Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Sudah hampir sebulan sejak Delisa dan Azka memutuskan untuk menjalani hubungan mereka secara diam-diam. Walau berbagai rumor terus beredar, mereka tetap teguh dengan keputusan mereka, memilih untuk menjalani semuanya dalam kesunyian. Meskipun begitu, keinginan Azka untuk dapat secara terbuka menunjukkan rasa sayangnya pada Delisa semakin kuat. Ia merasa terkungkung oleh keheningan dan mulai merasakan bahwa hubungan mereka ini tidak sepenuhnya adil bagi mereka berdua.
Di sisi lain, Delisa tetap merasa tertekan dengan segala rumor yang terus bergulir di sekitarnya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikan semua itu, setiap kali ia mendengar gosip baru atau sindiran dari teman-temannya, ia tak bisa menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Pada suatu pagi, ketika mereka sedang berjalan menuju kelas masing-masing, Azka menahan langkah Delisa di koridor sekolah yang sepi.
“Del, aku ingin ngomong sesuatu,” kata Azka sambil menatap Delisa dengan serius.
Delisa berhenti dan menatap Azka, sedikit terkejut dengan ekspresi tegang yang ia lihat di wajahnya. "Ada apa, Azka?"
Azka menghela napas panjang, terlihat seperti sedang mengumpulkan keberanian. “Del, aku tahu kita udah sepakat buat jalani hubungan ini diam-diam, tapi aku nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku pengen kita bisa lebih terbuka.”
Delisa terlihat ragu. Ia sudah menduga bahwa topik ini akan muncul, tapi ia belum siap untuk benar-benar menghadapi kenyataan bahwa mungkin ia harus menjalani hubungannya dengan Azka di bawah sorotan orang-orang.
“Azka, aku… aku nggak tahu,” jawab Delisa, suaranya terdengar cemas. “Kamu tahu kan gimana pandangan orang-orang tentang kita? Mereka terus aja ngomongin aku. Aku cuma nggak siap untuk semua itu.”
Azka menatap Delisa dengan penuh pengertian. Ia tahu bahwa Delisa benar-benar terluka oleh omongan-omongan itu, namun di sisi lain, ia juga ingin hubungan mereka berjalan dengan normal. “Aku ngerti, Del. Tapi nggak adil rasanya kalau kita harus sembunyi-sembunyi terus. Aku mau mereka tahu kalau kamu adalah cewek yang aku pilih, dan aku nggak mau ada yang berpikir sebaliknya.”
Delisa terdiam, merasa bimbang. Ia tahu bahwa Azka punya hak untuk menginginkan hubungan mereka yang lebih terbuka. Namun, rasa takut dan trauma dari masa lalu membuatnya tetap waspada. Ia tidak ingin kembali menjadi sasaran gosip atau dituduh sebagai pelakor seperti sebelumnya.
Melihat Delisa terdiam, Azka menghela napas pelan dan menggenggam tangan Delisa dengan lembut. “Aku nggak akan paksa kamu, Del. Kalau kamu benar-benar merasa ini yang terbaik, aku akan menghormati keputusanmu. Tapi tolong, pertimbangkan lagi. Aku nggak mau kita terus hidup dalam bayang-bayang orang lain.”
Delisa menunduk, merasakan kepedihan di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Azka layak mendapatkan hubungan yang lebih terbuka dan jujur. Namun, di sisi lain, ketakutannya masih terlalu besar untuk diabaikan. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan dan berkata, “Aku akan pikirkan, Azka.”
...****************...
Hari-hari berikutnya, Delisa terus memikirkan perkataan Azka. Ia berusaha mempertimbangkan kemungkinan untuk membuka hubungan mereka kepada publik, tapi ketakutannya akan reaksi orang-orang terus menghalanginya. Setiap kali ia ingin mengambil langkah itu, ingatan tentang gosip dan sindiran dari teman-temannya kembali menghantui.
Di tengah kebingungannya, Delisa mencoba berdiskusi dengan Caca, satu-satunya orang yang mengetahui hubungan rahasia mereka. Pada suatu siang, mereka duduk di taman sekolah sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang sejuk.
“Ca, menurut kamu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Delisa pelan, suaranya terdengar bimbang.
Caca menatap Delisa dengan penuh empati. “Del, aku ngerti kamu takut dengan omongan orang. Tapi, kalau kamu terus-terusan mengkhawatirkan pendapat orang lain, hubungan kamu sama Azka nggak akan pernah berjalan dengan tenang. Kadang, kamu harus berani buat menghadapi semuanya.”
Delisa terdiam, mencerna kata-kata Caca. Ia tahu bahwa sahabatnya itu benar, namun ia juga masih merasa terjebak oleh ketakutannya.
“Tapi Ca, aku nggak mau jadi bahan gosip lagi,” jawab Delisa, suaranya nyaris berbisik. “Aku nggak tahan kalau harus mendengar mereka menuduh aku yang macam-macam.”
