"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Panggung Pelelangan
...Happy reading!...
...Warning: 18++...
...•••...
Gema musik yang begitu keras memekakkan sebuah club malam yang berada di tengah jantung ibukota. Laki-laki dan perempuan saling bergerak ria mengikuti alunan musik DJ yang dimainkan, tenggelam dalam gelombang hedonisme yang tak terbendung.
Ailard meneguk minumannya untuk yang ketiga kalinya dengan ditemani dua perempuan panggilan, yang duduk di sisi kanan dan kirinya. Wajahnya keras, tatapan dingin tak pernah meninggalkan ketajamannya.
Ia frustasi, resmi bercerai dari perempuan yang telah mengkhianatinya. Di balik amarah yang menggerogoti hatinya, ada perasaan cinta yang masih tersisa terhadap mantan istrinya. Bagaimanapun, lima tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat.
Pernikahan itu hancur, dan kini ia merasakan kehampaan yang memuncak, membawa kembali sifat kelamnya yang dulu pernah ia redam. Ailard yang sekarang bukan lagi pria tenang dan penuh kendali seperti yang ia tampilkan selama ini. Kehidupan bebas yang pernah ia jalani di luar negeri kembali mencuat, minuman keras, perempuan, dan kontrol total atas apapun yang ia inginkan.
"Masih marah?" Salah satu perempuan di sampingnya bertanya dengan nada genit, tubuhnya yang langsing mendekat, mencoba memikat.
Ailard menoleh sekilas, tatapannya menusuk. "Bukan urusanmu."
Perempuan itu terkekeh kecil, tak menghiraukan dinginnya respon Ailard. Ia merapatkan tubuhnya lebih dekat, tangannya yang lembut menyusuri bahu Ailard. "Kalau begitu, biar aku bantu Mas melupakan kesedihan. Pasti enak kalau kita—"
Tanpa peringatan, Ailard berdiri dengan kasar, menepis tangan perempuan itu, kemudian mengeluarkan pistol dari balik coat hitamnya. Senjata itu berkilat di bawah lampu neon klub, membuat perempuan penghibur itu tersentak ketakutan.
"Saya tak butuh bantuannya," katanya dingin, suaranya rendah tetapi tajam seperti pisau. Tatapannya yang penuh amarah menancap pada perempuan di depannya.
Tanpa menunggu reaksinya, Ailard meninggalkan meja VIP, botol-botol minuman berserakan di sana, seakan mengabaikan kegilaan di sekelilingnya. Ketika ia berjalan menuju pintu keluar, matanya menangkap sebuah poster di sudut klub.
"Pelelangan Khusus."
Ailard berhenti sejenak, membaca tulisan itu dengan alis yang terangkat. Pelelangan seperti ini bukan hal baru baginya. Di dunia malam yang ia kenal, segala hal bisa diperjualbelikan—termasuk manusia. Ia tahu betul bagaimana sistem ini bekerja.
Dengan rasa penasaran, Ailard mendekati panggung. Di sana, seorang pria berjas hitam berdiri tegap, memimpin acara yang segera dimulai. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, mari kita mulai dengan lot pertama. Seorang wanita muda, baru berumur dua puluh tahun. Cantik, dan siap mematuhi apa pun yang Anda inginkan."
Di belakang pria itu, seorang perempuan muda berdiri, tubuhnya bergetar ketakutan. Gaun putih tipis membalut tubuhnya, hampir tak mampu menutupi rasa gentar yang jelas terpancar dari matanya. Ailard memicingkan mata, memandanginya dengan saksama. Perempuan itu terlalu muda, wajahnya seperti menggambarkan kepasrahan, seolah nasib hidupnya tak lagi ada di tangannya.
Namun, alih-alih merasa iba, sesuatu dalam diri Ailard bergolak. Sebuah kekuatan dominan yang selama ini tersembunyi kembali muncul. Perempuan ini tidak akan pernah jatuh pada orang lain—ia milik Ailard. Sebuah senyuman tipis yang dingin terbentuk di bibirnya.
Di tengah hiruk-pikuk kerumunan, tawaran mulai bergulir.
"Dua ratus juta!" teriak seorang pria paruh baya dari sudut ruangan.
Ailard tertawa pelan, mempermainkan gelas minumannya. Tawaran itu terlalu rendah untuk sesuatu yang menyenangkan seperti ini.
Dengan nada penuh tantangan, ia angkat suaranya. "Satu miliar."
