"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter ke-16 Buku Itu
“Tuk! Tuk! Tuk!” Aku mendengar suara pintu yang diketuk. “Tuk! Tuk!” Suara itu terus berlanjut.
“Siapa yang mengetuk pintu? Nggak mungkin Andra. Dia baru saja pergi. Lagi pula pintu itu tidak dikunci,” pikirku, lalu mencoba berdiri dalam keadaanku yang masih terasa pusing, berjalan keluar kamar, menuju pintu depan.
“Tuk! Tuk! Tuk!” pintu depan kos Andra kembali diketuk.
“Sebentar!” sahutku dari dalam, terus mendekati pintu.
Aku membukakan pintu depan rumah kos Andra. Seorang gadis berhijab berdiri di depan pintu. Gadis itu ialah Rani. Ia mengenakan jilbab berwarna merah dengan lipatan sederhana namun tetap elegan memadu dengan wajahnya yang anggun. Matanya yang memancarkan aura kelembutan menyambut tenang tatapanku, dan sebuah senyuman pun menghiasi momen saling tatap saat itu.
Aku mengalihkan pandanganku. Tiba-tiba saja bayangan Rani dengan laki-laki semalam, terlintas di pikiranku. Rasa sakit yang mulai ku lupa, kembali terasa di ketika itu. Gadis berhijab di depanku, seakan telah membawa kembali rasa sakit itu. Entah dari mana Rani bisa tahu alamat rumah kos Andra.
“Ada apa kamu kesini?” tanyaku tanpa menatapnya.
“Aku ingin tahu keadaanmu Fan,” jawabnya melihat wajahku semakin dekat, memperhatikan luka yang ada di alis kiriku. “Kamu baik-baik aja kan?
“Tadinya aku baik! sejak kau datang ke sini, semua jadi berubah!” ujarku berusaha memalingkan wajah.
“Kenapa kamu bicara seperti itu Fan? Apa aku ada salah kepadamu?
Saat itu aku mulai tak mengerti, entah bagaimana Rani menganggap perasaanku padanya dahulu. Setelah semua yang terjadi di malam itu, dia seakan-akan tak bersalah kepadaku sedikitpun.
“Sebaiknya kamu pergi saja dari sini! Aku ingin istirahat!” usirku sambil kembali menutup pintu.
“Tunggu Fan!” Rani menahan pintu dengan kedua tangannya. “Aku ingin bicara sama kamu!” pintanya dengan terus menahan pintu yang ingin aku tutup.
“Apa lagi yang mau kamu bicarakan Ran? Kita sudah berbeda! aku nggak ingin dituduh mengganggu rumah tangga orang!
“Rumah tangga mana yang kamu maksud Fan?
“Bukankah yang bersamamu semalam itu suamimu?” jelasku.
“Nggak Fan! Dia bukan suamiku. Aku belum menikah!” tegas Rani padaku. Wajahnya tampak sungguh-sungguh.
“Lalu dia siapa? teman lagi?
Rani hanya diam. Ia mengalihkan tatapannya dariku, bersandar ke sisi pintu.
“Lanjutkan hubunganmu itu Ran. Walau aku sangat mengharapkanmu, tapi aku tahu, aku bukan laki-laki yang tepat untukmu. Jangan hidupkan kembali perasaanku dengan kata-kata harapan seperti dulu. Lagi pula, Rani yang kulihat semalam, bukan Rani yang ku temui di sembilan tahun yang lalu. Rani di masa laluku, bukan dirimu. Rani itu telah tertinggal jauh di masa laluku, dan takkan pernah bisa ku temui lagi.
Rani kembali menoleh ke arahku. Matanya tampak berkaca-kaca. “Aku ingin menjadi Rani itu lagi. Rani yang selalu tersenyum membaca pesan darimu. Rani yang tak pernah bisa bertemu denganmu namun masih tetap ingin menunggu. Rani yang akhirnya hanya bisa bercerita dengan angin dan berharap pada malam,” Tubuh Rani melemah, tersandar ke pintu, dan perlahan tersimpuh di lantai.
“Aku ingin jadi Rani itu Fan! Rani yang kamu kenal sembilan tahun yang lalu. Aku mohon! Bantu aku!” sambungnya dengan suara serak dan bergetar. Air mata perlahan mengalir dari sudut matanya yang indah.
