Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Mas, pelan-pelan! Kita mau kemana sih?!"
Pertanyaan Yessi sama sekali tidak dihiraukan Regan. Pria itu tetap fokus menatap kedepan tanpa mengurangi laju kendaraannya. Beberapa belokan, mobil ditumpangi keduanya berhenti di sebuah parkiran.
Regan sigap kembali membuka pintu untuk Yessi yang terlihat menyipit menatap papan nama bangunan di depannya.
"Rumah sakit? Ngapain kita kesini, mas?"
Regan melepas kacamatanya pelan lalu menggantungkan di kaos depan dadanya. Ia berdiri tegap di samping Yessi. Terlihat layaknya om yang melindungi keponakan perempuannya.
Tubuh Yessi benar-benar mungil di sisi Regan notabene bertubuh tinggi dan penuh otot.
"Apalagi, memeriksa tubuhmu. Saya tahu, kau tadi pingsan kan di sekolah?"
Yessi mengerutkan dahinya, Regan tahu beritanya dari siapa?
Regan mengerti arti kebingungan Yessi. Menunjukan riwayat panggilan antara dirinya dan Yessi beberapa jam lalu dan Yessi yakin, pasti Mentari yang mengangkatnya.
"Sudah tahu kan? Ayo, masuk."
Regan meraih telapak mungil Yessi lalu menggenggamnya lembut. Menarik perlahan agar Yessi tidak kesusahan mengikutinya. Regan mengerti, area sensitif Yessi pasti masih sakit.
"Mas!"
Yessi berusaha menarik kembali tangannya. Ia merasa tidak perlu berobat. Tubuhnya hanya panas biasa, mungkin efek semalam.
"Mas, dengar gak sih?! Berhenti dulu."
"Apa?"
Regan menghentikan langkahnya. Berbalik menatap wajah cantik gadis setinggi dadanya itu.
"Lepasin tangan saya," ujar Yessi. Regan menggeleng datar. Alisnya menukik sebelah.
Yessi melihat sekelilingnya, baru sadar ia dan Regan berada di pintu masuk. Menghalangi jalan orang-orang berlalu lalang. Giliran Yessi menarik Regan di kursi tunggu.
"Mas nggak perlu lakuin ini. Saya gak apa-apa. Lebih baik mas pulang!" kata Yessi berbicara memelankan nada suaranya.
Regan menyeringai. Berbisik pelan di telinga Yessi.
"Tidak bisa. Saya sudah buat janji dengan dokter kandungan untuk memeriksa anu mu. Setelah selesai, saya temani menjenguk Bima."
Sontak, mata Yessi melebar seketika. Apa katanya, tadi anu? Yessi tidak bodoh mengartikan anu di maksud Regan.
"Mas, jangan gila! Saya gak mau! Apa gak di cap buruk nanti saya. Masih pelajar udah gituan. Pokoknya, kalau mas masih maksa. Punya mas aja di periksa! Masalah jenguk Bima, saya bisa sendiri."
Yessi berdiri namun seruan suster tiba-tiba terdengar memanggil namanya.
"Dengan nona Yessi! Silahkan, dokter sudah menunggu di ruangannya."
"Mas!" Yessi memelototi Regan. Pria itu berdiri dari duduknya dengan tersenyum tipis. Menarik Yessi kembali.
"Ayo."
Sekalipun Yessi menangis, Regan tetap akan memaksa nya. Yessi kesakitan karena ulahnya. Regan sebagai pria sejati harus bertanggung jawab.
"Eh, Pa ... Itu bukannya Yessi ya?"
seorang wanita paruh baya masih begitu cantik datang dengan pria matang berjas hitam mahal menunjuk silent Yessi dan Regan yang masuk ke ruangan dokter kandungan.
"Betul, Ma. Siapa pria itu dan ngapain Yessi masuk keruangan dokter kandungan?" ujar sang pria menanggapi.
Mentari di belakang keduanya menepuk kening. 'Mampus! Ternyata itu bocah udah duluan kesini. Tapi, ngapain sih sama Regan? Pake masuk ke ruangan begituan lagi. Gak mungkin kan mereka mau program bayi? '
"Mentari?"
"Ah, i-iya, tante," jawab Mentari gelagapan.
