menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Malam itu, aku pulang ke rumah dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Pikiranku masih dipenuhi kesedihan karena kehilangan kedua sahabat tercintaku. Sesampainya di depan rumah, aku melihat rumahku tampak sepi. Warungnya pun tertutup rapat, seolah tidak pernah buka. Kulihat ke arah jendela, dan tidak ada cahaya televisi yang biasanya menemani ayah dan ibuku. Selain itu, aku juga tak merasakan aroma masakan khas ibuku. Yang paling aneh, tidak ada tanda-tanda kehadiran ayah atau ibuku di dalam sana.
“Bu, Nurra pulang…” seruku pelan sambil membuka pintu.
Ku langkahkan kakiku, berjalan mencari di seluruh ruangan, berharap bisa bertemu ayah dan ibuku. Aku ingin menceritakan kesedihanku kepada mereka. Namun, ayah dan ibuku tak kunjung terlihat. Saat itu, perasaan gelisah mulai merasuki hatiku.
Karena mereka tidak ada di rumah, aku masuk ke dalam kamar. Ku rebahkan tubuhku di atas tempat tidur, dan saat aku memejamkan kedua mata, tiba-tiba terdengar suara pintu pagar yang berderit, lalu diikuti suara ketukan di pintu.
Aku keluar dari kamarku, berjalan ke arah pintu, dan membukanya. Di depan rumahku, terlihat Bu Sari berdiri dengan wajah yang khawatir.
“Nurra,” panggil Bu Sari dengan nada lembut namun penuh kekhawatiran.
“Iya, Bu. Ada apa ya?” jawabku, berusaha tersenyum meski dadaku mulai berdebar.
Bu Sari berhenti sejenak, menatapku dengan sorot mata penuh rasa iba. “Apa ibumu sudah memberitahumu?” tanyanya.
Aku mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Memberitahu apa, Bu? Nurra tidak dikasih tahu apa-apa.”
Bu Sari menggenggam tanganku dengan lembut, napasnya tertahan sejenak sebelum berkata, “Ayahmu... ayahmu kecelakaan tadi siang, Nak. Dia dibawa ke rumah sakit.”
Mendengar jawaban Bu Sari, seketika duniaku serasa runtuh. Telingaku berdenging, dan kakiku lemas. “Kecelakaan? Kok bisa? Terus bagaimana keadaannya sekarang?” Suaraku bergetar, hampir tak bisa ku kendalikan.
Wajah Bu Sari semakin muram. Dia menggenggam tanganku lebih erat, seakan mencoba memberikan kekuatan. “Kondisinya kritis, Nak. Ibumu sudah di rumah sakit sejak tadi siang. Mereka sedang berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkannya.”
Dada ku terasa sesak, seolah semua udara di sekitarku hilang. Tanpa berpikir panjang, aku segera menuju kamarku untuk mengambil tas, lalu bersiap ke rumah sakit. Namun, langkahku terhenti. Air mataku mulai jatuh, dan tubuhku bergetar hebat. “Enggak... ini tidak mungkin. Ayahku... Ayahku kuat. Dia tidak mungkin...”
Bu Sari kemudian memelukku dengan lembut. “Nak, tenang. Kita harus kuat. Ayahmu pasti membutuhkan doamu sekarang.”
Aku mengangguk lemah di pelukan Bu Sari. Di antara air mata yang terus mengalir, aku merasa begitu rapuh. Rasa takut kehilangan menyelimuti hatiku, dan segala hal yang dulu tampak kuat dalam hidupku kini terasa goyah. Ayahku, sosok yang selalu kuandalkan, kini terbaring tak berdaya di rumah sakit.
“Ayo, kita ke rumah sakit sekarang. Ibumu pasti menunggumu di sana,” kata Bu Sari dengan lembut sambil membantuku berdiri.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengikuti Bu Sari menuju rumah sakit. Langkah kakiku terasa berat, dan pikiranku dipenuhi bayangan ayah. Setiap detik yang berlalu seakan menambah rasa cemas yang tidak tertahankan. Hanya ada satu harapan di hatiku: aku ingin bisa melihat senyum ayahku lagi.
Setibanya di rumah sakit, suasana terasa begitu mencekam. Langit malam yang kelam di luar tampak selaras dengan suasana hatiku yang dipenuhi kecemasan. Langkahku semakin cepat saat mendekati ruang ICU, tempat ayahku sedang berjuang melawan maut.