Hatiku menjadi luluh menyaksikan tetesan air matanya. Baru kali itu aku melihat air bening menggenangi kedua mata Rani yang indah. Mata yang selama ini ingin ku tatap, sangat redup hari itu.
“Fan, aku mohon! Jangan membenciku. Aku tahu, aku nggak seperti Rani yang dulu kamu kenali. Tapi aku terpaksa dengan semua ini! aku ingin mengakhiri apa yang telah merubah hidupku ini. Aku ingin pergi! Tapi siapa yang akan membantuku dalam pelarian ini?” Rani menghapus air mata yang jatuh silih berganti menimpa pipinya yang tampak sedikit cekung. Gadis yang ku kenali di masa SMA-ku dulu, terlihat kurus di hari itu.
“Saat aku melihatmu kemarin malam, aku jadi punya harapan untuk bisa kembali ke kehidupanku sebelumnya. Aku yakin, Tuhan telah membawamu kembali ke padaku untuk membantuku keluar dari kekangan ini. Ketika aku kembali bertemu denganmu, aku seakan menemukan cara hidupku yang lama hilang. Di dirimu, aku melihat doaku telah terkabul,” urai Rani menatapku dengan penuh harap.
“Apa yang terjadi padamu Ran?” tanyaku ingin tahu lebih dalam tentang apa yang sedang dialaminya. Ku kembali membukakan pintu yang hampir tertutup, duduk di sampingnya yang sedang tersimpuh di lebuh masuk rumah itu.
“Drrrt…!” Handphone bergetar di dalam tas jinjing kecil di tangan Rani. Iapun mengeluarkan handphone dari dalam tas kulit berwarna putih yang dibawanya. “Dia kembali mencariku,” ucapnya mengeluh melihat nama yang tertera di layar handphone miliknya, lalu mematikan handphone itu.
“Siapa yang menelponmu?” tanyaku heran melihat wajahnya yang berubah cemas.
“Laki-laki yang bersamaku kemarin malam. Namanya Miko, dia keponakan Ayahku. Kami telah bertunangan satu tahun yang lalu,” terang Rani kembali menatapku.
Aku menundukkan wajahku, semakin tak mengerti dengan apa yang diinginkan Rani. Dia telah bertunangan. Dia telah mengambil keputusan awal menuju sebuah ikatan besar. Entah bantuan apa yang ingin ia harapkan dariku.
“Aku nggak ingin menikah dengannya. Bantu aku lari dari Miko Fan!” sambung Rani berharap. Suaranya terdengar tegas dan penuh semangat.
Aku kembali menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Senyum penuh harap ku lihat terukir dari bibirnya yang indah. Ada impian baru yang terpancar lewat rona wajahnya. Impian yang ingin ia tumpangkan padaku di hari itu.
“Kemana aku akan membawamu?” tanyaku tak yakin dengan keputusannya, yang walau keputusan itu memberi semangat baru di hatiku. Meski aku sangat mengharapkannya masuk ke dalam kehidupanku, tapi kemana aku akan membawanya? sedangkan hidupku masih terlunta-lunta.
“Kemanapun! Yang penting jauh dari kota ini. Aku nggak ingin hidup dengan laki-laki yang nggak menghargai prinsip hidupku dan selalu memaksakan kehendaknya kepadaku. Dia bukan calon imam yang baik untukku. Dia nggak ngerti apapun Fan!
“Kenapa dulu kamu menerimanya Ran? Kalian sudah bertunangan, dan itu bukan hubungan yang biasa.
“Apa yang bisa ku lakukan di saat itu? seandainya kamu masih ada di saat itu, mungkin semua ini akan berbeda. Kenapa kamu tiba-tiba menghilang dari hidupku Fan?” Rani menatap dingin, menyampaikan keluhannya lewat tatapan itu.
“Aku kehilangan HP-ku. Tapi aku telah mencoba menghubungimu kembali, tapi nomermu nggak pernah aktif lagi,” jawabku menjelaskan kemalangan yang menimpaku di sembilan tahun lalu, dan menceritakan semua yang terjadi padaku selama di Pekanbaru.
“Kenapa nomermu nggak bisa dihubungi lagi?” tanyaku di akhir ceritaku.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,