NovelToon NovelToon
The Unfinished Story

The Unfinished Story

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / CEO / Time Travel / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir
Popularitas:693
Nilai: 5
Nama Author: Firaslfn

Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.

Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.

Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14: Kenangan yang Terlupakan

Pagi itu, Elyana berada di perpustakaan pribadi di kantor Griffith Corporation, mencoba mencari dokumen lama yang bisa membantunya memahami latar belakang Davin. Perpustakaan itu dipenuhi berkas-berkas tua, catatan keuangan, hingga dokumentasi proyek perusahaan di masa lalu.

Namun, Elyana tidak hanya mencari informasi bisnis. Ia mencari sesuatu yang lebih dalam—petunjuk tentang luka yang tersembunyi di balik sikap dingin Davin.

Setelah beberapa waktu mencari, ia menemukan folder kecil di sudut rak yang berisi foto-foto lama. Salah satu foto menarik perhatiannya. Foto itu menunjukkan Davin kecil, berdiri di samping seorang wanita cantik dengan senyum cerah.

Dengan tekad, Elyana pergi menemui Davin yang berada di ruang kerjanya.

"Aku menemukan sesuatu,” Elyana memulai, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu.

Davin berbalik, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu?”

“Aku melihat foto lama di lemari penyimpanan. Ada satu foto kamu dengan seorang wanita... dia terlihat mirip denganmu. Apakah itu ibumu?”

Mendengar itu, ekspresi Davin berubah. Matanya mengeras, dan rahangnya mengencang. “Kenapa kamu mengorek-ngorek barang pribadiku?”

Elyana terdiam sejenak, mencoba memahami emosi Davin. “Aku tidak bermaksud lancang. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu, Davin. Aku ingin mengerti apa yang membuatmu menjadi seperti sekarang.”

Davin menghela napas berat. Ia berjalan ke arah meja, mengambil cangkir teh yang tadi dibawa Elyana. Gerakannya pelan, tapi ada ketegangan yang terlihat jelas. “Apa yang aku alami di masa lalu tidak ada hubungannya dengan kamu atau pernikahan ini,” ujarnya dengan nada dingin.

“Tapi aku adalah istrimu,” jawab Elyana tegas, matanya menatap lurus ke arah Davin. “Aku ingin ada di sisimu, bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai seseorang yang peduli. Jika ada sesuatu dari masa lalu yang membebanimu, aku ingin tahu. Aku ingin membantu.”

Davin terdiam, tidak segera menjawab. Ia memutar cangkir di tangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat. Akhirnya, ia berkata dengan suara rendah, “Ibu meninggal ketika aku masih kecil. Sejak itu, aku belajar untuk tidak bergantung pada siapa pun.”

Elyana merasakan hatinya mencelos. Ia bisa melihat bahwa Davin tidak nyaman membicarakan hal ini, tetapi juga tahu bahwa pengakuan itu adalah langkah kecil menuju keterbukaan. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Davin. Tapi aku tahu kehilangan seseorang yang kita cintai itu menyakitkan. Aku bisa merasakannya.”

Davin menatapnya sejenak, ekspresinya melembut untuk pertama kalinya. Namun, momen itu hanya berlangsung sesaat sebelum ia kembali mengalihkan pandangan. “Kehilangan itu mengajarkan aku satu hal, Elyana. Jangan pernah terlalu dekat dengan siapa pun. Pada akhirnya, semua orang pergi.”

Kata-kata itu menusuk hati Elyana. Ia tahu, Davin tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tapi juga tentang rasa takutnya di masa depan. Ketakutan akan kehilangan membuatnya membangun tembok yang begitu tinggi, hingga ia mengisolasi dirinya dari orang lain.

Namun, Elyana tidak menyerah. Ia tahu, jika ingin menyelamatkan Davin dari masa depan yang ia ketahui, ia harus menghancurkan tembok itu, pelan-pelan, dengan kesabaran dan cinta.

Malam itu, setelah percakapan singkat mereka, Elyana merenung di kamar tidur. Ia memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Di dalam foto itu, senyum Davin nyaris tak terlihat, seolah-olah momen itu hanyalah formalitas baginya.

