NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERJUANGAN KESEHATAN

Megha mengusap pelipisnya yang mulai berkeringat saat dia duduk di meja belajar. Seminggu terakhir ini, ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Awalnya, dia mengira itu hanya kelelahan akibat tugas kuliah yang menumpuk dan tekanan dari ujian. Namun, semakin hari, gejalanya semakin mengganggu—kepalanya sering berputar, dan kadang dia merasakan nyeri tajam di perutnya.

Dia tidak ingin mengganggu Bima dengan masalah ini. Mereka baru saja menemukan kembali kedekatan yang telah lama hilang, dan Megha takut jika dia menceritakan keadaannya, Bima akan merasa khawatir dan terbebani. “Gue harus bisa mengatasi ini sendiri,” pikirnya, mencoba menepis segala ketidaknyamanan yang menghampiri.

Hari itu, mereka memiliki pertemuan kelompok di perpustakaan. Saat Megha berjalan menuju perpustakaan, dia merasakan tubuhnya semakin lemah. Langkahnya terasa berat, dan dia mulai mempertanyakan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas. Namun, saat melihat Bima yang duduk di salah satu sudut, dia berusaha tersenyum. Dia tidak ingin Bima melihat betapa tidak berartinya dia merasa saat itu.

“Meg! Lo datang juga,” sapa Bima dengan senyum lebar. “Gue udah nyiapin semua yang kita butuhin buat diskusi.”

Megha membalas senyumnya, meski rasa sakit di perutnya semakin mengganggu. “Iya, Bim. Maaf telat. Gue baru saja nyelesaiin tugas lain.”

“Mau ngopi dulu?” tawar Bima, menunjukkan satu gelas kopi panas yang ada di depannya.

“Gak usah, Bim. Nanti aja,” jawab Megha cepat. Dia tahu, kafein bukanlah pilihan terbaik saat dia merasa tidak enak. “Yuk, langsung aja kita mulai.”

Mereka mulai mendiskusikan proyek mereka dengan penuh semangat, tetapi di tengah-tengah pembicaraan, Megha merasa seperti dunia di sekelilingnya berputar. Dia meremas mejanya, berusaha tetap fokus, tetapi pandangannya mulai kabur. Bima, yang memperhatikan, tiba-tiba menatapnya khawatir.

“Meg, lo baik-baik aja?” tanya Bima, raut wajahnya menunjukkan kepedulian yang mendalam.

Megha berusaha tersenyum, tetapi dia tahu itu tidak cukup meyakinkan. “Iya, Bim. Cuma sedikit pusing. Mungkin karena kurang tidur,” jawabnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan betapa buruknya kondisi tubuhnya.

“Lo pasti butuh istirahat. Kita bisa lanjut diskusinya nanti. Ayo, kita cari tempat yang lebih tenang,” kata Bima, mengajaknya berdiri.

Megha menolak dalam hati. Dia tidak ingin mengganggu proses mereka. “Gak apa-apa, Bim. Kita harus cepat selesai. Lagipula, ini deadline-nya mepet.”

“Lo harus jaga kesehatan dulu,” tegur Bima, nada suaranya mulai tegas. “Gue gak mau lo jatuh sakit karena ini.”

Akhirnya, Megha menyerah. Bima membawanya ke sebuah taman kecil di dekat kampus, tempat yang biasanya sepi dan nyaman. Begitu mereka duduk di bangku, Megha merasa sedikit lebih baik. Angin sepoi-sepoi menyegarkan pikiran yang kusut, dan suara-suara di sekitar mulai membaur menjadi melodi lembut.

“Sekarang, ceritakan ke gue apa yang sebenarnya terjadi. Lo kelihatan gak fit,” Bima memandangnya dengan serius, seolah menembus dinding yang coba dibangun Megha.

“Gak ada yang serius, Bim. Cuma… ya, sedikit pusing,” Megha mencoba mengalihkan perhatian. Namun, dia tahu Bima tidak akan percaya begitu saja.

“Tapi, lo gak pernah begini sebelumnya,” Bima tetap bersikeras. “Kalau ada yang lo sembunyikan, tolong bilang. Gue bakal bantu lo.”

Akhirnya, Megha merasa tertekan. Dia tidak ingin Bima merasa terbebani, tetapi dia juga tidak bisa terus-menerus berbohong. “Sebenarnya… gue udah beberapa hari merasa gak enak. Mungkin karena stres atau apa, gue juga gak tahu.”

