Kamila gadis yatim piatu mencintai Adzando sahabatnya dalam diam, hingga suatu malam keduanya terlibat dalam sebuah insiden.
Adzando seorang artis muda berbakat.
Tampan, kaya, dan populer. Itulah kata-kata yang tepat disematkan untuknya.
"Apapun yang kamu dengar dan kamu lihat, tolong percayalah padaku. Aku pasti akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan. Kumohon bersabarlah."
Karena skandal yang menimpanya, Adzando harus kehilangan karier yang ia bangun dengan susah payah, juga cintanya yang pergi meninggalkannya.
"Maafkan aku, Do. Aku harus pergi. Kamu terlalu tinggi untuk aku gapai."
"Mila... Kamu di mana? Aku tidak akan berhenti mencarimu, aku pasti akan menemukanmu!"
Kerinduan yang sangat mendalam di antara keduanya, membuat mereka berharap bahwa suatu hari nanti bisa bertemu kembali dan bersatu.
Bagaimana perjalanan cinta mereka?
Mari baca kisahnya hanya di sini ↙️
"Merindu Jodoh"
Kisah ini hanya kehaluan author semata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
...*...
Kamila memegang benda pipih persegi panjang dengan tangan bergetar. Netranya berkaca-kaca sembari menatap tak percaya pada apa yang terpampang nyata di depannya. Bibir mungil itu terkatup rapat, dengan tangan kiri terkepal menutup mulutnya.
Kamila benar-benar syok. Apa yang harus dilakukannya nanti. Bagaimana reaksi Ibu Rahayu jika tahu dirinya berbadan dua? Lalu bagaimana pula dengan penduduk dusun, mengingat dirinya adalah wanita single. Jangankan punya suami, menikah pun belum pernah. Kamila terdiam beberapa saat, guna menata hatinya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas seraya memejamkan mata.
"Tenang, Kamila. Kamu tidak boleh panik. Bersikaplah sewajar mungkin seolah tidak terjadi sesuatu." Kamila berbicara sendiri di dalam hati.
Kemudian ia menarik nafas berulang kali, dan mengeluarkannya, untuk mengatur nafasnya. Setelah merasa tenang Kamila keluar dari toilet, lalu kembali ke ruangannya.
Sepanjang hari Kamila berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Ia mencoba mengesampingkan pikiran-pikiran buruk yang mulai menghantuinya.
Hingga pukul empat sore saat jam pulang kerja, Kamila dengan langkah gontai meninggalkan ruangannya menuju ke depan, di mana biasanya Fika menunggunya.
"Yuk ...! Maaf ya, menunggu lama."
"Enggak kok, santai aja kalau sama Fika, mah... hehehe." Fika berkata sambil menyengir, lalu beranjak dari tempat duduknya.
"Mau langsung pulang, Kak? Gak pengin ke mana dulu, gitu?"
"Emang Fika mau apa?"
"Gak ada."
"Ya udah, kita pulang aja!"
Setelah itu tidak ada obrolan lagi di antara mereka, sampai akhirnya tiba di rumah.
"Makasih, Fika-chu," ucap Kamila.
Fika tertawa lebar ketika Kamila menyebut namanya Fika-chu. Lalu gadis belia itu pamit pulang ke rumahnya.
"Sama-sama Kak Mil-mil. Bye ....," sahut Fika.
Kamila hanya tersenyum simpul menanggapinya, kemudian membawa langkahnya menuju ke rumah.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Kamila.
Ibu Rahayu yang baru datang dari dapur, tersenyum menyambut Kamila sembari menjawab salam, "Waalaikumsalam."
Kamila lalu mencium takzim punggung tangan ibu angkatnya itu.
"Sudah pulang, Nak?"
"Iya, Bu. Kalau begitu Mila ke kamar dulu ya, Bu."
"Ya udah, sana!"
Mila masuk ke dalam kamar, sementara Ibu Rahayu memperhatikan anak angkatnya itu, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.
Lantas Ibu Rahayu menggelengkan kepala mengusir pikiran buruknya, kemudian ke luar rumah dan duduk di teras.
