Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan Pertama
Makan malam –, atau lebih tepat disebut kencan mereka di luar untuk pertama kalinya setelah satu tahun pernikahan. Binar cerah terlihat jelas di sorot mata Abimanyu, senyum tipis tidak lepas di wajah tampannya.
Namun, berbeda dengan Infiera yang terlihat biasa saja. Wanita itu bahkan hanya fokus pada ponselnya sepanjang perjalanan. Fiera sedang membahas beberapa hal di grup chat miliknya, yang beranggotakan teman-teman sekelasnya. Selain itu, dia juga sedang bertukar pesan dengan Kanza, salah satu editor bukunya.
“Kamu mau makan apa?” tanya Abimanyu setelah beberapa saat, dia memecah keheningan terlebih dahulu karena menyadari kalau istrinya terlalu sibuk dengan benda pipih di tangannya.
Tidak ada jawaban, Fiera tetap menunduk pada ponselnya.
Menyadari tidak ada jawaban dari sampingnya, Abimanyu menoleh sekilas sebelum dia kembali fokus ke jalanan di depannya.
“Fiera, kamu mau makan apa?” tanya Abimanyu dengan suara sedikit lebih keras, hingga menarik perhatian gadis cantik berlesung pipi di sampingnya.
“Eh, ya? Apa?” Fiera balik bertanya karena dia tidak mendengar dengan jelas pertanyaan Abimanyu.
Abimanyu menghela napas pelan untuk meredakan perasaan jengkel yang tiba-tiba muncul. Bukan karena Infiera yang mengabaikan keberadaannya, tapi wanita itu sama sekali tidak terlihat antusias untuk makan malam bersamanya.
Apa itu karena pria yang ditemuinya sebelum mereka berangkat?
Akan tetapi, Abimanyu juga tidak bisa menunjukkan perasaan jengkelnya secara langsung. Jadi, dia hanya mengulang pertanyaannya, “Kamu mau makan di mana?” tanyanya dengan suara pelan.
“Emm ... Aku engga tau.” Fiera terlihat berpikir. Selama ini dia sering maka di warteg, tapi, kan, sekarang dia sedang bersama dengan Abimanyu. Belum tentu suaminya menyukai hal itu. mengingat, selama ini Abimanyu selalu makan makanan sehat jika di rumah. “Mas saja yang pilih. Aku engga tau tempat yang enak di mana.”
Enak menurutnya, belum tentu menurut Abimanyu. Dia memilih untuk menyerahkannya saja pada pria itu.
Abimanyu terlihat berpikir. Ini adalah kencan pertama mereka. Abimanyu harus membawanya ke tempat yang bagus, sudut bibirnya terangkat ke samping sedikit saat menyadari sebuah tempat yang menurutnya bagus.
“Baiklah,” ucap Abimanyu menambah kecepatan mobilnya saat mereka terlepas dari kemacetan yang menghambat mereka selama beberapa menit.
45 menit perjalanan mereka habiskan. Abimanyu menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Pria itu menoleh ke sampingnya, ternyata Infiera masih saja sibuk dengan ponselnya.
Masa iya gue harus jadi ponsel untuk mendapatkan perhatiannya? Gumam Abimanyu dalam hati, lalu melepaskan sabuk pengamannya. “Kita sudah sampai.”
Infiera yang sedang menunduk mengangkat kepalanya dan menoleh pada Abimanyu. “Eh? Sudah sampai, ya?”
Terlalu seru bertukar pesan dengan editornya membahas buku yang akan diterbitkan, Fiera sampai lupa kalau dirinya sedang bersama dengan Abimanyu.
“Maaf, aku harus membalas pesan dari teman tadi.”
Lagi-lagi, Abimanyu tidak bisa marah. Dia hanya mengangguk dan berkata, “Ayo, kita masuk.”
Fiera mengangguk dan segera melepaskan sabuk pengamannya, lalu mengikuti Abimanyu yang sudah lebih dulu turun dari mobil.
Wah!
Fiera baru menyadari ke mana Abimanyu mengajaknya makan malam. Ternyata, mereka datang ke sebuah restoran yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Fiera pernah melihat beberapa temannya yang datang ke sana melalui akun instagram, karena tempatnya memiliki spot foto yang menarik.
“Ayo, masuk. Mas yakin kamu akan suka tempatnya.”
Fiera hanya tersenyum tipis dan mengikuti Abimanyu untuk masuk. Abimanyu menghentikan langkahnya sejenak. “Tunggu di sini.”
Abimanyu melangkah kembali untuk menghampiri pelayan yang berdiri di dekat pintu masuk. Suaminya itu berbicara yang entah apa, karena Fiera sama sekali tidak bisa mendengarnya dari tempatnya berdiri saat ini.
Setelah beberapa saat, Abimanyu kembali menghampiri. “Ayo, kita naik ke atas.”
