Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Perdebatan
"Aku pergi dulu, jika kamu bosan di rumah, kamu bisa ajak Bi Kenoh antar," pesan Aldian seraya memakai sepatu PDH nya yang sudah mengkilat karena sentuhan semir.
"Iya. Eum, kenapa aku tidak boleh keluyuran keluar sendiri, Mas? Aku juga sudah tahu wilayah sekitar tempat ini. Kamu ,kan sering bawa aku ajak jalan-jalan?" ujar Haliza terdengar merajuk.
"Kamu pernah dengar ada dua orang residivis yang setelah beberapa hari keluar penjara, dia melakukan kejahatan lagi? Mencuri motor anak SMA dan melecehkannya, untung saja anak SMA itu tidak diperkosa."
"Iya, lalu kenapa, Mas? Kan residivis itu sudah ditangkap lagi setelah ketahuan persembunyiannya? Lalu apakah aku harus duduk diam di dalam rumah menunggu kamu pulang kerja? Aku juga rindu dengan aktifitas aku seperti di Yogya, apakah kamu tidak ingin atau tidak bangga kalau kita sama-sama bekerja?" Haliza masih kekeuh dengan pendiriannya, lalu secara terselubung ia mengungkapkan keinginannya untuk bekerja.
"Tidak. Aku tidak bangga kalau kamu kerja. Sudah aku bilang kamu bisa kerja di rumah. Peluang kerja sampingan yang pernah aku kasih tahu ke kamu itu besar lho potensi dapat duitnya. Kerjanya tidak cape dan tidak memerlukan tenaga atau otot saat melakukannya. Dikasih enak kok kamu tidak mau," sergah Aldian sedikit meninggi.
"Aku bosen lama-lam di rumah," balas Haliza lagi membuat Aldian menghentikan tangannya memasukkan sepatu yang satunya lagi.
"Kamu semua larang ini itu, aku ini biasa bekerja dan punya uang sendiri, bahkan kadang bisa kasih uang untuk mama atau keponakan aku. Tolonglah kasih aku kesempatan untuk bekerja sebelum aku hamil."
Kalimat yang diucapkan Haliza barusan berhasil membuat Aldian urung menggunakan sepatu. Ia buka kembali sepatu itu. Lalu meraih lengan Haliza dengan perasaan marah.
"Dengar, ya, dulu kamu masih single dan belum punya pasangan, kamu bisa bekerja sana-sini tanpa ada ikatan. Tapi sekarang beda lagi, Za. Kamu sudah bersuami dan kamu tanggung jawabku. Aku punya hak melarang kamu ini itu demi keselamatan kamu. Dan aku tahu seperti apa saat ini kota kecil tempat kita tinggal ini. Saat ini sedang ada kerawanan yang sekali-kali bisa mengancam keselamatan orang lain. Itu makanya aku larang kamu untuk bekerja di luar, lagipula tanpa ada masalah residivis itupun aku memang tidak ijinkan kamu untuk bekerja. Apakah kamu mengerti sampai di situ?" papar Aldian sembari menatap tajam penuh penekanan pada Haliza.
Tangan Aldian yang sudah gemetar, ia tahan untuk tidak melakukan tindakan kekerasan, apalagi di depannya adalah seorang perempuan yang patutnya dilindungi.
Aldian melepaskan tangan Haliza, ia terduduk di sofa dengan tangan mengusak kasar rambut yang tidak gondrong itu. Kesabarannya kini sedang diuji. Sikap Haliza seakan keterlaluan dan berani menantangnya. Padahal sebagai lelaki, ketika amarahnya dipancing, sangat dimungkinkan akan meledak dan tidak terkendali. Tapi Aldian berusaha menahannya, karena di hadapannya adalah seorang istri yang seharusnya dia ayomi dan diberikan kelembutan.
"Apakah tidak cukup uang dari aku? Bahkan kamu bisa belanjakan uang itu jika kamu mau. Mau kamu berikan sama Ibu atau ponakan kamu juga tidak masalah. Akan aku tambah lagi jika uang bulanan kamu kurang. Kamu bisa belanjakan uang itu, tapi kalau kamu ingin keluar, kamu minta temani Bi Kenoh. Apakah kamu paham akan kekhawatiran aku, Za?" ujar Aldian lagi meradang.