Wulan tersenyum teduh. Ia adalah ibu Yessi. Mereka datang kesini untuk menjenguk Bima. Karena kemarin keduanya belum sempat datang.
"Ada apa, sayang?" tanyanya karena gelagat aneh di tunjukan Mentari.
"Ti-tidak, tante."
"Itu tadi Yessi kan? Sama siapa dia? Kok tante baru lihat laki-laki itu. Yessi gak sakit kan?"
Mentari tersenyum kaku. Beruntung, Arga mengambil alih untuk menjawab. Keempatnya tadi bertemu di sekolah. Tepat setelah kedatangan Arga.
"Itu ... sahabat ku, Tante. Yessi gak sakit kok. Mungkin, lagi konsultasi masalah menstruasinya," ucap Arga dengan sedikit kebohongan.
Bersyukur, ia tahu. Yessi setiap datang bulan selalu mengeluh sakit bahkan gadis itu tidur berhari-hari karena tidak tahan akan rasa sakitnya.
Wulan angguk-angguk. Damian yang di rangkul istrinya, mengelus punggung tangan Wulan lembut.
"Jangan cemas. Kita tunggu Yessi di ruangan Bima aja."
"Iya, Pa. Semoga putri kita tidak apa-apa. Padahal, Yessi seminggu yang lalu baru menghubungi Mama mengeluh dirinya datang bulan. Masa sebulan dua kali dia kena?"
Mentari menepuk lengan Arga. Bisa-bisa, Wulan akan makin curiga.
"Mari, Tante," ajak Arga mengerti kode adiknya itu.
Di dalam ruangan dokter.
Yessi duduk dengan tegang. Sedangkan, Regan di sampingnya sangat tenang. Padahal dokter sedang menginterogasi keduanya. Apalagi, Yessi datang dengan seragam sekolah.
Gadis itu sudah selesai di periksa. Setengah mati menahan malu saat dokter memeriksa area sensitifnya.
"Maaf, pak Regan sepupu, pacar atau--"
"Suami," potong Regan percaya diri membuat Yessi menatap Regan dengan mulut menganga karena jagonya pria itu berbohong.
"O-oh ... Begitu. Menikah diam-diam ternyata ya, Pak. Pantas tidak terliput awak media. Mungkin, karena istri anda masih di bawah umur."
"Awak media?" gumam Yessi kebingungan. Regan berdehem meng kode dokter wanita tersebut.
"Ma-maaf, pak," ucap dokter tersebut ketakutan dengan kepala tertunduk.
Yessi menatap keduanya bolak-balik. Heran karena dokter itu seakan begitu menghormati Regan.
"Jangan banyak omong! Jelaskan," cetus Regan sedikit jengkel. Ia dapat menangkap sinyal kecurigaan dari Yessi.
"Ba-baik. Setelah saya periksa tadi, area sensitif nona mengalami kesobekan cukup lebar, pak. Itu membuat nona merasakan perih bahkan akan semakin sakit saat buang air kecil. Saya sudah meresapkan obat dan salep. Bengkaknya akan menghilang perlahan."
"Apa tidak bisa di jahit?"
Mendengar itu, Yessi mencubit perut Regan kuat-kuat. Apa pria itu berpikir dirinya habis melahirkan hingga perlu di jahit?
"Mas, jangan seenaknya! Saya gak mau. Burung mas aja deh di jahit! Apa perlu buang sekalian telurnya," sahut Yessi begitu kesal.
Dokter tiba-tiba tertawa pelan. Apalagi, Regan tidak terlihat marah pada Yessi. Padahal dokter itu tahu, seberapa tempramen nya seorang Regan.
Ia kini percaya, Yessi istri dari Regan Alexsis Venom, pemilik rumah sakit tersebut.
"Nona, lucu sekali. Bagaimana akan memproduksi bayi-bayi mungil, jika pabriknya di tutup? Saya yakin, anak kalian berdua pasti akan cantik dan tampan seperti kedua orang tuanya. Saran saya, pak Regan jangan menggebu-gebu melakukannya. Usahakan pemanasan yang cukup setelah itu baru tancap gas."
Yessi memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut pusing. Pembicaraan ini, semakin melantur kemana-mana. Tidak bisa, jika disini terus. Yessi bisa gila!
