Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17:Dunia Di antara Dunia
Ardan merasa tubuhnya kaku, meskipun keheningan yang mengelilinginya seolah menawarkan ketenangan. Namun, ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Di tengah udara yang dingin dan gerakannya yang terseok-seok, ia mendapati dirinya berada dalam suatu ruang yang asing, namun penuh dengan kenangan. Ruang itu seperti ruang nostalgia yang berlapis-lapis—seolah itu adalah sebuah dunia kenangan yang tercipta begitu saja di hadapannya.
Ia menyentuh dinding kayu yang usang, dan seketika itu juga gambar-gambar kabur muncul dalam benaknya. Gambar-gambar itu—entah kenangan atau ilusi—terlalu nyata. Momen-momen yang sudah lama terlupakan, yang seharusnya tidak pernah muncul kembali. Sesuatu yang lebih dari sekedar ingatan.
“Ini tidak nyata...” Ardan berbisik, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Di sekelilingnya, ada potret-potret lama yang terbingkai rapuh. Potret seorang wanita yang ia kenal baik, senyumannya seolah terukir begitu dalam di jiwanya, meskipun wajahnya terlihat semakin memudar. Ibunya.
“Ini...” Ardan meraba sebuah foto yang terselip di antara rak-rak kayu. Dalam foto itu, ibunya tampak muda, penuh harapan, berpakaian sederhana, dengan mata yang bersinar penuh kebahagiaan. Dia berada di sebuah taman, tangan memegang bunga dengan senyum yang tulus. “Ibu...”
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar. Suara sepatu yang berderap di atas lantai kayu yang berderit. Ardan berbalik, dengan hati yang berdebar kencang. Seseorang muncul dari balik pintu. Bukan ibunya. Tapi...
Selina.
Dia muncul di depan Ardan dengan mata yang bersinar cerah, wajahnya sedikit tersenyum, tetapi ada sesuatu yang aneh pada tatapannya. “Kau sudah datang.” Suaranya tenang, hampir seperti sebuah bisikan.
“Selina... Apa yang terjadi?” Ardan bertanya, suara seraknya mencerminkan kebingungannya.
“Tunggu,” jawab Selina dengan lembut, matanya menatap sekeliling ruangan. “Di sini, waktu berjalan dengan cara yang berbeda.”
Ardan memandangi Selina, berusaha mengingat kembali kejadian-kejadian yang membawanya ke sini, namun sepertinya semakin lama, semakin kabur. “Apa maksudmu? Ini bukan dunia nyata. Ini bukan tempat yang seharusnya ada.”
Selina hanya tersenyum, namun kali ini senyumnya lebih mengesankan perasaan yang jauh lebih dalam. “Ini bukan dunia yang nyata, Ardan. Ini adalah tempat yang terhubung dengan kenangan dan rasa sakit. Dunia di antara dunia.”
Ardan merasa tubuhnya menjadi dingin seketika, seolah diserang angin malam yang datang begitu cepat dan tiba-tiba. “Kenapa aku ada di sini?” suara Ardan hampir hilang, seakan tenggelam dalam keraguannya sendiri.
Selina berjalan perlahan ke arah Ardan, menghampirinya dengan langkah yang tenang, seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. “Karena kamu belum selesai dengan apa yang tertinggal.” Jawabannya terdengar seperti teka-teki, sesuatu yang sulit dipahami tapi begitu nyata.
Ardan menelan ludah. “Tertinggal... apa maksudmu?”
Selina berhenti tepat di depannya, memandangnya dalam-dalam. “Ada bagian dari dirimu yang belum kamu temukan. Kamu harus menyelesaikannya sebelum kamu bisa kembali.”
“Ke mana?” Ardan bertanya, kebingungannya semakin melanda. “Selina, apa ini semua? Aku tidak mengerti.”
“Aku tidak bisa memberitahumu segalanya,” Selina menjawab dengan suara yang lebih lembut, tetapi lebih penuh dengan rasa yang tidak bisa diungkapkan. “Tapi kau harus tahu, dunia ini adalah ruang untuk menemukan jawaban—jawaban yang mungkin sudah kamu lupakan.”
Selina memutar tubuhnya perlahan, menghadap Ardan dengan tatapan kosong yang menahan banyak misteri. “Ibu... ada di sini, Ardan. Ibunya ada di sini, di dunia ini.”
Ardan terdiam. Semua perasaan yang menghinggapinya mulai bercampur aduk—antara kerinduan, kebingungan, dan kekhawatiran. “Ibu...?”
“Dia tidak bisa datang ke sini sendirian,” Selina menjawab dengan lembut, tidak ada tanda-tanda kebingungan. “Dia terperangkap di antara dunia ini dan yang lainnya. Dan kamu... kamu adalah kunci untuk membawanya keluar.”
Ardan merasa jantungnya berdegup lebih cepat, namun ada sesuatu yang menghalanginya untuk benar-benar mempercayai kata-kata Selina. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa ibunya—yang telah lama hilang—berada di tempat ini?
“Bagaimana aku bisa membantunya?” Ardan berbisik, suaranya penuh harapan. “Aku ingin kembali, ingin keluar dari sini dan menemukan ibu. Ini terlalu... terlalu banyak untuk aku hadapi.”
Selina tersenyum sedikit, tetapi senyumnya terasa lebih berat. “Tidak ada yang mudah di dunia ini, Ardan. Apa yang kau cari akan memerlukan pengorbanan yang lebih besar daripada apa pun yang pernah kau bayangkan.”
“Pengorbanan?” Ardan hampir berteriak. “Apa maksudmu? Aku hanya ingin menemukan ibu! Aku tidak ingin kehilangan apa pun lagi!”
Selina memandangnya dengan tatapan penuh belas kasih. “Terkadang, untuk menemukan apa yang kita cari, kita harus melepaskan apa yang kita pikir kita inginkan. Bahkan jika itu menyakitkan.”
Ardan terdiam. Kata-kata Selina seperti cambuk yang menyayat, membuatnya merasa cemas sekaligus penasaran. Apa yang harus ia lepaskan? Apa yang lebih penting dari ibunya?
Suasana di sekitar mereka semakin gelap, seolah dunia itu sendiri memudar. Namun, seberkas cahaya muncul dari balik pintu. Sebuah cahaya yang berkilau seperti harapan.
Selina melangkah mendekat, menunjuk ke arah pintu yang mulai terbuka. “Di sanalah jawabannya, Ardan. Kamu harus memilih. Apakah kamu siap?”
Ardan menatap pintu itu, ada rasa takut yang mencekam, namun ada juga secercah harapan yang begitu kuat. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di balik pintu itu, tetapi satu hal yang ia tahu—ia harus mencoba.
Langkahnya berat, namun ia berjalan menuju pintu, meninggalkan dunia yang penuh kenangan dan rasa sakit itu.
Ketika ia melangkah keluar, dunia di sekelilingnya berubah lagi—penuh dengan cahaya yang begitu terang, namun juga penuh dengan bayangan yang menyelimuti.
Apa yang sebenarnya menanti di dunia luar? Ardan tidak tahu, tetapi ia siap untuk menemukannya.
---