Bima mengerutkan dahi. “Kenapa lo gak bilang dari kemarin? Lo bisa bilang ke gue, Meg. Kita bisa cari solusi bareng.”

Megha menundukkan kepala, merasa bersalah. “Gue nggak mau bikin lo khawatir, Bim. Gue tahu lo udah punya banyak hal yang dipikirin.”

Bima menarik napas dalam-dalam. “Meg, kita udah sama-sama dewasa. Gue mau lo tahu, lo bisa percaya sama gue. Gue di sini buat bantu lo. Gak ada alasan untuk lo menanggung ini sendirian.”

Kata-kata Bima membuat Megha merasakan sesuatu di dalam dirinya. Dia sudah terlalu lama mencoba menjadi kuat tanpa meminta bantuan. Namun, mendengarnya berbicara dengan penuh perhatian membuatnya sadar betapa pentingnya berbagi beban.

“Gue…,” Megha ragu, “Gue cuma takut lo bakal ngerasa terbebani sama masalah ini. Gue nggak mau jadi beban.”

Bima menggenggam tangan Megha, menciptakan koneksi yang hangat dan menenangkan. “Lo bukan beban, Meg. Kita ini tim. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Jadi, lo harus jujur sama gue.”

Mendengar hal itu, air mata Megha hampir menetes. Dia mengangguk, berusaha menahan emosinya. “Oke, Bim. Gue janji akan lebih jujur. Sebenarnya, belakangan ini, gue sering merasakan sakit perut dan kepala pusing. Dan, gue ngerasa lemas banget.”

Bima tampak lebih serius, seolah dia baru menyadari betapa besar masalah yang dihadapi Megha. “Kita harus ke dokter. Lo nggak boleh nunda lagi. Ini kesehatan lo, Meg.”

Megha merasa cemas. Dia tahu, ada kemungkinan hasil pemeriksaan tidak sejalan dengan harapannya. “Tapi, Bim… apa yang harus gue katakan? Gue nggak mau bikin lo khawatir.”

“Lo bilang aja yang sebenarnya. Gue akan mendukung lo apapun hasilnya,” jawab Bima, matanya berbinar dengan ketegasan.

Setelah beberapa saat, akhirnya Megha setuju. Mereka berdua pergi ke rumah sakit terdekat, dan saat menunggu di ruang tunggu, kegelisahan mulai merayapi Megha. Dia menggenggam tangan Bima erat-erat, dan Bima membalasnya dengan lembut.

Setiap kali namanya dipanggil, jantungnya berdegup kencang. Ketika dokter memeriksanya, Megha merasa seperti setiap detik berharga. Akhirnya, setelah semua pemeriksaan, dokter memberikan diagnosis.

“Megha, dari hasil pemeriksaan, sepertinya lo mengalami stres yang cukup tinggi ditambah dengan gejala mag yang mengganggu. Lo harus lebih memperhatikan pola makan dan istirahat,” jelas dokter dengan nada tenang.

Mendengar ini, Megha merasa lega tetapi juga cemas. “Jadi, ini semua karena stres?”

“Ya, dan lo harus berusaha untuk mengelola stres itu. Jangan ragu untuk berbagi dengan orang-orang terdekatmu. Ingat, kesehatan itu penting,” pesan dokter sebelum meninggalkan mereka.

Ketika mereka keluar dari ruang dokter, Megha merasa sedikit lebih ringan. “Gue nggak pernah nyangka, Bim. Semua ini cuma karena stres,” ucapnya dengan suara pelan.

Bima menatapnya dengan penuh pengertian. “Gue tahu lo kuat, Meg. Tapi, jangan terus-terusan menahan semua perasaan sendirian. Kita bisa hadapi ini bersama.”

Mereka kembali ke kampus, dan meskipun tantangan di depan masih ada, Megha merasa lebih optimis. Untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa tidak ada salahnya meminta bantuan dan berbagi beban. Selama ini, dia berjuang sendirian, tetapi sekarang dia memiliki Bima di sampingnya—seseorang yang mau mendengarkan dan berjuang bersamanya.

“Thanks, Bim. Lo selalu ada untuk gue,” kata Megha, merasa bersyukur atas kehadiran Bima dalam hidupnya.

“Selamanya, Meg,” jawab Bima, menggenggam tangannya erat. “Kita akan lewati ini semua bareng-bareng.”

Dengan tekad baru dan keinginan untuk lebih terbuka, Megha merasa siap menghadapi perjalanan kesehatan yang mungkin sulit. Dia tidak akan berjuang sendirian lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!