Elyana menggenggam tangannya sendiri, mencoba menguatkan hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan masa lalu Davin terus menghantui mereka. Jika ada satu hal yang bisa ia lakukan, ia ingin mengubah masa depan—bukan hanya untuk menyelamatkan Davin, tetapi juga untuk memberikan mereka berdua kesempatan yang baru.

Hari berikutnya, Elyana kembali ke lemari penyimpanan yang sama. Ia mulai memeriksa dokumen-dokumen lama milik Davin, mencari petunjuk lebih banyak tentang masa lalunya. Di antara kertas-kertas itu, ia menemukan surat yang sudah menguning, ditulis dengan tulisan tangan yang lembut dan elegan.

“Untuk Davin kecilku,” tertulis di bagian atas surat itu.

Elyana membaca surat tersebut dengan hati-hati. Setiap kata di dalamnya menggambarkan cinta seorang ibu yang begitu besar untuk anaknya. Surat itu menceritakan tentang harapan dan doa, tentang keinginan sang ibu agar Davin tumbuh menjadi pria yang kuat dan baik hati.

Air mata Elyana mengalir tanpa sadar. Ia merasa, surat ini adalah potongan penting dari puzzle yang selama ini hilang dalam hidup Davin.

Ketika Davin pulang malam itu, Elyana menunggu di ruang tamu dengan surat itu di tangannya. “Aku menemukan ini,” katanya dengan suara lembut, menyodorkan surat tersebut.

Davin tertegun, menatap surat itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia tidak segera mengambilnya, hanya berdiri di sana dengan tatapan kosong. “Kenapa kamu terus mencari-cari, Elyana?” tanyanya, suaranya penuh dengan kelelahan.

“Karena aku peduli, Davin,” jawab Elyana dengan tegas. “Aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri. Apa pun yang kamu rasakan, apa pun yang kamu alami, aku ada di sini.”

Davin akhirnya mengambil surat itu dari tangan Elyana. Ia membuka lipatannya dengan perlahan, membaca tulisan di dalamnya. Untuk pertama kalinya, Elyana melihat kilatan emosi di mata pria itu—sebuah rasa sakit yang mendalam, tapi juga kehangatan yang sudah lama terkubur.

“Terima kasih,” kata Davin pelan, hampir seperti bisikan.

Elyana tahu, meski kecil, ini adalah langkah besar bagi mereka berdua. Dan malam itu, ia merasa semakin yakin bahwa ia bisa mengubah masa depan, sedikit demi sedikit, dengan menyentuh hati Davin yang selama ini tersembunyi di balik tembok yang tinggi.

 

Keesokan harinya, Elyana memutuskan untuk mencoba pendekatan yang lebih halus. Di sela jam makan siang, ia memasuki ruang kerja Davin dengan membawa secangkir kopi hitam, minuman favoritnya.

“Ini untukmu,” katanya sambil meletakkan kopi di mejanya.

Davin menatapnya sebentar, lalu kembali fokus pada dokumen di tangannya. “Terima kasih,” jawabnya singkat, tanpa menunjukkan banyak emosi.

Elyana tidak menyerah. “Aku sedang memikirkan proyek sosial yang pernah kita bicarakan, tentang mendukung anak-anak yang kehilangan keluarga mereka. Apa kamu tertarik untuk melanjutkannya?”

Kali ini, Davin berhenti menulis dan mengangkat pandangannya. “Kenapa tiba-tiba kamu mengingat itu?”

Elyana tersenyum tipis. “Karena aku tahu ini penting. Aku ingin kita berbuat sesuatu yang bermakna, bukan hanya untuk perusahaan, tetapi juga untuk orang-orang yang membutuhkan.”

Davin terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi aku tidak punya banyak waktu. Kalau kamu serius, siapkan proposalnya.”

Elyana mengangguk antusias. Meski respons Davin dingin, itu cukup baginya untuk melangkah lebih jauh.