Kerumunan langsung hening, semua mata tertuju pada Ailard. Perempuan di atas panggung menatapnya dengan mata melebar, tetapi ada secercah harapan di balik pandangan bingungnya.
Pria di atas panggung tersenyum lebar, puas dengan perkembangan pelelangan. "Satu miliar dari Tuan Ailard Rajendra Wiratama. Adakah yang ingin menawar lebih tinggi?"
Tak seorang pun berani melawannya. Nama Ailard sudah dikenal luas di kalangan elite, dan tidak ada yang cukup bodoh untuk menantangnya.
"Baiklah, kalau begitu... lot ini jatuh kepada Tuan Ailard!" Pria di panggung mengakhiri acara dengan tepuk tangan riuh dari beberapa orang.
Di balik senyuman dinginnya, Ailard menyadari bahwa ia kembali—kembali pada dirinya yang lama, keras, dominan, dan tanpa ampun.
Selepas mendapatkan sebuah barang yang sangat menggiurkan dahaganya, ia bawa perempuan itu menuju hotel tempatnya menginap. Tanpa ada pembicaraan, Ailard saat itu tidak terlalu memperdulikannya, ia memilih untuk menghisap rokok didalam mobilnya.
Uhuk...Uhuk...
"Apa kamu sudah lama tidak merokok hmm?" Ailard bertanya dengan ekor matanya yang sekilas melirik perempuan itu, ia menggeleng pelan.
"Saya ti—tidak merokok Tuan." Tentu saja jawaban perempuan itu membuat Ailard tertawa, sungguhan perempuan ini telah menarik perhatiannya hanya dengan memasang wajah ketakutan serta tidak berdayanya, Ailard sangat menikmatinya.
"Dasar perempuan penghibur, banyak sekali ucapan suci mu itu." Setelah mengatakan itu Ailard tidak lagi bertanya atau mengajaknya berbicara, juga dengan perempuan disampingnya yang tidak berani membuka suara.
Sampai di hotel, ia segera turun dari sana diikuti dengan perempuan itu yang mengekor dibelakangnya, ia berusaha menutupi bagian lekuk tubuhnya yang terekspos.
Ailard berjalan cepat menuju lift, dengan langkah mantap yang menggema di lorong. Perempuan yang ia menangkan dalam pelelangan malam itu tetap mengekor di belakangnya dengan kepala tertunduk. Gaun putih tipis yang dikenakannya tak cukup untuk menutupi tubuhnya dari hawa dingin dan tatapan mata yang penuh penghakiman.
Mereka berdua masuk kedalam lift, dan suasana sunyi mendominasi. Ailard menyulut rokok lagi, menghembuskan asapnya tanpa berkata sepatah kata pun. Mata tajamnya sesekali melirik perempuan itu dari ekor matanya. Ia bisa merasakan ketakutannya—rasa takut yang justru memuaskan naluri kekuasaannya.
Sesampainya di lantai suite, pintu lift terbuka dengan suara berdering halus. Ailard melangkah keluar dengan santai, sementara perempuan itu mengikuti di belakangnya, seperti bayangan tanpa arah. Mereka masuk ke dalam kamar mewah yang luas, lengkap dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota di malam hari.
Tanpa berkata apa-apa, Ailard melepaskan coat hitamnya, melemparkannya ke sofa, dan berjalan menuju meja bar. Dia menuang segelas minuman keras, lalu menenggaknya sekali teguk. Perempuan itu berdiri diam di ambang pintu, masih ragu apakah dia diizinkan masuk lebih jauh atau tidak.
Ailard berbalik, menatapnya dengan pandangan tajam. "Masuk."
Dengan langkah ragu, perempuan itu masuk ke dalam kamar, tetapi tetap berdiri di dekat pintu. Ia tidak berani menggerakkan tubuhnya lebih jauh. Ailard mendekatinya perlahan, tatapannya seperti singa yang mengawasi mangsanya.
"Kamu milik saya malam ini," bisiknya, suaranya rendah dan penuh otoriter. "Dan saya tidak menerima pembangkangan. Mengerti?"
Perempuan itu mengangguk cepat, meski air mata mulai menggenang di sudut matanya. Tentu saja ia tahu tugas apa yang harus ia kerjakan malam ini bersama pria itu, sungguhan ia juga sedikit lega karena tak harus melakukannya dengan pria tua tadi yang hampir menenangkannya di panggung pelelangan.
