Seorang laki laki yang bekerja produser musik yang memutuskan untuk berhenti dari dunia musik dan memilih untuk menjalani sisa hidupnya di negara asalnya. dalam perjalanan hidupnya, dia tidak sengaja bertemu dengan seorang perempuan yang merupakan seorang penyanyi. wanita tersebut berjuang untuk menjadi seorang diva namun tanpa skandal apapun. namun dalam perjalanannya dimendapatkan banyak masalah yang mengakibatkan dia harus bekerjasama dengan produser tersebut. diawal pertemuan mereka sesuatu fakta mengejutkan terjadi, serta kesalahpahaman yang terjadi dalam kebersamaan mereka. namun lambat laun, kebersamaan mereka menumbuhkan benih cinta dari dalam hati mereka. saat mereka mulai bersama, satu persatu fakta dari mereka terbongkar. apakah mereka akan bersama atau mereka akan berpisah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Hartzelnut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 22
*****
Mereka akhirnya duduk di private room restoran, lampu gantung mewah memancarkan cahaya hangat yang menambah suasana nyaman di ruangan itu. Julia membuka menu sambil menatap Jack dan Brian yang duduk di seberangnya. "Kita pesan apa ya? Kalian mau makan apa?" tanyanya sambil membolak-balik halaman menu, suara halus gesekan kertas terdengar, "srrrk... srrrk..."
Jack, duduk menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai, tersenyum kecil dan menggeleng. "kita ikut kalian saja, kebetulan kita juga tidak tau makanan disini" Suaranya terdengar ringan, tapi matanya sedikit menyipit karena ia tahu, biasanya makanan di restoran seperti ini mahal. "Srrkkk..., gelasnya ia geser sedikit, lalu menyender ke sandaran kursi. Brian, di sebelahnya, diam saja, hanya menatap kosong ke depan tanpa menengok menu yang disodorkan.
Julia yang sedikit bersemangat akhirnya memutuskan untuk memesan beberapa hidangan yang menurutnya enak. "baiklah," katanya sambil melambaikan tangan ke pelayan. "Klik! Klik!" suara pena pelayan mencatat pesanan dengan cepat.
Saat menunggu makanan datang, Julia melirik ke Jack, mencoba memecah keheningan. "Ngomong-ngomong, bagaimana rencana kalian besok? apakah kalian akan keliling kota?" tanyanya sambil menopang dagu dengan tangan kirinya. "Hmm..." gumamannya samar-samar terdengar, sementara matanya menatap lurus ke arah Jack.
Jack menghela nafas sebentar, lalu meneguk air dari gelas di depannya. "Rencananya Besok siang aku berencana cari tempat buat kantor label dan bertemu dengan marketing apartemen," jawabnya dengan nada tenang, matanya memantulkan cahaya lampu gantung. "Srrrt... Tok! dia meletakkan gelasnya dengan pelan di meja, memperhatikan reaksi Julia dan Natalia.Julia sedikit terkejut, "Marketing apartemen? Yang di depan apartemenku?" tanyanya sambil menyipitkan mata. Bibirnya melengkung ke atas, ada semangat yang terpancar dari wajahnya. Jack mengangguk, tersenyum tipis. "Iya."
Julia langsung menyeringai lebar, matanya berbinar. "Wah, keren! Berarti kita bakal tetanggaan, dong! Aku nggak sabar!" tawanya pecah, matanya berkilat penuh antusiasme.
Di samping Julia, Natalia ikut tersenyum, meskipun pikirannya tampak terbang jauh. Dia menyilangkan jari-jarinya di atas meja, menggeser gelasnya sedikit, "Srek... Tok!" tanpa sadar mengutak-atiknya sambil tenggelam dalam pikirannya. "Aku lupa.... aku belum memikirkan label tersebut.... Haruskah aku bergabung? Tapi Heaven Music mungkin bukan jalan yang benar buatku..." pikir Natalia, sambil melirik sekilas ke Brian, yang masih tampak acuh tak acuh. Julia lalu memecah lamunan Natalia dengan pertanyaan tajam.
"By the way, Nat, kamu sudah menentukan mau bergabung dengan label mana? atau bergabung dengan Heaven Music?" tanya Julia, nada suaranya lebih lembut kali ini.
