[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 | Dokter
“Apa makanan di sini sesuai selera Anda?” tanya salah satu pelayan sambil membereskan piring di depanku dengan ramah.
“Ya ...” jawabku singkat, menatap sisa makanan di piringku, aku sedang tidak nafsu makan.
Masakan yang terbuat dari bahan-bahan berkualitas tinggi, dipersiapkan oleh koki terbaik, tapi semua itu tak bisa mengubah rasa sedihku karena meninggalkan rumahku yang terasa hangat.
“Setelah ini, apa ada kegiatan yang ingin Anda lakukan?” pelayan itu bertanya lagi, seolah tau kalau aku sedang bosan.
Aku menggeleng. “Tidak ada,” jawabku malas.
Pelayan itu mengangguk, memahami aku yang sedang tidak bersemangat. Rasa bosan menyelimuti pikiranku. Aku berencana untuk menemukan petunjuk tentang kedua kasus yang saling berhubungan itu di sini.
Tapi tampaknya aku tidak bisa menjalankan rencanaku sebab semua orang di mansion ini mengawasi gerak-gerikku. Terutama seorang bodyguard yang baru bergabung itu, Nova berada di sampingku sepanjang waktu.
Di tengah lamunan, pelayan lain datang menghampiriku. “Nona, dokter akan segera datang untuk memeriksa Anda,”
“Aku tidak sakit,” bantahku, sedikit terkejut.
Kenapa aku harus diperiksa? Aku tidak merasa sakit sama sekali. Berbeda dengan Reega yang memiliki daya tahan tubuh lemah. aku jarang merasa sakit.
“Tuan bilang, ini pemeriksaan rutin yang harus Anda jalani,” katanya dengan sopan.
Aku menghela nafas lelah, untuk saat ini aku harus menjalankan apa yang mereka mau. Jika sampai pada waktunya, maka aku akan menjelajahi seluruh mansion ini untuk mencari petunjuk.
“Ya sudah ...” jawabku, menggerutu pelan.
Dengan rasa malas, aku bangkit dari kursi dan mengikuti langkah pelayan itu. Tentu saja Nova juga mengikuti aku. Dia akan mengikutiku ke mana saja, kecuali ke dalam kamarku, toilet, dan kamar mandi. Saat aku berada di ketiga ruang tersebut, dia akan berjaga di depan pintu sampai aku keluar, memastikan aku tidak akan kabur seperti tadi sore.
Pelayan yang aneh. Langkahnya tampak tegang, seolah dia orang yang akan diperiksa. Dia tidak mengarahkanku menuju ruang pemeriksaan yang seharusnya berada di lantai paling atas, seperti rumah sakit pribadi milik keluargaku. Sebaliknya, dia membawaku ke ruang baca keluarga yang biasanya digunakan untuk berkumpul.
Di dalam ruangan yang dipenuhi rak buku dan lukisan-lukisan indah, seorang pria berpakaian serba putih berdiri dari sofa yang didudukinya.
"Selamat malam, Nona Zeeya," sapanya dengan nada lembut, seakan dia mengenaliku dengan baik.
“Selamat malam,” balasku, lantas duduk di sofa yang berseberangan dengan orang itu.
“... apakah Anda ingat siapa saya?” tanyanya.
“Ti ... dak ...” jawabanku sambil berpikir dan memiringkan kepalaku sedikit.
Kenapa dia menanyakan hal itu? Aku tidak pernah bertemu dengannya. Atau aku saja yang akhir-akhir ini menjadi pelupa?
Orang itu lantas tersenyum. “Saya dokter yang akan memeriksa Anda. Kita pernah bertemu sebelumnya. Apa Anda ingat?”
“Tidak.” Kali ini aku menjawabnya tegas.
“Kalau begitu, bagaimana perasaan Anda hari ini?” Dia bertanya sambil menatapku dalam-dalam.
“Baik,” aku menunduk, menghindari tatapannya yang membuatku tidak nyaman, “sebenarnya aku sakit apa?”
Aku memperhatikannya. Dia tidak membawa stetoskop yang biasa dikalungkan di leher seorang dokter. Aku meragukan orang itu. Dia lebih terlihat seperti seorang peneliti dibanding dokter.
“Anda jangan khawatir. Pemeriksaan ini hanya sebagai formalitas,” jawabnya berusaha menenangkanku, “apa Anda rutin meminum obat yang saya berikan?”
“Obat?” aku sontak kaget lalu berpikir, berusaha mengingat, “apa itu vitamin yang pernah papa berikan?”
“Apa Anda meminumnya setiap malam?” dia balik bertanya.
“Iya?” jawabku ragu.
“Itu adalah obat tidur yang saya berikan,” ungkapnya.
“Obat tidur?” ulangku, papa bilang itu vitamin untuk menjaga kesehatanku, “kenapa aku perlu obat itu?”
“Saya yang meresepkannya. Supaya Anda dapat tidur dengan nyenyak.”
Ah, begitu banyak hal yang mereka sembunyikan dariku. Aku begitu muak.
.........
Keesokan paginya
“Nova, menurutmu, kenapa aku butuh obat tidur?” tanyaku, membuka obrolan pada Nova saat kami berada di perpustakaan keluarga.