Caca menghela napas panjang, lalu berkata, “Del, kamu sama Azka nggak ngelakuin hal yang salah. Kamu punya hak untuk bahagia sama dia, dan mereka nggak berhak buat menghakimi hubungan kamu. Kalau mereka tetap ngomongin kamu, itu masalah mereka, bukan kamu.”
Perkataan Caca membuat Delisa merasa sedikit lebih tenang. Mungkin benar bahwa ia tidak seharusnya terus-menerus hidup dalam bayang-bayang pendapat orang lain. Namun, ia masih merasa ragu, terutama dengan segala trauma yang pernah ia alami.
...****************...
Pada suatu malam, Delisa kembali merenungkan semuanya. Ia duduk sendirian di kamarnya, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika ia memutuskan untuk membuka hubungan mereka. Akhirnya, ia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Azka.
Delisa: Aku udah pikirin semua yang kamu bilang, Azka.
Azka: Terima kasih, Del. Jadi, kamu udah punya keputusan?
Delisa menghela napas panjang, lalu membalas.
Delisa: Aku belum siap buat kita benar-benar terbuka. Tapi aku mau kita lebih jujur pada diri kita sendiri. Aku mau kita bisa jalan bareng lagi tanpa harus selalu takut.
Azka membalas pesan itu dengan cepat, menuliskan kata-kata yang membuat Delisa tersenyum kecil.
Azka: Itu udah cukup buat aku, Del. Aku cuma mau kamu merasa nyaman. Kita bisa jalani semua ini pelan-pelan.
Delisa merasa lega setelah mengutarakan isi hatinya pada Azka. Meski ia belum siap untuk sepenuhnya membuka hubungan mereka, ia setidaknya bisa lebih jujur pada dirinya sendiri dan menikmati momen-momen kebersamaannya dengan Azka tanpa merasa terbebani.
...****************...
Keesokan harinya, Delisa dan Azka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di taman sekolah, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Meski mereka masih menjaga jarak agar tidak terlalu mencolok, mereka setidaknya bisa menikmati kebersamaan tanpa harus terlalu khawatir dengan pandangan orang lain.
Caca yang melihat mereka dari kejauhan merasa senang melihat sahabatnya bisa sedikit lebih bahagia. Ia berharap bahwa perlahan-lahan Delisa akan mampu melewati semua trauma dan ketakutannya, dan bisa menjalani hubungannya dengan Azka tanpa beban.
Namun, tentu saja, kebersamaan mereka tidak sepenuhnya luput dari pandangan orang lain. Beberapa teman mereka mulai memperhatikan bahwa Delisa dan Azka kembali terlihat dekat. Berbagai spekulasi kembali muncul, namun kali ini Delisa sudah lebih siap untuk menghadapinya.
...****************...
Pada suatu hari sepulang sekolah, Delisa dan Azka berjalan berdampingan di lorong, berbincang ringan. Mereka tidak menggenggam tangan atau menunjukkan kemesraan yang mencolok, tapi kebersamaan mereka sudah cukup untuk menimbulkan bisikan-bisikan di antara teman-teman mereka.
“Eh, bukannya mereka udah putus, ya?” bisik salah satu siswa di pojokan lorong.
“Iya, tapi lihat deh, mereka masih jalan bareng. Apa mungkin mereka balikan diam-diam?” jawab temannya sambil melirik ke arah Delisa dan Azka.
Delisa mendengar bisikan itu, namun kali ini ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia menoleh ke arah Azka dan memberikan senyum kecil, mencoba menunjukkan bahwa ia sudah lebih kuat untuk menghadapi semua itu.
Azka membalas senyumnya dengan penuh kasih, lalu berkata pelan, “Kamu nggak apa-apa, Del?”
Delisa mengangguk. “Aku udah belajar buat nggak terlalu peduli lagi, Azka. Mereka boleh ngomong apapun, tapi yang penting aku tahu apa yang sebenarnya ada di antara kita.”
Azka merasa bangga dengan keteguhan hati Delisa. Ia tahu bahwa gadis itu sudah berjuang keras untuk bisa sampai di titik ini, dan ia berjanji dalam hati untuk selalu ada di sisinya, apa pun yang terjadi.
Hubungan mereka mungkin belum sepenuhnya bebas dari sorotan dan gosip, namun Delisa dan Azka sudah belajar untuk lebih kuat. Mereka tidak lagi terlalu mempedulikan pandangan orang lain, memilih untuk menikmati kebersamaan mereka tanpa harus dibebani oleh pendapat orang lain.
Bagi mereka, ini adalah langkah kecil menuju kebahagiaan yang sejati. Meski jalan di depan mungkin masih penuh dengan tantangan, mereka yakin bahwa selama mereka saling percaya, mereka akan mampu menghadapinya bersama.