Natalia menghela nafas pelan, "Fuhh...", lalu menundukkan kepala sedikit, jari-jarinya bermain-main dengan pinggiran gelas lagi. "Sepertinya nggak, Julia. Aku malah terpikirkan untuk membuat label bersama ...... kalian." Ucapannya lirih, tapi tegas. Ia melempar senyum kecil ke arah Julia dan Jack, mencoba menunjukkan keyakinannya.
Julia dan Jack saling melirik, sedikit terkejut dengan keputusan besar Natalia.
Jack yang penasaran langsung menanggapi. "Kamu serius?" tanyanya, nada suaranya jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tertarik.Natalia mengangguk lagi. "Iya, aku serius. Aku bisa jadi investor kalian..... atau aku bisa jadi produser kalian...... " Matanya memantul cahaya dari meja yang dihiasi lilin kecil, wajahnya serius tapi penuh keyakinan.
Jack mengangkat tangannya sedikit, melambai ringan, "Srek... Tok!" menempatkan tangannya kembali di meja dengan lembut. "Terima kasih, Nat, tapi sepertinya kamu cocok jadi penyanyi. sisanya serakah pada kami." katanya sambil tersenyum menenangkan.
Tapi Natalia dan Julia masih saling melirik dengan wajah bingung. Dalam hati, Natalia mulai merasa semakin penasaran, "Siapa sebenarnya mereka berdua? kenapa mereka sangat percaya diri sekali?"
Tidak tahan dengan rasa penasaran yang mengganjal, Julia akhirnya bertanya. "Sebenarnya, kalian ini siapa sih? Maksudku... kayaknya kalian bukan orang biasa." tanyanya dengan nada penuh penasaran, matanya memperhatikan Jack dan Brian bergantian.
Jack hanya tersenyum simpul, tertawa kecil, tetapi terlihat sedikit menghindar. "Hahaha, ya... kita memang pernah main di dunia musik, tapi bukan sesuatu yang besar, seperti yang kamu kira," jawabnya, mencoba mengalihkan topik, sambil menggosok belakang lehernya dengan tangan, "Sreek... Sreek!" suara gesekan tangannya terdengar di udara.
Brian tetap diam, pandangannya menatap keluar jendela. Sementara itu, Natalia terus menatapnya dalam-dalam dari tempat duduknya, semakin ingin tahu lebih banyak tentang pria misterius itu.
Makanan pembuka akhirnya datang, diiringi aroma lezat yang memenuhi ruangan. "Cling... clank... Tok!" piring-piring diletakkan di atas meja dengan lembut, diiringi suara peralatan makan.
Julia langsung mengambil inisiatif untuk menyodorkan makanan kepada Jack dan Brian. "Nih, cobain ini. Aku yakin kalian bakal suka," katanya dengan senyum lebar, mencoba mengembalikan suasana ceria. "Srett... bunyi gesekan piring ketika ia dorong ke depan Jack.
Jack tersenyum sambil mengambil garpunya. "Oke, aku percaya seleramu, Julia," jawabnya sambil mencicipi hidangan yang disajikan. Di sebelahnya, Brian hanya mengangguk kecil, memakan makanannya dengan gerakan pelan dan tenang.
Dalam suasana yang sedikit lebih santai, mereka mulai menikmati makanannya, tetapi di dalam hati masing-masing, rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan masih terus bergelayut. Bagi Natalia, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang lebih dari dua pria ini. Meskipun diam. Tatapannya terus kembali pada sosok pria itu, seperti magnet yang menariknya untuk mencari tahu lebih dalam.
Sementara itu, Jack tetap tersenyum santai, tetapi dalam hatinya ia tahu, semakin lama ia di sini, semakin besar kemungkinan rahasia tentang dirinya dan Brian terbongkar. "Mudah-mudahan mereka nggak cari tahu terlalu jauh," gumam Jack dalam hati sambil mencoba menikmati suasana makan siang itu.
*****
Brian berjalan dengan langkah mantap menuju pintu, tubuhnya tegak dan ekspresinya seperti biasa—dingin dan tak tertebak. "Srekkk... Tok!" sepatu kulitnya menyentuh lantai, menggema di dalam ruangan yang tenang. Jack, yang sedang menikmati makanannya, melihat ke arah Brian dan langsung bertanya, "Brian, mau ke mana?" Nada suaranya santai, tapi jelas dia penasaran.
