Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Disaat kakak-beradik itu asik membahas Dara, seseorang mengetuk pintu ruangan itu. Tanpa dipersilahkan, Ayra membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Selamat pagi, Om."sapa Ayra yang terkejut saat melihat Jasmine menoleh ke arahnya.
"Mama? Kenapa Mama ada disini?" Tanya Ayra.
"Aku pulang dulu. Jangan lupa nanti kabari aku jika kamu butuh bantuan apapun." Ucap Jasmine berpamitan pada Brama, lalu beranjak dari kursi menuju pintu keluar.
"Ini kantor adik saya. Tidak ada yang bisa melarang saya datang kemari." Ucap Jasmine yang berbalik menatap Ayra.
"Bukan begitu maksud aku, Ma. Aku hanya-" ucap Ayra terhenti.
Jasmine berbalik dan berjalan keluar tanpa menunggu sang menantu menyelesaikan ucapannya. Tingkah ibu mertuanya itu membuat Ayra geram padanya. Jika bukan orang tua Aldo, Ayra pun tak Sudi menyapa orang angkuh seperti Jasmine.
Sejak bertunangan dengan Aldo, Jasmine selalu bersikap acuh tak acuh padanya. Ayra tahu, Jasmine sangat berharap Dara akan menikahi putranya, bukan dirinya.
Jasmine juga yang meminta Dara untuk menjadi menantu keluarga Meyson saat Edwin dan Arman berencana menyatukan keluarga mereka. Dan setelah menantunya berganti, Jasmine jelas sekali terlihat kesal kepada suami dan anaknya, terutama pada Ayra.
Mengingat kedekatan Dara dan Jasmine saat dipesta pernikahannya, Ayra menduga jika Dara telah mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya kepada Jasmine.
"Lihat aja nanti, siapa yang akan tersenyum di akhir dan menjadi pemenangnya. Semua orang pasti akan membencimu kakakku tersayang." Batin Ayra dengan senyuman licik.
"Ada perlu apa ke sini?" Tanya Brama dingin.
"Aku hanya ingin menyapa Om sebelum membahas proyek dengan tim aku." Ucap Ayra memperlihatkan senyuman manis dan ceria.
Sikap Ayra berubah setelah menikah dengan Aldo. Dia merasa tak perlu lagi bersikap kaku dan terlalu sopan kepada Om suaminya. Akan tetapi, Brama justru semakin tak suka dengan tingkah Ayra.
"Kamu datang ke sini untuk kerja, kan? Jangan panggil saya Om disini." Ucap Brama tegas membuat jarak mereka semakin jauh.
"Baik, Tuan Brama." Ucap Ayra.
Setelah menyapa Om suaminya, Ayra bergabung bersama tim produksi yang bekerja sama dengannya. Ucapan selamat atas pernikahannya pun menyambut Ayra.
"Terima kasih, semuanya. Sekarang kita harus melanjutkan pekerjaan." Ucap Ayra bertepuk tangan dan membubarkan para karyawan, lalu mendekati karyawan baru yang memegang laporan anggaran produksi perhiasan rancangannya.
"Nama kamu Monica, kan?" Tanya Ayra.
"Benar, Nyonya." Jawab Monica terlihat gugup dan canggung.
"Saya ingin melihat laporan kemarin." Ucap Ayra.
Monica berdiri dan mempersilahkan Ayra untuk mengambil ahli tempatnya. Ayra menyodorkan beberapa berkas untuk dikerjakan oleh Monica agar berhenti mengawasi dirinya.
"Aku akan menggunakan ini untuk membuat Dara dipecat dari sini." Batin Ayra tersenyum misterius sambil mengetikkan sesuatu pada berkas tersebut. Dia belum tahu jika Dara memang sudah tak bekerja di perusahaan Pranaja.
Ditempat lain, Brama sedang bergegas meninggalkan ruangannya dan menuju tempat rapat. Semangat Brama membuncah untuk segera menyelesaikan urusannya hari ini. Namun, beberapa masalah kecil saat rapat berlangsung, menahan Brama hingga dua jam ke depan.
Selepas rapat, Brama kembali ke ruangannya untuk mengambil dokumen yang akan di kerjakan di rumah. Brama berhenti ketika mendengar suara-suara diruangan sekretaris yang seharusnya kosong.
Siapa yang berani masuk ke ruangan istrinya?
Tak ada yang boleh menggunakan ruangan itu biarpun Dara tak lagi bekerja di sana. Brama sudah memerintahkan Gilang untuk membiarkan tempat itu kosong dan selalu menguncinya.
Brama pun membuka pintu ruangan itu untuk melihat siapakah yang melanggar perintahnya.
"Kamu? Apa yang kamu lakukan disini?!" Tanya Brama kepada orang itu yang ternyata adalah Dara, istrinya sendiri.
"Tuan...," ucap Dara menunduk setelah melihat sebentar suaminya.