"Saya sudah bayar kamu mahal seharga satu miliar dan kamu diam saja seperti patung huh? Apakah kamu melupakan tugas mu sebagai pelacur? Jangan naif perempuan murahan!"
"Ah maaf tuan," sungguhan ia tak tahu harus melakukan apa, namun nalurinya bergerak mendekati pria itu. Kiran membelai Ailard dari belakang, tentu saja Ailard tersenyum puas.
Perlahan, Ailard berbalik, menatap perempuan itu dengan intensitas yang mengerikan, seolah-olah setiap gerakannya adalah permainan yang harus ia nikmati.
Ia lingkari tangannya di pinggang Kiran, dan mendorong tubuh perempuan ini lebih mendekat kearahnya. "Siapa namamu?"
"Kirana Sendayu Cahyaning, Tuan Ailard,"
Ia belai rambut panjang Kirana yang bergelombang dan disampirkan nya di bahu kirinya. Sentuhan Ailard begitu lambat dan penuh perhitungan, seperti seekor predator yang menikmati setiap momen sebelum melahap mangsanya. Kirana bisa merasakan napasnya semakin berat, jantungnya berdegup kencang sementara kengerian merayapi seluruh tubuhnya.
"Kirana, ya?" Ailard mengulang namanya dengan nada rendah, suaranya seperti desiran yang berbahaya. "Nama yang indah, namun tidak seperti dirimu ini, sangat kotor!"
Ia mengangkat dagu Kirana dengan satu jari, memaksa gadis itu untuk menatap matanya. Tatapan mereka bertemu, dan Kirana merasakan kekuatan luar biasa yang dipancarkan oleh pria ini. Ia tahu tak ada jalan keluar dari situasi ini.
"Saya ingin melihat nilai dari dirimu dalam memuaskan klien," lanjut Ailard, semakin mendekat hingga hanya ada jarak tipis di antara mereka. "Tunjukkan pada saya."
Kirana mulai membuka dress nya hingga tersisa dalamannya saja yang berwarna hitam, sungguhan Ailard tidak pernah setertarik ini menatap setiap inci tubuh wanita. Kirana sangat indah dan ia tak bisa memalingkan sedikitpun atensinya pada objek yang begitu sen*ual itu.
Ailard terus mengamati setiap gerakan Kirana dengan tatapan yang penuh hasrat, tetapi juga tetap terkontrol. Wajahnya tetap dingin, meskipun dalam dirinya ada gelombang emosi yang bergemuruh.
"Tidak memuaskan!" ucap Ailard tak puas, suaranya serak. Ia menenggak minumannya lagi, kali ini lebih perlahan, seolah menikmati sensasi yang ia miliki. "Apa hanya segitu saja? Kamu ini pura-pura amatiran ya?"
Kirana menggigit bibir bawahnya, merasa semakin terperangkap. Hatinya berteriak untuk lari, tetapi tubuhnya membeku di tempat. Di hadapan Ailard, ia hanyalah objek, sesuatu yang diperlakukan sesuai dengan keinginan pria itu.
"Ma-maaf Tuan—"
"Stupid! Saya tidak butuh maaf mu, saya hanya ingin kamu tunjukkan performamu, pelacur kecil!" Ia mulai tak sabaran.
Kirana merasakan tubuhnya gemetar mendengar kata-kata kasar yang dilontarkan Ailard. Perasaan takut, malu, dan marah bercampur menjadi satu dalam dirinya, tetapi ia tak berani menentang. Pria di hadapannya begitu dingin dan terasa kejam, seakan tak ada sedikitpun belas kasihan dalam dirinya. Kirana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, meskipun tiap sel tubuhnya berteriak ingin lari.
"Baik, Tuan..." bisik Kirana, dengan suara yang hampir tak terdengar. Namun, apa pun yang ia lakukan, takkan pernah cukup bagi Ailard.
Ailard menatapnya dengan pandangan yang semakin tajam, matanya menelusuri setiap inci dari Kirana seolah menuntut kesempurnaan. "Cepat! Saya tidak ada waktu untuk ketidakmampuan, kamu jangan pura-pura naif seperti itu!" katanya sambil mengetukkan jemarinya di gelas yang dipegangnya.