Suasana tenang, membuatku nyaman berada di sini sedari pagi. Nova berdiri tegap di sampingku, tangannya mengepal di belakang punggung. Dia terlihat gagah dan tampan, dia menemaniku yang sedang belajar di meja yang sudah disiapkan pelayan lebih dulu.
“Saya tidak tahu,” jawabnya singkat.
“Bohong!” aku menatapnya tajam.
“Tidak,” dia menggeleng, namun matanya menghindar dari tatapanku.
Aku tertawa kecil. “Kebohonganmu tampak jelas di mata seorang yang gemar berbohong sepertiku.”
Nova memutar bola matanya, aku bisa merasakannya sedang berkeringat dingin di hadapanku.
Aku meletakkan alat tulisku, lalu fokus padanya. “Bagaimana kalau kita bertukar informasi?”
“Maksud Nona?” tanyanya tampak bingung.
“Aku akan mengatakan informasi yang tidak kamu ketahui, dan sebaliknya, kamu juga harus memberiku informasi yang berguna. Deal?”
Nova mengangkat pundaknya kemudian berkata dengan ragu, “mungkin ...”
“Ah! Kamu orang yang tidak bisa diajak bermain ...” aku menggerutu dan memancungkan bibirku, merasa kecewa, “... kalau saja Reega ada di sini, dia pasti akan mendengarkan ocehanku sepanjang hari.”
“Reega?” mata Nova membelalak,. “saya penasaran, kenapa tuan tidak membawa tuan muda Reega juga ke mari? Apa kesehatan beliau sudah membaik?”
Aku mengangguk. “Soal penyakitnya yang kronis, itu adalah sebuah kedok untuk menyembunyikannya. Hanya aku dan papa yang tahu di mana dia sebenarnya berada.”
“Jadi beliau tidak sakit?” tanya Nova tidak percaya dengan ucapanku.
“Iya. Papa menyembunyikannya agar lawan bisnisnya tidak bisa melukai saudara kembarku itu,” rasa bangga membuatku puas, aku tersenyum lebar, “ayo! Sekarang giliranmu. Aku baru saja membocorkan salah satu rahasia keluarga Vierhalt.”
Nova mengernyitkan kedua alisnya, lalu membalas senyumanku dengan senyuman yang membuatku sedikit jengkel. “Hah! Anda berhasil menipu saya.”
“Ayo lah ... jawab pertanyaanku di awal tadi ...” aku memohon dengan wajah memelas.
Dia menatapku sejenak seraya berpikir. “Anda mengalami gangguan tidur yang serius.”
Aku sedikit terkejut. “Apa aku terkena penyakit mental?” tanyaku, bahkan soal penyakitku semua orang rela menyembunyikannya dariku.
“Saya tidak tahu,” jawab Nova, suaranya kini merendah, “tuan hanya berpesan kalau Anda bisa saja terbangun tengah malam lalu berteriak histeris, seperti ada yang merasuki Anda. Itu sebabnya tuan memerintahkan saya untuk berjaga di depan kamar Nona.”
“Lalu?” aku masih berusaha menggali informasi.
Nova terdiam mengunci mulutnya.
“Huh ... ya sudah kalau kamu tidak mau memberikan jawaban. Kita sekarang impas!”
Aku beranjak dari tempat dudukku. Tiba-tiba teringat di benakku, ketika melihat rak-rak besar penuh buku. Aku harus menemukan sesuatu yang berkaitan dengan kasus itu. Tapi mulai dari mana aku harus mencari? Rasanya seperti teka-teki yang tidak ada petunjuknya.
Aku berjalan menyusuri lorong demi lorong. Sampailah aku pada lorong terakhir. Di mana ujung lorong itu terdapat sebuah meja dan kursi yang tampak usang. Debu bertumpuk di atasnya. Pasti jarang dibersihkan.
...‘Malikha Vierhalt’...
Terdapat papan nama di atas meja itu yang tertumpuk debu.
“Mama?” kupegang papan nama itu lalu kubelai dengan lembut.
Hatiku rindu padanya. Papan itu ingin kuangkat dari meja lalu aku ingin memeluknya. Tapi papan itu berat sekali. Seperti ada lem yang menempelkannya pada meja. Aku mencoba sekuat tenaga untuk mengangkatnya, tetap tidak bisa.
“Ukh! Susah sekali!”
Akhirnya papan bertuliskan nama mamaku itu sedikit goyah, bukannya terangkat, malah bergeser sedikit ke samping.
Nyit ...
Ceklek!
Suara papan bergeser diikuti salah satu laci di meja terbuka.
“Ha?” aku kaget memperhatikan benda itu bergerak.
Segera aku membuka laci itu. Aku kaget dengan apa yang kulihat. Di dalam banyak berisi kertas-kertas yang berserakan.
“Apa semua ini?”
.........
- Hansel itu cowok apa cewek sih?😁
- Perkembangan ceritanya bakal rumit saat Zee satu tim dengan cowok idaman Nisa
- Tuduhan macam apa yang ada disurat itu?
- kenapa Ree dan Zee tidak pulang bersama?
Ceritanya bagus suka❤