Malam itu, Elyana duduk di meja kerjanya di rumah, menyusun proposal untuk proyek sosial yang disebutkan tadi. Di sela pekerjaannya, pikirannya kembali melayang ke kenangan masa depan.

Ia teringat bagaimana Davin jarang tersenyum, bahkan di saat-saat bahagia mereka. Tapi di satu momen, ia melihat kilasan kebahagiaan di wajahnya ketika membicarakan rencana untuk membantu anak-anak yatim piatu.

“Aku ingin membuat perbedaan,” kata Davin kala itu, suaranya penuh keyakinan. “Setidaknya aku bisa memberi mereka sesuatu yang tidak pernah aku miliki.”

Elyana baru memahami maksud kata-kata itu sekarang. Kehilangan Eveline mungkin meninggalkan luka besar, tetapi luka itu juga menjadi alasan di balik ambisi Davin untuk membantu orang lain.

Ia merasa langkah ini adalah jalan yang tepat untuk mendekati Davin dan mengingatkannya pada impian yang pernah ia miliki sebelum kehilangan dan luka mengubahnya.

Beberapa hari kemudian, Elyana berdiri di depan meja Davin dengan proposal yang sudah ia siapkan.

“Aku sudah menyelesaikannya,” katanya, menyerahkan dokumen itu.

Davin mengambilnya tanpa banyak bicara, membacanya dengan saksama. Elyana memperhatikan bagaimana alisnya sedikit mengernyit, lalu melonggar ketika ia sampai di bagian akhir proposal.

“Ini cukup baik,” komentar Davin akhirnya. “Kita bisa mulai dengan pilot project kecil dulu.”

Elyana tersenyum lebar. “Aku akan mengurus semuanya.”

“Dan pastikan kamu tidak mengacaukannya,” tambah Davin dengan nada serius. Tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya—seperti kilasan kehangatan yang jarang terlihat.

Beberapa minggu berlalu, proyek sosial itu berjalan dengan baik. Elyana sering melihat Davin mengunjungi lokasi proyek, berbicara dengan anak-anak yang tinggal di sana. Meskipun ia tetap pendiam, ada kelembutan yang terpancar dalam cara ia mendengarkan mereka.

Suatu sore, Elyana menyaksikan momen yang mengharukan. Seorang anak kecil menarik tangan Davin, memberinya gambar sederhana berupa rumah dengan keluarga yang tersenyum.

“Ini untukmu, Paman,” kata anak itu ceria.

Davin memandang gambar itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan, lalu berkata pelan, “Terima kasih.”

Elyana merasakan dadanya hangat. Itu mungkin hanya momen kecil, tetapi ia tahu bahwa sedikit demi sedikit, tembok tinggi di hati Davin mulai retak.

Di saat yang sama, Elyana menguatkan tekadnya. Ia tidak hanya akan menyelamatkan Davin dari kematian tragis di masa depan, tetapi juga membantunya menemukan kembali makna kebahagiaan yang sesungguhnya.

Elyana melangkah pelan menuju ruangan kerja Davin yang sunyi. Dalam perjalanan, pikirannya terus dipenuhi bayangan tentang Davin di masa depan—kesedihan dan rasa kehilangan yang begitu nyata. Ia sadar, untuk menyelamatkan pria itu dari takdir tragisnya, ia harus memahami apa yang selama ini disembunyikan Davin di balik sikap dinginnya.

Sore itu, Elyana membawa dua cangkir teh hangat. Meski kecil, ia berharap ini bisa menjadi awal percakapan yang lebih dalam. Saat membuka pintu, Davin sedang berdiri di dekat jendela besar, memandang ke luar dengan ekspresi yang sulit diterka. Ia menoleh sekilas ketika mendengar langkah Elyana, tapi tidak berkata apa-apa.

“Aku pikir kamu butuh istirahat,” kata Elyana sambil meletakkan satu cangkir di meja.

Davin hanya mengangguk kecil. Ia tidak menolak, tapi juga tidak terlihat tertarik untuk memulai percakapan. Elyana duduk di sofa kecil di sisi ruangan, membiarkan keheningan mengisi ruangan sejenak.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!