Kirana menelan ludah dan berusaha menuruti perintahnya. Namun, semakin ia mencoba, semakin terasa berat beban yang menekan jiwanya. Hatinya terasa hancur, tetapi ia harus bertahan. "Tuan Ailard... saya... saya—"
"Sialan perempuan ini!" Pekik Ailard begitu kerasnya, ia meletakkan gelasnya cukup keras di meja bar dan kesabarannya sudah raib.
Kirana terkejut mendengar suara bentakan Ailard yang menggema di ruangan itu. Detak jantungnya semakin cepat, dan ia merasakan keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Ailard mendekat, tubuhnya semakin mendominasi ruang di antara mereka.
"Saya tidak punya waktu untuk permainan ini. Jika kamu ingin bertahan di sini, tunjukkan bahwa kamu layak atau saya akan kembalikan kamu pada pelelangan itu."
Kirana menundukkan kepala, mencoba menahan air matanya, ia menggeleng pelan dan tak mau kembali ketempat seperti itu. "Saya akan berusaha, Tuan," jawabnya, berusaha meneguhkan suaranya meskipun hatinya bergetar.
"Berusaha?" Ailard berkata dengan nada yang mengerikan. Ia tak terima dipermainkan seperti ini.
Ia mengangkat dagu Kirana dengan kasar, memaksa gadis itu untuk menatap matanya. Kirana merasakan intimidasi yang dalam, tetapi di balik rasa takut itu, ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahan.
"Poloskan dirimu, now!"
Kirana dengan terpaksa membuka kedua bungkusan terakhirnya, yang saat itu mendapatkan amunisi membuncah dari Ailard, sungguhan Ailard tak bisa menahan dirinya lagi.
Ailard mengangkat pinggang Kirana dengan kasar, menariknya lebih dekat ke arah dirinya. Dia merasakan ketegangan dalam tubuh Kirana, yang tampak kaku dan ragu-ragu. Dalam sekejap, Ailard mencium bibir Kirana dengan tak sabaran.
Kirana merasakan ketidaknyamanan yang mendalam, seolah dia berada di luar kendali. Dia berusaha merespon, tetapi gerakannya terasa canggung, seperti seseorang yang belum pernah merasakan sentuhan bibir seperti ini sebelumnya.
Ailard, menyadari ketidakpastian dalam diri Kirana, terus membawanya mundur, hingga punggungnya menyentuh tembok dingin. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menikmati perasaan menguasai momen ini.
Cumbuan Ailard menuruni tengkuknya, menghisapnya disana begitu dalam hingga Kiran tak bisa menahan suara aneh yang spontan keluar dari mulutnya.
"Mendesahlah lebih keras lagi Kiran!"
Sensasi aneh ini memenuhi dirinya, entah harus ia gambarkan seperti apa, namun rasanya ia tak bisa menolak kala sapuan hangat lidah Ailard turun memainkan dadanya dengan tangannya. Tangan Kiran bergerak menyentuh rambut Ailard, meremasnya pelan sebagai tindakan spontan yang ia rasakan.
"Tidak terlalu besar, tapi saya menyukainya." Bisik Ailard yang kini menciumi dadanya begitu sangat agresif.
Tangan satunya menurun hingga sampailah di puncak kenikmatan tubuh sensitif Kiran, ia sentuh disana dan merasakan perempuan ini sudah terlalu basah. Tanpa harus melakukan pemanasan dibawah sana, Ailard membuka zipper celananya dan dengan santai ia mulai memasuki inti tubuh milik perempuan ini dengan miliknya.
"Damn! Mengapa sulit sekali? Kamu melakukan operasi pada milikmu huh? Sehingga bisa rapat lagi seperti ini?" Pertanyaan Ailard tak begitu direspon Kiran sebab ia tak kuasa menahan suara mendesahnya yang terdengar menjijikan.
Kirana memeluk tubuh Ailard, lebih tepatnya ia mencengkram punggung pria itu saat benda yang mengeras itu berusaha memasuki inti tubuhnya, ia tak bisa tidak mengeluarkan rintihan kala milik pria ini semakin di paksakan masuk. Tangannya semakin kuat mencengkram punggung Ailard dan sesaat setelah semuanya berhasil masuk kedalam miliknya sepenuhnya, ia mulai mencakar punggungnya lebih dalam.
"Sa-sakit..."
Ailard yang mulai merasa janggal melihat kebawah sana, dan tepat saat darah mengalir dari bawah betis perempuan ini, ia menatap wajah Kirana dengan wajah pucat.
"Shit! Kamu—kamu masih perawan?!"