Di dalam kamarnya, Kamila duduk termenung. Dia bingung harus bagaimana memberitahu pada Ibu Rahayu. Pasti wanita paruh baya itu akan terkejut mendapati kenyataan yang terjadi.
"Apa aku ceritakan semuanya aja sama ibu, apa yang pernah aku alami?" gumam Kamila lirih.
"Hahhh ... di saat aku ingin melupakanmu, kenapa kamu justru meninggalkan jejakmu padaku, Do?" Kamila mengelus pelan perutnya yang masih rata.
"Apa itu artinya kita akan terus saling terhubung?"
Kamila menghela nafas dalam yang terasa berat.
"Tapi bagaimana mungkin, sedangkan dirimu sudah bersama yang lain?"
Mata Kamila mulai berembun, membayangkan bagaimana hari-hari yang akan dilalui ke depannya. Diusapnya butiran bening yang memenuhi kelopak matanya, sebelum akhirnya jatuh membasahi pipi.
"Kamu jangan cengeng, Kamila. Kamu harus bisa menerima kenyataan. Jadilah wanita kuat untuk anakmu nanti. Semangat." Kamila mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas.
Usai memberi motivasi pada dirinya sendiri, Kamila beranjak dari tempat duduknya, lalu mengambil pakaian ganti. Dia kemudian keluar dari kamar, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Malam harinya selesai makan malam, dan membersihkan bekas mereka makan, Kamila berniat memberitahu Ibu Rahayu tentang kehamilannya. Karena bagaimanapun juga, hanya Ibu Rahayu keluarga satu-satunya yang dia punya saat ini.
"Bu, Mila ingin bicara sebentar."
"Mau ngomong apa to, Nak? Sepertinya penting?"
Kamila merogoh saku yang ada pada baju yang dipakainya. Lalu mengeluarkan benda kecil pipih persegi panjang dari sakunya.
Mila memberikan benda itu pada Ibu Rahayu, dan wanita paruh baya itu menerimanya dengan wajah kebingungan.
"Apa ini maksudnya, Nak? Siapa yang hamil?"
Sebelum menjawab Kamila tampak menarik nafas berat.
"Itu punya Mila, Bu."
"Apa ...?" Ibu Rahayu membekap mulutnya, matanya berkaca-kaca.
"Mila hamil, Bu." Kamila tertunduk takut sambil meremas jemari tangannya.
"Cobaan apalagi ini, Nak?"
"Maafkan Mila, Bu. Sebenarnya Kamila pergi karena ...." Kamila kemudian menceritakan semuanya pada ibu angkatnya, tanpa ada yang dia sembunyikan. Dia sudah siap dengan segala konsekuensinya, andaikata ia akan terusir dari dusun itu.
Namun di luar dugaan, Ibu Rahayu justru memeluk Kamila dengan penuh kasih sayang.
"Mari kita besarkan dia dengan penuh cinta kasih, Nak Mila. Ibu berdoa semoga suatu saat nanti, kalian bisa bertemu kembali dengan ayah dari bayi yang kamu kandung, lalu kalian bisa bersatu dan bahagia bersama."
"Aamiin, terimakasih, Bu."
"Dia tidak bersalah, Nak. Bayi ini yang akan menyatukan kalian nanti, InsyaAllah."
Begitulah, akhirnya Kamila bisa bernafas lega, sebab Ibu Rahayu bisa bersikap bijaksana, dan menerima keadaannya dengan tangan terbuka.
.......
.......
.......
Selama sebulan ini, Zando tak pernah lelah mencari Kamila. Penelusuran dimulai dari kampung nenek Kamila di mana dulu gadis itu pernah tinggal, lalu ke kampung orangtuanya. Akan tetapi tidak ada jejak yang ditemukan Zando di sana.
Mama Zeya juga tidak ketinggalan, dengan kepiawaian meretasnya, ibu tiga anak itu ikut membantu pencarian.
Begitu pula dengan Adzana. Sebagai saudara kembar dia tidak mungkin berpangku-tangan menyaksikan kembarannya mengalami kesusahan. Bahkan tadinya dia ingin sekali memberi pelajaran, dengan meretas data agensi MW Entertaiment tersebut, andai sang suami tidak memperingatkannya.