Bayangan semalam kembali teringat dalam benaknya. Mendadak, Dara menjadi sangat malu. Bisa-bisanya dia bertingkah seperti wanita yang haus akan belaian lelaki setelah merasakan surga dunia yang diberikan sang suami?
"Apa yang kamu lakukan disini? Siapa yang bilang kalau kamu boleh berkeliaran tanpa seizin aku?" Ucap Brama.
"Maaf, Tuan. Saya tadi menghubungi Anda, tapi Anda tidak menjawab panggilan saya." Ucap Dara meneguk ludah dengan kasar ketika melihat kaki Brama kian mendekat.
"Itu... Saya di minta datang-" ucap Dara terhenti.
Dara memekik tertahan ketika Brama tiba-tiba menarik pinggangnya, lalu memijat kecil dengan gerakan sensual. Salah satu tangan Brama mengusap punggung gadis itu dari luar kain yang menutupi kulit mulusnya.
"Siapakah orang yang berani memerintah istriku?" Ucap Brama dengan suara yang terdengar lebih pelan dari sebelumnya.
Disaat Brama sedang sangat merindukan sang istri, Dara sendiri yang mendatangi dirinya. Betapa beruntung dirinya dapat langsung menghirup aroma tubuh Dara yang begitu memabukkan dan telah menjadi candu baginya.
Tatapan teduh Dara pun berhasil menghipnotis pria itu sehingga tak memedulikan lagi dimana mereka berada. Brama telah melupakan rasa terkejut sekaligus marah karena Dara pergi keluar rumah tanpa memberitahu dirinya lebih dulu. Karena Brama lebih menginginkan Dara sekarang juga!
Brama mengusap lembut pipi Dara, kemudian tangannya menjalar ke leher belakang Dara. Mata hitam segelap malam yang sedang di Landa hasrat menggelora itu tak dapat berpaling dari bibir merah muda yang terlihat begitu menggairahkan.
Dalam sekejap, bibir mereka pun bertautan satu sama lain dengan lembut, yang sesaat kemudian berubah menjadi lumatan yang menggelora.
"Kamu tidak mau memanggil nama aku lagi?" Tanya Brama yang berbisik di telinga Dara dengan suara berat dan dalam.
Dara merasakan desiran keinginan yang kita ketika Brama menggigit kecil daun telinganya. Namun, dia segera tersadar di mana dirinya berada saat ini.
"Tuan, jangan seperti ini....kita ada di kantor sekarang." Ucap Dara mendorong Brama sekuat tenaga. Dia tak ingin ada karyawan yang melihat mereka terlalu dekat dan akan mencurigai hubungan mereka.
Brama menulikan telinga atas penolakan Dara. Jika dia menginginkan Dara sekarang, maka dia akan mendapatkannya.
Brama membuka jas hitam mahal yang melekat di luar kemeja biru muda sambil berjalan menuju pintu. Dia mengambil kunci yang menggantung diluar dan melesakkannya melalui lubang kunci di dalam.
KLIK!
"Anda mau apa, Tuan? J-jangan sembarangan...." Ucap Dara berputar ke belakang meja untuk menghindari Brama.
Terlambat!
Brama telah berhasil mencumbunya dengan menggebu-gebu lebih dulu. Tubuh kekar pria itu tak mengizinkan Dara berkelit dari rengkuhannya.
"Tu....ah...." Desahan panjang lolos dari mulut Dara ketika tangan Brama berhasil menyibak rok selutut yang dikenakannya.
"Bukankah kamu ke sini karena merindukan aku, kan? Cepat panggil nama aku." Desak Brama.
Dara menggeleng dengan cepat.
"Saya ke sini untuk -" ucap Dara terhenti.
Brama kembali membungkam Dara dengan ci*man panas. Dia hanya mau tahu jika Dara ingin bertemu dengannya dan tak ingin mendengar alasan lain untuk saat ini.
Selagi Dara sibuk menghentikan gerakan bibir Brama, tangan pria itu telah membuka gesper dan menurunkan resleting celananya.
Dara membeliakkan mata ketika Brama mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di meja. Sedetik kemudian, pria itu telah berhasil menerobos pertahanannya, diiringi erangan panjang yang membuat bulu kuduk Dara meremang.
"Tu- Brama....sudah cukup...." Ucap Dara membungkam mulutnya sendiri yang hendak mengeluarkan suara nyaring akibat ulah sang suami.
Brama terus memandangi wajah Dara selagi memberikan kehangatan nikmat padanya. Dara tampak semakin cantik dengan wajah merah padam dan menatap dirinya dengan mata sayu.
Brama ingin terus melihat Dara seperti itu. Membisikkan namanya dengan suara bergetar dan mencengkeram pundaknya ketika meraih puncak kenikmatan oleh perbuatannya.