Haliza menunduk, kembali ia merasa takut dengan kemarahan Aldian. Tapi Haliza tidak menganggap serius kemarahan Aldian itu, sebab seperti yang sudah ia rasakan, Aldian tidak pernah melanjutkan marahnya atau marah yang berlebihan. Selanjutnya Aldian justru sering menggodanya atau mengalihkan marahnya dengan kalimat ejekan.
"Paling nanti juga reda, Mas Aldian kan marahnya hanya saat ini saja," remehnya dalam hati.
"Baiklah, aku pergi dulu. Aku sudah terlambat masuk kantor. Ingat pesan aku, kalau kamu ingin pergi kamu minta antar Bi Kenoh." Sekali lagi Aldian memberikan pesannya agar Haliza minta diantar Bi Kenoh saja jika akan pergi.
Aldian pergi setelah kesalnya reda, ia tetap masuk kantor meskipun hatinya sedang tidak nyaman gara-gara kemarahannya tadi pada Haliza.
"Wajar saja jika aku melarang-larang Haliza. Dia juga istri aku. Lagipula aku melarang dia karena aku khawatir dan tidak mau melihat dia lelah. Apakah dia masih belum mengerti kalau aku ini sangat mengkhawatirkannya?" Sepanjang jalan menuju kantor, Aldian tidak berhenti memikirkan sikap Haliza yang selalu memancing kemarahannya.
Tiba di kantor, saat hatinya sedang tidak nyaman, Aldian justru bertemu dengan Cakar dan anak istrinya, cinta masa lalu itu kini tergugah kembali. Meskipun antara dirinya dan Halwa hanya terlibat pernikahan main-mainan, tapi terbawa sampai ke dalam hati. Terlebih kini Halwa semakin menampakan perubahan yang sangat baik, dia berhijab dan semakin cantik saja.
"Beruntung banget Sertu Cakar mendapatkan perempuan seperti Azizah yang sabar dan cantik. Kalau saja Haliza bisa patuh dan tidak melawan terus ucapanku, mungkin saja perasaan cintaku ini sudah sedalam lautan padanya." Aldian membatin.
"Selamat pagi Danton," sapa seseorang seraya memperhatikan Aldian yang tengah bengong. Aldian terperanjat saking fokusnya tadi mengamati Cakar dan anak istri.
"Bang Cakar. Saya sedang bengong menunggu Danru. Tapi Danrunya belum muncul," alasan Aldian menyembunyikan keterkejutanya atas kehadiran Cakar dan keluarga kecilnya.
"Bukankah Danru sudah ke ruangannya sejak tadi?" tukas Aldian mengingatkan.
"Betul sekali. Saya tadi ketinggalan, karena saya sedang memikirkan rencana kita ke depan untuk merubah hubungan kita menjadi sepasang besan," ujar Aldian diimbuhi tawa kecil.
"Danton ini bisa saja, jangan terlalu dini merencanakan sesuatu yang belum tahu ke depannya seperti apa. Jangankan jadi sepasang besan, Anda saja belum memiliki anak," gelak Cakar sembari menggendong anaknya yang belum genap dua tahun.
"Wah tampan betul calon mantu papa. Ingat, ya, Nak. Beberapa tahun kemudian kamu akan menikahi anak papa. Kamu akan jadi mantu papa," celoteh Aldian seraya meraih tangan Kafeela bocah balita yang badannya ternyata sedang demam.
"Mas Cakar bisa saja," seloroh Halwa menimpali. Dia baru bisa bersuara setelah sekian saat.
"Eh, kok, badannya panas. Anakmu sakit lho, Bang. Segera bawa ke kesehatan," usul Aldian khawatir.
"Memang mau kami bawa ke sana kok," dalih Cakar seraya berjalan duluan sembari membawa Kafeela menuju ruang kesehatan tanpa sadar kalau sang istri masih berada di belakangnya bersama orang yang pernah paling dicemburuinya.
"Ya ampun, istri saya ketinggalan. Sayang, ayo." Cakar meraih lengan Halwa dan segera menjauh dari Aldian yang tadi sempat bahagia bisa berjalan berjejer dengan Halwa.
"Azizah masih belum berubah, dulu bahkan sekarang masih saja malu jika bertemu aku," gumam Aldian menatap kepergian Halwa dan Cakar.
kasihan jg lihat Haliza..
tertekan dan serba salah yg di rasakannya...
kasihan jg lihat Haliza..
tertekan dan serba salah yg di rasakannya..