Sisi jahat Adzana akan keluar, jika ada yang mencoba mengusik keluarganya. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya menurut pada Arbi suaminya, dan membantu mencari lewat data kependudukan. Akan tetapi banyak nama yang sama dan status yang berbeda, membuat Adzana meragu.
Zando juga menyebar orang-orang suruhan, namun semua nihil. Mereka belum menemukan keberadaan Kamila. Hal itu membuat Zando frustasi. Dia sering melamun dan mengurung diri di dalam kamar. Kadang mendatangi apartemen Kamila di malam hari, berharap gadis itu akan pulang.
"Mila, kamu di mana ....? Aku tidak akan berhenti mencarimu! Aku pasti akan menemukanmu!"
"Kenapa kamu pergi, Mil? Harusnya kamu menungguku. Aku pasti akan datang padamu, dan menikahimu. Tapi kenapa ...? Kenapa kamu memilih pergi, Mil?"
"Milaaa.... haaah...haaah... haaahh, Kamilaaa!"
Zando terus meratap dan merintih dengan suara yang menyayat hati, dan memanggil nama Kamila, sambil memegangi foto gadis itu. Rasa rindu dan khawatir yang berlebihan, juga rasa bersalah yang begitu dalam, bercampur menjadi satu, terus menggerogoti jiwanya.
Hingga akhirnya karena tidak tahan melihat putra satu-satunya terpuruk, Mama Zeya dan Papa Daniel berniat membawanya ke psikiater.
"Mama, kenapa membawa abang ke tempat seperti ini, sih? Abang masih waras, Ma!"
"Sudahlah, Bang! Abang harus bangkit. Mama yakin gadis itu pasti tidak menginginkan Abang seperti ini," tutur Mama Zeya.
"Apa Abang tidak malu, kalau suatu saat ketemu dengan Kamila, tapi kondisi Abang seperti ini, hemmm?" timpal Papa Daniel.
"Tapi, Pa?"
"Tidak ada tapi-tapian, Abang harus nurut sama mama," tegas Mama Zeya.
Akhirnya Zando menuruti papa dan mamanya mendatangi psikiater. Dan bersyukurnya kondisi kejiwaan Zando baik-baik saja. Dia hanya karena terlalu syok dan beban pikiran yang berlebihan, sehingga membuat Zando terkadang lebih banyak termenung dan menyendiri, atau kadang bertindak di luar nalar. Namun kata dokter, Zando membutuhkan pengawasan dan perhatian dari keluarga, agar tidak bertindak di luar kendali.
...*...
Bersamaan dengan itu, muncul statement di akun media sosial Shahnaz, yang memberitahukan bahwa antara dirinya dan Zando telah putus hubungan. Dia juga mengungkapkan alasannya putus, karena kesibukan masing-masing dan sulitnya membagi waktu antara pekerjaan dan urusan pribadi.
Shahnaz juga mengatakan bahwa dirinya tidak pernah hamil, apalagi menikah dengan Zando. Dia menambahkan bahwa Zando adalah pemuda yang baik dan sangat menghargai wanita, serta sosok mantan terindah yang membuatnya gagal move on.
Shahnaz berencana akan melebarkan sayapnya berkarier di luar negeri, seperti impiannya selama ini, agar bisa melupakan Zando.
Pernyataan Shahnaz di akun media sosialnya itu, tentu saja menimbulkan beragam komentar dari netizen. Sebagian ada yang menyayangkan putusnya hubungan mereka dan ada juga yang mendukung keputusannya.
Berita putusnya Zando dan Shahnaz, kembali menjadi tranding topik. Berbagai media berlomba-lomba memberitakan di laman media mereka masing-masing.
Tak terkecuali seseorang yang tengah menyaksikan berita tersebut lewat layar LED, yang terpampang begitu jelas di hadapannya.
...*...
.
.
.
absen saja..😁😁
jederrr... Ikhsan menjatuhkan minunan dan makanan yg berada di tangannya.. syok berat🤣🤣🤣
.. aahhh... lama lama aku demo beneran ini/Scream//Scream/