Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Plak!
Nuri memukul pundak Alan.
"Kalau ngomong jangan sembarangan kamu. Mas Angga jangan dengerin omongan Alan. Dia itu teman masa kecilku saja."
Alan cengengesan, "bukannya kita mau tunangan ya?" Alan masih menggoda Nuri yang mendelik tajam ke arahnya.
"Heleh, aku itu masih betah melajang. Lagian kalau aku nikahin kamu, malas sekali nanti diteror sama sejuta cewek beringas mu Lan." Memang betul Alan itu ceweknya banyak. Walaupun demikian, Alan tetap memprioritaskan Nuri ketimbang wanita-wanitanya kalau saja Nuri menyadari itu. Sayangnya Nuri hanya menganggap semua itu candaan.
"Cewek ku yang mana?"
"Alan.. Alan.. saking banyaknya sampai dirimu bertanya cewek yang mana."
"Di luar boleh saja banyak, kalau disini ya cuma satu. Iya tidak?" Alan menaik turunkan alis, menggoda Nuri sampai perempuan itu capek sendiri dengan tingkahnya. Sementara itu wajah Angga sudah tidak sedap dipandang. Apalagi kondisi hatinya, sudah porak-poranda tak karuan.
Cincin yang sudah dimasukkan kembali ke dalam saku semakin di dorong lebih dalam oleh Angga. Habis sudah kepercayaan dirinya yang tidak seberapa, bukan karena terbasmi candaan Alan pada Nuri yang mengaku-ngaku calon suaminya. Justru Angga merasa lega ketika Nuri bilang Alan hanya sebatas teman masa kecil. Yang membuatnya down adalah perkataan Nuri yang bilang kalau perempuan itu masih betah melajang.
"Hadeuh, Alan kamu tuh ya, ada tamu ku ini. Mas Angga maaf, Alan memang orangnya seperti ini." Nuri nyengir kikuk, merasa tidak enak sudah mengajak Angga ke rumahnya tapi malah disuguhkan perdebatan candaan dengan Alan.
"Oalah, maafkan saya Mas Angga, gara-gara Nuri saya jadi lupa diri. Mari masuk ke dalam Mas, biar saya buatkan minum."
Nuri mendelikkan matanya mendengar ucapan Alan. Benar-benar tuh teman satu, main lempar kesalahan saja.
"Biar aku saja yang buatkan. Mas Angga tamu ku, dan kamu juga seorang tamu Lan. Masa aku membiarkan tamu repot-repot menjamu."
"Sudahlah tidak apa-apa Nuri, kau masih saja menganggapku tamu. Ayo Mas Angga, tidak usah sungkan. Maaf sekali lagi karena sudah membuang waktu Mas Angga untuk mendengarkan ocehan tidak penting kami." Alan masuk lebih dulu demi merealisasikan perkataannya yang ingin membuatkan minum. Sementara Angga dan Nuri menyusul di belakang, menuju ruang kedap suara.
...***...
Dari hasil perbincangan antara Angga dan Nuri tempo hari, persidangan-persidangan setelahnya tidak se-sesak saat pertama kali. Kedua orang itu mampu memutar balikan kelicikan Balong yang masih berlangsung. Bukannya merenungi kesalahannya, Balong justru semakin menjengkelkan.
Dalam sidang terakhir ini, Balong terbukti melanggar pasal berlapis-lapis. Hakim mengetuk palu, menjatuhkan hukuman balong yakni hukuman mati. Orang-orang yang hadir menyaksikan jalannya persidangan bersorak lega karena pada akhirnya Balong mendapatkan hukuman yang setimpal.
Kalau Nuri tidak memberikan perhatian intensif terhadap kasus ini sehingga dia kembali melibatkan Angga di dalamnya, bisa saja kasus Balong berlarut-larut panjang banyak drama. Untungnya hasil akhir berbuah manis, karena gerakan cepat kerja sama antara Nuri dan Angga beberapa hari belakangan.
"Mbak, apakah aku diijinkan berbicara empat mata dengan Balong menjelang kematiannya?"
"Silahkan Mas Angga. Kalian dapat berbicara berdua dengan pengawasan ketat."
"Terimakasih Bu."
"Bu?" selidik Nuri.
"Iya, Bu Polwan. Ibu Bripka Nuri Adhisti." Nama lengkap Nuri beserta pangkatnya dijajarkan Angga sebagai penekanan kalau dia sudah memutuskan membentang jarak untuk menghargai Nuri yang masih mau mengarungi masa lajangnya. Kalau Nuri sampai tahu, wanita itu tidak bakal setuju. Sebab omongan tersebut hanya kalimat asal sebut.
Kalau Nuri sampai tahu, pasti dia tidak akan berbicara seenaknya. Sebab lain orang lain pula cara menanggapinya. Pria pendiam seperti Angga yang banyak mengamati sekitar justru menanggapi kalimat gurauan Nuri terlalu serius. Nuri merasa Angga sedang menjauhinya.
Menjelang eksekusi, Angga dipertemukan Balong sesuai permintaannya tempo hari. Angga dan Balong sudah saling berhadapan, dimana ekpresi muka Balong masih sama sengaknya walaupun dia sebentar lagi dikirim ke alam baka.
"Senang sekali kau anak muda, sampai-sampai ingin bertemu denganku begini."
"Ya jelas senang sekali. Sebentar lagi nyawa dibayar dengan nyawa, tanpa harus mengotori tangan ini."
"Ahahahahaha, iya iya, kau betul sekali." Sahut Balong santai sembari menari-narikan jarinya diatas meja. Mulutnya selalu tersenyum mengejek.
"Apa permintaan terkahir lo wahai Kuntoro? apa ada yang ingin lo lakuin?"
"Tentu ada."
"Sebutkan saja, barangkali gue bisa menggagalkan keinginan terakhir lo itu." Angga tersenyum mengejek.
"Balong ingin menyikat gigi. Silahkan kau mati-matian gagalkan keinginan terakhir ku ini. Hahahaha."
Angga tersenyum kecut ejekannya malah dibalas sesuatu yang menjengkelkan. Untuk sesaat Angga menahan kekesalannya.
"Ayo cepat gagalkan keinginan Balong untuk menggosok gigi wahai anak muda. Bukankah katamu mulut ku ini aromanya seperti kubangan tahi sapi hahahahaha."
"Percuma kau gosok gigi kalau pada akhirnya binasa." Angga tertawa juga, membuat Balong berdecak tidak suka.
.
.
.
Bersambung.