Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebetulan yang terus terjadi
Naya duduk di studionya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Ponselnya sudah berkali-kali mencoba menghubungi Widuri, tapi tak ada jawaban. “Kemana sih, Wid?” gerutunya kesal. Ia butuh Widuri untuk mengantarnya ke rumah orang tuanya hari ini. Namun, satu jam telah berlalu dan sahabatnya itu belum juga muncul.
Dengan perasaan jengkel, Naya berdiri dari kursinya dan melirik jam dinding yang semakin menambah rasa frustasinya. Ia punya banyak pekerjaan, dan perjalanannya ke rumah orang tuanya ini sudah menambah beban pikiran setelah drama yang baru-baru ini ia alami dengan Arfan.
Akhirnya, setelah menunggu hampir satu jam lebih, suara klakson mobil terdengar dari luar. Naya buru-buru keluar dan melihat Widuri turun dari mobilnya dengan wajah yang sedikit kelelahan.
"Kenapa lama banget, Wid?" Naya menyambut dengan nada agak tajam, melampiaskan kekesalannya. “Aku udah nungguin dari tadi.”
Widuri, yang kelihatan lelah, mengangkat tangannya untuk meminta Naya tenang. “Maaf banget, Nay. Aku tadi ditabrak orang di jalan pas macet, mobilku rusak parah,” jawab Widuri sambil menunjuk ke belakang mobilnya yang memang terlihat penyok.
Naya terdiam sejenak, lalu tatapannya melunak. "Oh, gitu... tapi kenapa nggak bilang? Aku telponin kamu berkali-kali, nggak diangkat.”
“Ponselku ketimpa barang di kursi, nggak kedengeran, maaf ya.” Widuri menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Yang nabrak itu remnya blong. Namanya Fajar, dan tadinya kita udah ribut di jalan, tapi akhirnya beres juga. Dia tanggung jawab soal kerusakan mobil.”
Naya mengangguk, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kesalnya belum sepenuhnya hilang. “Ya udah, yang penting kamu nggak apa-apa. Jadi kita bisa berangkat sekarang?”
Namun, sebelum mereka sempat pergi, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumah Naya, dan seorang pria keluar. Naya langsung mengenali wajahnya; itu Fajar, orang yang baru saja disebutkan oleh Widuri.
“Eh, kamu ngapain di sini?” tanya Widuri, terkejut melihat Fajar muncul di depan rumah Naya.
Fajar tersenyum kaku sambil melirik Naya. "Maaf ganggu, saya kesini bukan soal kecelakaan tadi. Dante yang suruh saya ke sini."
Fajar mengangguk dengan sopan. “Ya, saya asisten Dante. Saya diminta datang ke sini untuk membawa referensi karakter desain yang akan digunakan dalam proyek Anda.”
Naya tercengang sesaat, lalu pandangannya beralih ke Widuri. “Jadi, kamu ditabrak oleh asistennya Dante?”
Widuri mengangkat bahunya, tampak tak percaya dengan kebetulan yang luar biasa itu. “Sepertinya begitu. Aku juga baru tahu sekarang.”
Fajar, merasa situasi mulai canggung, segera membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa berkas serta sketsa desain. “Ini, saya bawa beberapa referensi dari tim desain. Dante meminta agar Anda bisa melihatnya langsung untuk menentukan mana yang cocok untuk proyek ini. Nanti kita bisa diskusikan lebih lanjut.”
Naya menghela napas panjang, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Ia mengambil berkas yang disodorkan Fajar dan mulai memeriksa satu per satu. “Kenapa Dante tidak mengirim ini melalui email saja?”
“Dia bilang Anda lebih suka melihat secara langsung. Menurutnya, seni ini tidak bisa hanya dilihat lewat layar, harus dirasakan dengan sungguh-sungguh,” jawab Fajar dengan nada yang serius, meski tetap terdengar sedikit canggung.
Naya memandang lembaran kertas di tangannya, namun pikirannya melayang ke hal-hal lain. Kerja sama dengan Dante tampaknya akan jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Selain beban pekerjaan yang semakin berat, kehidupan pribadinya juga sedang kacau. Setelah drama dengan Arfan, kini muncul Fajar, asistennya Dante. Semua terasa semakin berbelit-belit.
“Baiklah,” kata Naya akhirnya, setelah hening sejenak. “Saya akan periksa ini dulu. Kalau ada yang perlu direvisi, saya akan beri tahu.”
Fajar mengangguk. “Baik, kalau begitu saya pamit dulu. Jika ada yang ingin didiskusikan, Anda bisa hubungi saya langsung. Nomor saya ada di dalam berkas itu.” Ia melirik sekilas ke arah Widuri sebelum kembali ke mobilnya. “Oh, dan soal kecelakaan tadi, sekali lagi saya minta maaf, Mbak,” katanya kepada Widuri sebelum akhirnya pergi.
Setelah Fajar pergi, Widuri menatap Naya dengan tatapan geli. “Kebetulan yang aneh, ya? Aku tabrakan sama asistennya bosmu.”
Naya mendengus. “Ya, hidupku sekarang isinya kebetulan aneh semua. Mulai dari pernikahan yang gagal, kerja sama dengan orang yang pernah menggugat aku, sampai kamu nabrak asistennya.”
Widuri tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Tapi kamu masih beruntung, Nay. Kerja sama ini bisa membantu kamu untuk bangkit lagi. Dante sepertinya punya banyak koneksi, dan ini adalah kesempatan emas buat kamu.”
Naya terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Widuri. “Mungkin kamu benar. Aku cuma belum tahu apakah ini benar-benar jalan yang tepat buatku sekarang.”
“Yang penting, coba dulu, Nay. Kamu kan butuh pekerjaan ini juga untuk stabilkan keuangan, terutama buat bayar Tika juga.”
Naya mengangguk pelan. Widuri memang benar. Proyek ini bisa menjadi penyelamat di tengah kondisi keuangannya yang kian menipis, terutama setelah kejadian dengan Arfan. Namun, keraguan tetap menyelimuti hatinya. Bekerja dengan Dante, yang dikenal perfeksionis, pasti tidak akan mudah. Apalagi dengan semua masalah pribadi yang masih membebani pikirannya.
“Nay, fokus saja dulu pada kariermu. Masalah pribadi bisa kamu selesaikan nanti. Aku yakin kamu bisa melewati ini,” ujar Widuri sambil menepuk bahu Naya dengan lembut.
Naya menarik napas dalam, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Iya, aku akan coba fokus. Semoga saja semuanya tidak berakhir kacau."
Keduanya kemudian masuk ke dalam rumah. Naya berusaha menenangkan pikirannya, meski di tangannya, sketsa-sketsa yang diberikan Fajar terasa berat. Bukan karena kertasnya, melainkan karena beban tanggung jawab besar yang menyertainya.