Tanpa menoleh, Brian menjawab dengan singkat, "Ke toilet," sambil terus melangkah keluar ruangan. Pintu Tok! tertutup di belakangnya.
Brian berdiri di depan wastafel, air mengalir dari keran dengan suara "Srrrsshh...". Dia mencuci tangannya perlahan, membiarkan air dingin menyentuh kulitnya yang mulai terasa tegang. Pikirannya sedikit terpecah saat mendengar langkah seseorang mendekat, "Klik... Klik...", suara sepatu menggaung di lantai keramik. Di sampingnya, pria berjas hitam rapi dengan tampilan sangat elegan berhenti di wastafel sebelah.
Sambil mencuci tangannya, pria itu langsung mengeluarkan ponsel, suara nada bicaranya tenang tapi tegas. "Heaven Music akan segera mengakuisisi Natalia," katanya, suara "splash... splash..." dari air yang mengalir saat tangannya bergerak di bawah keran.
Brian mengintip pria itu dari sudut matanya, tanpa menoleh sepenuhnya. Matanya fokus pada gerakan pria tersebut di cermin, tanpa minat yang terlihat dari wajahnya. Tapi kata-kata itu—Natalia dan Heaven Music—membuat otaknya langsung mengasosiasikan dengan percakapan Julia di meja makan tadi.
"Kami cuma butuh dia setahun," lanjut pria itu, suaranya santai. "Setelah popularitas Heaven Music naik, kami akan melepaskannya." Pria itu tertawa kecil, suaranya "Heh..." mengalir bersama air yang mengalir di wastafel, "Sssrrrsshh...
Brian mendengarkan setiap kata, tetap dengan ekspresi dingin. Matanya sesekali melirik ke arah pria itu dari balik wajahnya yang tampak lelah. "Heaven Music bukan buat artis rendahan." Pria itu berbicara tanpa tekanan, seolah-olah itu hanyalah masalah sederhana. Seperti seseorang yang berbicara tentang sebuah barang dagangan, bukan seorang manusia. Dalam hati, Brian mulai merasa ada sesuatu yang aneh. "Mereka cuma mau memanfaatkannya... ," pikirnya, napasnya sedikit lebih berat. Jarinya mengepal perlahan di bawah aliran air. Tetapi detik berikutnya, dia kembali melonggarkan genggamannya.
"Aku tak perlu memikirkannya... itu bukan urusanku," pikirnya cepat, membuang jauh-jauh rasa tidak nyaman yang sempat muncul. Ia bukan lagi bagian dari dunia ini. Semua ini, tipu daya industri musik, telah dia tinggalkan.
Pria itu menutup telepon dengan bunyi "Klik" yang halus, mengambil handuk dan mengeringkan tangannya dengan cepat, "Sreek... Sreek... lalu berjalan keluar dari toilet dengan langkah mantap, pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi "Tok!" yang tegas.
Brian diam sejenak di depan cermin, air masih mengalir. Wajahnya tercermin dengan ekspresi yang datar, tetapi matanya berbicara lebih banyak. Pandangan dinginnya sedikit menyipit, tatapannya menusuk ke bayangannya sendiri di cermin. Ada perasaan yang sulit dia deskripsikan—seperti ketidaknyamanan yang perlahan merayap. "Sial... kenapa aku peduli?" gumamnya dalam hati, kecewa pada dirinya sendiri karena sempat merasa terusik.
"Sssrrrsshh... aliran air terhenti saat Brian memutar keran untuk menutupnya. Ia mengibaskan tangannya dengan cepat, "Srrpp... Srrpp..." membiarkan air yang tersisa menetes dari jarinya.
Napasnya terhembus pelan, "Fuhh...". Sekali lagi dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya.
"Ini bukan urusanku," ulangnya dalam hati, kali ini dengan lebih tegas. Dunia ini bukan lagi tempatnya.
Dengan gerakan pelan namun tegas, Brian mengambil handuk, mengeringkan tangannya secara metodis. Setiap gerakan terasa penuh kontrol, "Srrkk... Srrkk.... Setelah selesai, dia melangkah keluar dari toilet, langkahnya penuh ketegasan, "Tok... Tok... Tok..." meninggalkan ruangan itu seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
*****