Fiera hanya menurut saja, mengikuti langkah suaminya karena ini adalah pertama kalinya dia datang ke tempat seperti itu. Sebelumnya, jangankan bermimpi untuk datang ke tempat seperti itu, menginginkannya saja tidak, karena dirinya sadar ada yang lebih penting dari sekedar bersenang-senang, yakni melanjutkan kuliahnya.
Walaupun pada akhirnya dia melanjutkan kuliah dengan nyaman, tanpa harus memikirkan biayanya, tapi Fiera harus membayarnya dengan hal yang lebih besar, yaitu hidupnya, kebebasannya, dengan menyetujui pernikahannya bersama Abimanyu.
Lamunannya buyar, saat Abimanyu tiba-tiba menggenggam tangannya dan menarik Infiera menuju ke sebuah meja yang berada di dekat pagar pembatas. “Lihat, Fier, bagaimana menurutmu? Indah, kan?”
Infiera memperhatikan ke sekelilingnya. Dia baru menyadari kalau mereka kini berada di lantai empat, dan dirinya bisa melihat jelas jalanan kota Jakarta yang selalu sibuk setiap waktu.
“Wah, apa kita sungguh masih di Jakarta?” tanya Fiera, pandangannya matanya masih lurus ke arah depan. Cahaya lampu dari kejauhan yang terlihat seperti taburan bintang yang berkilau.
“Tentu, kita hanya berkendara kurang dari satu jam dari kampus. Mana mungkin berada di Bandung.” Abimanyu tersenyum, berniat menggoda istrinya, tapi sayangnya wanita itu malah mengabaikan, karena terlalu terpesona dengan pemandangan di depannya.
“Mas, fotoin aku, ya? Aku mau kirim fotonya sama Hilman.” Hilman adalah adik kedua Infiera yang berada di Bandung.
Abimanyu tersenyum senang dengan antusiasnya sang istri. Dia menerima ponsel dari wanita itu dan melangkah mundur, untuk membuat jarak, supaya bisa memotret istrinya dengan lebih leluasa.
“Ayo, bersiap.”
Fiera merapatkan tubuhnya ke arah pagar pembatas, berdiri menyamping dengan wajah yang menghadap ke arah suaminya, laku bola matanya menatap ke arah atas, seolah dia sedang melihat ke langit.
Abimanyu yang memegang kamera juga bersiap untuk mengambil gambar istrinya. Namun, saat fokus kamera sudah pas. Dia malah terpesona dengan kecantikan gadis yang ada di hadapannya. Senyumnya yang begitu lebar terlihat begitu tulus. Fiera bahkan tidak bisa menutupi kekagumannya tadi saat melihat pemandangan di bawah sana.
Sejak kapan dia terlihat begitu cantik?
“Mas, bagaimana? Sudah?”
“Ah, ya, bentar... satu, dua... Oke!”
“Bagaimana hasilnya?” tanya Fiera, melangkah mendekati Abimanyu.
“Cantik,” puji Abimanyu tanpa sadar. Pandangannya terpatri pada wajah cantik yang kini berada di depannya.
“Coba lihat.” Fiera mengambil ponselnya begitu saja dari tangan Abimanyu. Dia melihat hasil foto dari pria itu dan senyumnya semakin lebar saat dia merasa puas dengan hasilnya. “Ayo, Mas, kita foto bareng. Mumpung pemandangannya bagus dan di sini juga cukup sepi.”
Fiera berbalik, membelakangi Abimanyu dan mengarahkan ponselnya ke atas, supaya bisa menangkap gambar mereka berdua dan juga pemandangannya. “Mas, majuan dikit, engga kelihatan.”
Abimanyu menurut, dia maju satu langkah. ”Cukup?”
“Dikit lagi, Mas, itu yang bagian belakangnya ga kelihatan kalau mas di sana.”
“Di sini?”
“Bukan ke sini, di bekalangku. Mas berdiri aga ke kiri.”
“Gini, kan?” Abimanyu sejajar dengan Infiera, tepat di belakangnya. Namun, hal itu malah membuat pria tidak terlihat, karena tubuhnya lebih tinggi dari wanita di hadapannya.
“Kalau kameranya aku angkat lagi. Akunya yang ga keliatan.”
Fiera masih tidak puas dengan sudut pengambilan gambarannya.
Mendengar protes istrinya, Abimanyu semakin mendekat kepada Infiera. Akan tetapi, tiba-tiba tangannya memeluk leher wanita itu, Abimanyu menunduk dan menempelkan pipinya di pipi istrinya. “Begini, kan?”
Fiera terkejut karena Abimanyu tiba-tiba memeluknya dari arah belakang. Pipinya yang kini saling menempel, membuatnya tidak bisa bergerak. “Ayo, foto.”
Fiera tiba-tiba kehilangan konsentrasinya karena posisi mereka yang begitu dekat. Menoleh sedikit saja, Abimanyu sudah bisa menciumnya.
“Mas!”