Begitu pintu ruang tunggu terbuka, aku melihat ibuku duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Wajahnya tampak begitu pucat, matanya sembab oleh air mata yang entah sudah berapa lama tumpah. Di sampingnya, seorang perawat tampak sedang memegang bahunya, mencoba menenangkannya.
“Ibu!” ucapku memanggil sambil berlari ke arah ibuku, tetapi yang terjadi berikutnya membuat hatiku remuk.
Saat mendengar suaraku, ibuku mendongak dengan mata yang kosong dan tubuh yang bergetar. “Sayang...” Suaranya lemah sebelum tiba-tiba tubuhnya limbung. Aku hampir tak sempat menangkap tubuh ibuku yang jatuh pingsan tepat di hadapanku.
“Ibu! Ibu!” panggilku panik, suaraku bergetar hebat. Aku segera dibantu oleh perawat yang sudah siaga di sana.
“Ibumu sudah seperti ini sejak tadi siang,” kata perawat itu pelan, mencoba menenangkanku. “Kondisi ayahmu membuatnya terlalu terpukul. Dia sudah pingsan beberapa kali.”
Aku merasa dadaku semakin sesak. Selama ini, aku selalu melihat ibuku sebagai sosok yang kuat, seseorang yang bisa menahan segalanya. Tapi melihatnya tak berdaya seperti ini, seolah ada yang patah di dalam diriku. Air mataku mulai menetes tanpa bisa kutahan.
“Ibu... maafkan aku,” bisikku, menahan isak tangis. Aku merasa begitu bersalah. Saat ibuku membutuhkan dukungan, aku justru tidak ada di sana. Padahal, ibuku pasti sangat membutuhkan bahu tempat bersandar, tapi yang ada hanyalah kekosongan yang membuatnya semakin rapuh.
Sambil terus memeluk tubuh ibuku yang lemas, aku merasakan keputusasaan yang mendalam. Di satu sisi, ayahku sedang berjuang di ruang ICU, sementara ibuku kini juga lemah, seakan tak punya lagi tenaga untuk menghadapi kenyataan. Aku terjebak di antara dua orang yang paling kucintai, merasa tidak berdaya untuk menyelamatkan salah satu dari mereka.
Perawat yang tadi membantu ibuku menatapku dengan iba. “Kita bawa ibumu ke ruang istirahat dulu, ya. Dia butuh istirahat, Nak.”
Aku hanya bisa mengangguk sambil menyeka air mataku. Bersama perawat, aku membantu membawa ibuku ke ruang istirahat. Sepanjang perjalanan, perasaan bersalah terus menghantui pikiranku. Aku seharusnya ada di sana lebih awal. Aku seharusnya menjadi kekuatan bagi ibuku. Tapi nyatanya, aku merasa begitu tak berdaya.
Setelah memastikan ibunya tertidur di ranjang kecil di ruang istirahat, aku duduk di sampingnya, menggenggam tangan ibuku yang dingin. “Maafkan aku, Bu,” bisikku dengan suara parau. “Aku seharusnya ada di sini sejak awal. Aku seharusnya lebih kuat untukmu.”
Namun, di balik rasa bersalah itu, aku tahu bahwa aku tidak bisa membiarkan diriku terpuruk terlalu lama. Ayahku masih berjuang untuk bertahan hidup, dan ibuku masih sangat membutuhkannya. Meski hatiku hancur, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap berdiri tegak.
Setelah beberapa saat, perawat kembali menghampiriku dengan wajah serius. “Ayahmu masih kritis, tapi dokter memintamu untuk bersiap-siap jika ingin melihatnya. Kondisinya... mungkin tidak akan bertahan lama.”
Aku merasakan seluruh tubuhku gemetar. Rasa takut yang selama ini aku pendam seolah langsung menghantamku. Aku tahu saat itu akan tiba, tapi mendengarnya secara langsung membuat segalanya menjadi nyata.
Dengan langkah gontai, aku meninggalkan ibuku yang masih pingsan dan berjalan menuju ruang ICU. Sepanjang perjalanan, pikiranku melayang, teringat tentang momen-momen bersama sang ayah, senyum hangatnya, dan nasihat bijaknya. Dan sekarang, aku mungkin akan kehilangan semua itu.
Ketika akhirnya aku berdiri di depan pintu ruang ICU, hatiku berdebar kencang. Hatiku berteriak, meminta waktu lebih banyak. Tapi aku tahu, tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ayahku ada di dalam, berjuang untuk setiap tarikan napas. Dan aku harus kuat, meski rasanya dunia sedang runtuh di hadapanku.