Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Hari itu, Anna memutuskan untuk menghabiskan waktu sendirian. Ia merasa butuh udara segar untuk merenungkan semuanya. Meski hubungannya dengan Alan perlahan membaik, ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya tenang.
Ia memilih sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang, tempat yang jarang ia kunjungi sebelumnya. Suasana kafe itu nyaman, dengan aroma kopi yang menenangkan dan alunan musik jazz yang lembut.
Anna memilih meja di dekat jendela. Sambil menyeruput cappuccino hangat, pikirannya melayang ke masa lalu—mengenang semua kesalahan, penyesalan, dan luka yang ia coba sembuhkan.
Namun, ketenangan itu buyar saat ia mendengar suara yang tak asing.
“Anna?”
Suara itu membuat darahnya berdesir. Ia menoleh perlahan, dan di sana berdiri pria yang selama ini ia coba lupakan—Erik, pria yang pernah menjadi bagian dari kesalahannya.
Anna tertegun. Lidahnya kelu, sementara Erik berdiri dengan senyuman kecil yang bercampur keraguan.
“Erik,” gumamnya, hampir tak percaya.
“Boleh aku duduk?” tanya Erik, suaranya lembut tapi penuh tekanan.
Anna ingin menolak, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Ia hanya mengangguk pelan.
---
Erik duduk di depannya, memesan espresso, lalu menatap Anna. Ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan—perpaduan rasa bersalah, penasaran, dan mungkin, sedikit rindu.
“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini,” ucap Erik membuka pembicaraan.
Anna mencoba menguasai dirinya. “Aku juga tidak mengira. Apa yang kamu lakukan di kota ini?”
“Aku sedang ada proyek kerja. Dan kamu? Bagaimana kabarmu?” Erik menatap Anna dengan intens.
“Aku baik,” jawab Anna singkat, lalu menambahkan, “Aku dan Alan sedang mencoba memperbaiki pernikahan kami.”
Mendengar itu, Erik mengangguk pelan. “Aku senang mendengarnya. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Anna.”
Anna merasa tenggorokannya tercekat. Pria ini, yang pernah menjadi bagian dari pengkhianatannya, sekarang duduk di depannya, memberikan doa baik untuk kebahagiaan yang dulu ia hancurkan sendiri.
“Aku tidak tahu harus berkata apa, Erik,” ucap Anna akhirnya.
“Tidak perlu berkata apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Erik.
---
Percakapan itu berlanjut, tapi Anna menjaga jarak. Ia tidak ingin membiarkan emosi masa lalu kembali menguasainya. Namun, Erik terus berbicara, mencoba menjelaskan perasaannya.
“Anna, aku tahu apa yang terjadi di antara kita adalah kesalahan besar,” kata Erik dengan nada serius. “Tapi aku tidak pernah bisa melupakanmu.”
“Erik, tolong. Jangan mulai lagi,” potong Anna dengan nada tegas. “Apa yang terjadi di masa lalu sudah cukup menyakitkan. Aku tidak ingin mengulangnya.”
“Tapi kamu harus tahu, aku benar-benar menyukaimu, Anna. Saat itu, aku pikir aku hanya ingin melarikan diri dari kesepianku, tapi ternyata aku jatuh cinta padamu,” Erik menatap Anna dengan mata yang penuh emosi.
Anna menggelengkan kepala, berusaha menahan air mata. “Jangan, Erik. Jangan katakan itu. Aku sudah cukup terluka, dan aku tidak ingin melukai Alan lagi. Aku mencoba memperbaiki semuanya.”
“Apakah kamu benar-benar bahagia, Anna? Atau kamu hanya mencoba meyakinkan dirimu sendiri?” tanya Erik, suaranya penuh dengan nada memprovokasi.
---
Pertanyaan itu menghantam Anna seperti petir. Apakah ia benar-benar bahagia? Ia tidak tahu. Apa yang ia lakukan sekarang adalah berusaha keras untuk menyatukan kembali potongan-potongan yang telah hancur.
“Erik, aku tidak punya pilihan lain. Alan adalah suamiku. Aku mencintainya, meskipun cinta itu tidak sempurna,” jawab Anna akhirnya.
Erik terdiam, lalu menghela napas panjang. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu pantas mendapatkan cinta yang tidak membuatmu ragu.”
Setelah itu, Erik berdiri, membayar pesanannya, dan menatap Anna untuk terakhir kali. “Jaga dirimu, Anna. Jika suatu hari kamu merasa butuh seseorang untuk mendengar, aku akan selalu ada.”
Anna hanya bisa menatap Erik pergi. Hatinya terasa campur aduk—antara lega, sedih, dan marah pada dirinya sendiri karena membiarkan perasaan masa lalu kembali mengganggu.
---
Saat Anna pulang ke rumah, ia mendapati Alan sedang duduk di ruang tamu, membaca koran. Melihat Anna masuk, Alan tersenyum.
“Kamu dari mana?” tanya Alan santai.
“Kafe. Aku butuh waktu sendiri,” jawab Anna, mencoba terdengar biasa saja.
Alan menutup korannya, lalu menatap Anna. “Aku senang kamu mencoba menikmati waktu untuk dirimu sendiri. Kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, aku di sini.”
Perkataan Alan itu membuat Anna semakin merasa bersalah. Ia tahu bahwa Alan benar-benar berusaha berubah, sementara dirinya masih bergulat dengan bayang-bayang masa lalu.
Anna mendekat dan duduk di sebelah Alan. “Alan, aku ingin kamu tahu bahwa aku sedang berusaha keras untuk mempercayaimu lagi, untuk mencintaimu lagi seperti dulu.”
Alan meraih tangan Anna dan menggenggamnya erat. “Aku tahu, Anna. Dan aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Anna tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia ingin mencoba—untuk dirinya sendiri, untuk Alan, dan untuk cinta yang sedang mereka coba bangun kembali.
Namun, di sudut hatinya, pertemuan dengan Erik hari ini masih membekas, membawa pertanyaan yang belum bisa ia jawab: Apakah ia benar-benar bisa melupakan masa lalu?