran karena ulah kedua anaknya. Seo-Rin yang licik dan penuh tipu daya, serta Min-Ho yang hidup dalam kekacauan dan kehancuran moral. Semua orang membenci keluarga ini, mencap mereka sebagai sumber masalah. Di dalam cerita, keluarga itu dibiarkan hancur tanpa ada yang menyelamatkan mereka dari nasib tragis yang tak terhindarkan.
Tapi kini, dengan dirinya berada di tengah situasi itu, Aluna merasakan penyesalan yang begitu dalam. Seperti sebuah kutukan, ia terjebak dalam kisah yang ia sendiri ciptakan, dan kali ini tak bisa ia hapus atau ubah begitu saja. Semua kesedihan dan penderitaan keluarga ini, yang dulu ia tuliskan tanpa berpikir panjang, kini menghantuinya. Ia merasa seolah-olah turut bertanggung jawab atas nasib buruk yang mungkin akan menimpa mereka.
“Bagaimana bisa aku menulis cerita yang begitu kejam pada mereka?” batinnya dipenuhi rasa bersalah yang kian menekan.
Aluna sadar, meninggalkan keluarga ini dalam keadaan hancur bukanlah pilihan. Ia merasa perlu mengubah takdir mereka, dan untuk pertama kalinya, ia bertekad untuk mencoba mengubah arah cerita yang pernah ia tulis. Jika ia bisa memperbaiki kesalahan Seo-Rin, mungkin ia juga bisa membantu Min-Ho lepas dari jalan kelamnya. Dengan begitu, keluarga ini tak akan harus menghadapi akhir yang tragis seperti yang pernah ia tuliskan.
Di dalam hati, Aluna membuat janji. Ia akan melakukan apapun untuk menebus rasa bersalahnya, membalaskan kebaikan yang telah diberikan keluarga ini padanya, dan mungkin—hanya mungkin—mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik dari apa yang dulu ia rencanakan.
*
Keesokan harinya, Aluna memutuskan untuk menghadapi Min-Ho. Ia tahu ini takkan mudah, mengingat sifat adik laki-laki Seo-Rin yang keras kepala dan acuh tak acuh. Tapi Aluna tak mau menyerah. Bagaimanapun, ia ingin mencegah masa depan kelam yang pernah ia tuliskan.
Di sebuah halaman belakang yang tenang, Aluna menemukan Min-Ho duduk sambil memainkan pisau kecil di tangannya, wajahnya tampak kesal. Menyadari kehadiran Aluna, ia mendengus dan mencoba pergi, namun Aluna menahannya.
"Min-Ho, tunggu," panggilnya tegas.
Min-Ho menoleh dengan tatapan sinis. "Apa lagi? Mau ceramah? Jangan ikut campur urusanku, Kakak," katanya dingin.
Aluna menahan napas, berusaha menenangkan diri. “Aku tidak mau berceramah, Min-Ho. Aku hanya ingin kita bicara sebentar, sebagai keluarga.” Ia menatap mata adiknya dalam-dalam, mencari sedikit saja rasa pengertian di sana. "Apa kau sadar apa yang kau lakukan pada keluarga kita?"
Min-Ho tertawa pendek, dengan nada mengejek. "Keluarga? Oh, kau bicara tentang keluarga? Lucu. Kau sendiri selalu sibuk dengan urusanmu di istana dan mengabaikan mereka. Kenapa tiba-tiba peduli?"
Ucapan Min-Ho menusuk hati Aluna. Dalam novel, Seo-Rin memang digambarkan selalu mementingkan dirinya sendiri dan hampir tak pernah ada untuk keluarganya. Tapi sekarang, Aluna berbeda. Ia ingin membuktikan bahwa ia ada di sini dan peduli.
“Min-Ho, aku tahu mungkin aku bukan kakak yang sempurna, tapi aku ingin berubah,” katanya dengan nada yang lebih lembut. "Bukan untukku, tapi untuk Ayah dan Ibu. Mereka sudah terlalu tua untuk menanggung semua masalah yang kita timbulkan.”
Min-Ho terdiam, ekspresinya perlahan berubah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Mungkin, di balik sikap kasarnya, ada sedikit perhatian yang masih tersisa untuk keluarganya.
“Lalu, apa yang kau ingin aku lakukan?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lelah.
Aluna tersenyum sedikit, merasa ada harapan di sana. “Aku hanya ingin kau mulai berhenti membuat onar. Setidaknya untuk Ayah dan Ibu, yang sudah sangat mengkhawatirkanmu.” Ia mengulurkan tangannya, berharap Min-Ho mau menerima niat baiknya.
Min-Ho menatap tangan Aluna dengan ragu, namun setelah beberapa saat, ia menghela napas dan menjabatnya. “Baiklah, aku akan mencoba. Tapi jangan berharap banyak,” katanya lirih.
Aluna mengangguk. “Itu sudah cukup bagiku, Min-Ho.”
Mereka berdua terdiam, namun dalam keheningan itu, ada sebuah kesepakatan yang tercipta. Aluna berharap bahwa dengan dukungannya, Min-Ho bisa mulai berubah, dan ia bisa menghindarkan keluarga ini dari kehancuran yang pernah ia tuliskan.
Bersambung >>>