"Cukup, Tuan! Bagaimana kalau ada yang melihat apa yang kita lakukan ini?" Ucap Dara mendorong-dorong Brama agar menjauh darinya.
"Cukup kamu bilang? Enak saja, kamu sudah puas, lalu mau pergi begitu saja?" Ucap Brama semakin mendesak Dara dengan cepat hingga dirinya mendapatkan kepuasan yang didambanya.
Brama meraih tisu di sampingnya, lalu membantu Dara membersihkan diri. Brama tak berkedip saat memandang ke arah bawah dengan tatapan terpesona.
"Saya bisa sendiri, Tuan Brama!" Ucap Dara menyingkirkan tangan nakal suaminya yang kembali menggoda.
"Baiklah kalau tidak mau dibantu." Ucap Brama kembali merapikan pakaian dan memakai jasnya. Dia kemudian duduk di kursi yang biasa Dara duduki.
"Sekarang katakan, kenapa kamu datang ke sini tanpa minta izin terlebih dulu sama aku?" Tanya Brama seraya melipat tangan di depan dada dengan tatapan menghakimi.
Dara membuka sedikit mulutnya dan mendesah singkat, tak percaya dengan sikap Brama yang berubah cepat setelah mendapat kepuasan darinya. Apa Brama hanya menganggapnya sebagai mainan ketika di butuhkan?
Brama menepuk paha, mengisyaratkan Dara agar duduk di pangkuannya. Dara bergeming, Brama pun kian menajamkan matanya.
"Ke sini!" Titah Brama.
Dara melangkah pelan ke samping kursi. Karena juga tak menurut, Brama menarik lembut Dara hingga duduk di pangkuannya.
Brama melingkarkan kedua tangan Dara di lehernya.
"Jadi, kamu datang ke sini karena rindu sama aku? Kamu pasti sudah tidak sabar untuk melakukannya lagi, kan? Tanya Brama yang terdengar menggoda.
Dara melihat sorot mata Brama yang berbinar-binar menunggu jawaban. Apakah Brama berharap jika Dara akan membenarkan ucapannya?
Dara tak enak hati menyangkal pertanyaan Brama. Dia tak ingin membuat Brama kecewa, kemudian menjawab.
"Setengah benar." Ucap Dara.
"Hanya setengah?" Ucap Brama yang mengerutkan dahi, menandakan bahwa dirinya tak puas dengan jawaban Dara.
Dara lantas menunjukkan pesan yang di terimanya dari Ayra tadi. Brama membaca singkat pesan itu. Dia belum mendengar ada masalah anggaran pada proyek kerja sama dengan Ayra.
"Aku yang akan mengurusnya. Kamu tidak perlu memikirkan itu. Cukup jaga baik-baik bayi kita dan layani aku kapan pun aku mau." Ucap Brama membelai lembut perut Dara.
Dara kecewa dengan permintaan Brama. Ternyata, hanya itu saja yang diinginkan Brama darinya. Hanya tubuhnya dan bayi yang sedang di kandungnya.
"Lalu untuk apa lagi, Ra? Masih untung Tuan Brama mau bertanggung jawab dengan menikah sama kamu dan tidak menyuruh kamu untuk menggugurkan bayi ini. Apa kamu berharap jika pria ini akan jatuh cinta sama kamu? Sadar, Ra! Dia itu Brama Pranaja. Banyak wanita cantik dan hebat yang dia tolak mentah-mentah. Siapa kamu yang berani berharap lebih dari dia? Dan kenapa aku harus mengharapkan sesuatu dari dia?" Batin Dara.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Brama menangkap raut kecewa dan sedih yang ditunjukkan istrinya.
"Tidak, Tuan. Izinkan saya mengurus masalah itu sendiri. Saya harus bertanggung jawab dengan pekerjaan yang saya tinggalkan," pintah Dara dengan suara datar.
"Tidak bisa. Kamu bisa kelelahan. Aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan bayi aku." Ucap Brama menolak.
"Bayi kamu? Ini juga bayi aku" batin Dara semakin menundukkan kepala untuk menyembunyikan kesedihannya.
Disisi lain, Brama mengira jika Dara menjadi murung karena tidak diizinkan bekerja. Brama sedikit bimbang, haruskah dia membiarkan Dara melakukan apa yang diinginkannya agar suasana hati istrinya itu tidak berubah sedih seperti sekarang? Akan tetapi, jika Dara bekerja terlalu keras, itu juga dapat membahayakan buah hati mereka.
(Dasar si Brama, di kantor pun ngak mau lepas kesempatan. Ternyata ngak cukup untuk Brama melakukan adegan panas itu di rumah. Sampai-sampai di kantor pun kepengen 😁. Untuk kelanjutanya akan aku update yah. Jadi, see you next part..)
Mohon maaf karena lama updatenya, soalnya masih sibuk banget. Jangan bosan nunggu yah? 😊😁🙏