Regan angguk-angguk. Begitu serius menanggapinya. Seakan itu adalah ilmu yang kapan saja akan ia praktek kan.
"Tapi, pengaman dulu ya, pak. Istrinya kan masih sekolah. Kasian karena meleduk nanti putus di tengah jalan."
"Dok, saya permisi."
Yessi berdiri dengan wajah panas berjalan cepat keluar seraya menahan sakit.
Regan melihatnya tertawa pelan. Dokter mendengar tawa Regan terpana, laki-laki itu tidak pernah menunjukkan ekspresi saat meninjau rumah sakit tersebut.
Regan tersadar, berdehem. Kembali memasang wajah dingin.
"Masalah demamnya?" tanya Regan datar.
Dokter di tanya, gelagapan. Merasa tertangkap basah karena menatap dalam Regan.
"Itu tadi, Pak. Mungkin efek kecapean dan pembengkakan di area sensitifnya."
Regan berdiri lalu memasukan dalam saku resep obat akan di tebusnya nanti.
"Terimakasih," ujar Regan lalu berbalik. Tepat di depan pintu. Dokter itu berseru kembali.
"Pak ... Jangan lupa, area yang bengkak di kompres air hangat."
Detik itu, Regan menyeringai tipis. "Akan saya coba."
Yessi berjalan di lorong rumah sakit menghentakan kakinya kesal. Gadis itu bahkan sudah bercucuran airmata. Begitu kesal pada Regan. Tasnya ia tenteng di sebelah pundak.
"Dasar pria bajingan! Siapa juga yang mau jadi istrinya! Ogah banget, kayak om-om gitu!" ucap Yessi sembari menghapus air matanya kasar.
Tiba-tiba, seseorang merebut tasnya dari belakang. Yessi mengepalkan tangan, tahu siapa orang tersebut. Karena matahari bersinar cerah menyorot tubuh keduanya dari samping, menciptakan bayangan di lantai porselin putih itu.
"Kembalikan! Mas, pergi aja deh! Hobi banget sih ngintilin orang!" ujar Yessi tanpa berbalik namun tangannya tersodor kebelakang.
"Bukannya kau sudah tahu, aku om nya, Bima?"
Regan mengetahui hal tersebut, karena Mentari memarahi Regan habis-habisan di telpon tadi dan mengatakan kebenaran yang Bimo ungkap.
"Aku? Gak usah sok dekat! Bagus pake saya aja," balas Yessi karena Regan merubah panggilan seakan mereka sudah mengenal sejak lama.
Regan melewati Yessi begitu saja. Membawa tas Yessi bewarna hijau tosca di sebelah pundaknya. Mau tidak mau, Yessi mengikuti dari belakang namun masih berjarak.
"Sok dekat?" Regan berdecak. "Orang asing mana yang berbagi keringat?"
"Mas!" seru Yessi apalagi beberapa orang melihat keduanya dengan tatapan aneh karena perkataan Regan.
Keduanya tidak lagi berbicara hingga keluar dari lift. Jantung Yessi berdegup kencang saat Regan memutar kenop pintu ruangan Bima di rawat.
Tangan keduanya bertautan, Regan mengancam akan membeberkan kejadian semalam dialami mereka pada Bima. Jika Yessi menjauhinya.
Orang pertama, melihat pintu adalah Bima. Yang sudah lama menunggu kehadiran Yessi. Senyum di bibir Bima lentur seketika karena Yessi datang bersama Regan, om nya yang dingin dan jarang berbicara itu.
"Yes, kenapa datang dengan dia?" tanya Bima dengan kilat permusuhan di mata nya dan Regan yang bertemu tatap.
Ya, Bima tahu, siapa menculiknya malam itu dan dengan jelas mendengar ancaman Regan. Om nya itu bahkan mengklaim Yessi sebagai miliknya dan apa yang Regan lakukan hanya permulaan.
Akan lebih parah, jika Bima tidak menjauhi Yessi.
'Sorry, om. Gue lebih dulu suka sama, Yessi sekalipun harus terluka parah lagi. Gue gak akan lepasin Yessi buat lo,' ucap Bima bersumpah sungguh-sungguh dalam hati.
"Kau?" ujar Damian tiba-tiba menunjuk Regan seraya mendekat.