Rena Agnesia merasa sial saat tertimpa musibah, namun takdir itu mengantarkannya bertemu Jojo Ariando, pangeran tampan yang membuat hatinya meleleh.
Rena menjalin cinta jarak jauh dengan Jojo, seorang pria tampan nan dingin yang dikelilingi banyak wanita karena talentanya dalam pengobatan herbal.
Akankah mereka bersatu setelah konflik yang terus menghalangi cinta mereka? Mampukah Jojo memantapkan pilihan hati ke sosok Rena Agnesia di saat seorang rival berat hadir membayangi?
Saksikan romansa mereka hingga puncak manis yang didamba setiap insan di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardi Raharjo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Godaan
"Na, nanti pulang kerja, mampir dulu ke warung bu Darti. Tolong belikan yang ada di daftar ini. Awas kalau salah, kamu harus kembali ke sana lagi", perintah bu Sri yang juga akan berangkat bekerja.
"Duh!", lirih Rena setelah melihat daftar rempah dan rimpang yang sering keliru dipilih Rena.
Terpaksa, ia pun memasukkan daftar itu kedalam totebagnya dan menaiki sepeda listriknya.
Sesampainya di salon, wajah Rena masih nampak kesal.
"Pagi Rena", sapa Abdul saat gadis itu tengah menyapu area parkir.
"Eh, pagi pak Abdul", sahut Rena karena formalitas, tanpa melihat ke wajah Abdul.
"Jutek amat balesnya. Mau kutraktir es krim coklat mede lagi? Biar mood kamu baikan", tawar Abdul, mencoba mengajak kencan Rena.
"Eh, ini kan masih pagi pak. Kafenya juga belum buka", sahut Rena sembari melanjutkan bersih-bersih.
"Ya nanti Na, pulang kerja", ujar Abdul yang nampak bahagia.
"Em, saya disuruh belanja ibu nanti sore. Ngga usah deh pak. Terimakasih tawarannya. Saya permisi masuk terlebih dahulu", jawab Rena, tak ingin menambah masalah meski ia tertarik dengan es krim coklat mede.
Tini melihat Rena yang masuk terburu-buru pun kepo.
"Kamu kenapa Na?", Tini melihat Rena terlihat gugup.
"Ngga apa-apa Tin", elak Rena sembari menata facial bed karena ada pelanggan yang sudah booking layanan spa pagi ini.
"Iya kah?", Tini mengamati gerak gerik Rena dan merasa ada yang aneh.
"Eh, apa itu di jarimu?", heran Tini, tak pernah melihat Rena memakai cincin.
"Oh, cuma cincin yang kubeli di bazar buku kemarin", Rena dengan cepat mencari alasan.
"Kok aku baru lihat? Bazarnya kan sudah lewat, bulan lalu kan?", Tini mengingat-ingat dan yakin dengan perkiraannya.
"Iya, belum sempat pakai. Kepo aja ih", protes Rena yang masih mencoba menyembunyikan hubungannya dengan Jojo.
"Masa sih? Coba lihat!", ujar Tini sembari mendekati Rena.
"Eits, kepo!", Rena enggan menunjukkan cincinnya.
"Oh, curiga aku. Itu pasti dari si Jojo pacarmu itu kan", tebak Tini, sontak membuat Rena terdiam sejenak.
"Mana ada, aku beli sendiri kok", Rena masih mencoba mengelak.
"Kalau cincin biasa, kenapa aku ngga boleh lihat?", Tini jelas merasa janggal.
"Itu, nanti kamu ambil lagi", Rena beralasan sembari melangkah ke lantai dua.
Alih-alih menyerah, Tini malah menguntit Rena dari belakang.
"Apaan sih Tin? Selesaikan tugasmu itu loh", ujar Rena, risih dikuntit.
Tanpa bicara, Tini meraih tangan Rena dan melihat cincin perak berkilau itu.
"Jojo dan Rena", ukiran itu membuat Tini menyeringai.
"Nah, ketahuan kan. Hayo, siapa itu Jojo? Ngga mungkin Jojo Ariando itu kan?", cecar Tini begitu penasaran.
"Apa sih Tin? Ngga penting ah!", elak Rena.
"Semakin mengelak, berarti memang benar. Tapi, bagaimana kamu bisa dapetin cowo itu? Kamu kan kuper sepertiku", ejek Tini.
"Enak aja, kamu kali Tin yang kuper. Aku kan up to date meski tampilannya begini", protes Rena.
"Tadi katanya beli, ngga mungkin ada namanya kalau ngga custom dulu", Tini mencoba membongkar kebohongan Rena satu per satu.
"Iya, custom. Terus apa? Udah ah, itu ada pelanggan, bukain gih", ujar Rena merasa jengah.
Saat melayani pelanggan, Rena sedikit menjauh dari Tini agar berhenti ditelisik. Dasar sedang apes, Rena mendapat pelanggan mak comblang.
"Hm, tangan kamu halus sekali mbak", ujar pelanggan yang tengah Rena pijat.
"Oh, iya bu, setiap hari luluran", jawab Rena. Sebenarnya bukan sengaja luluran, melainkan karena setiap pekan ia selalu pegang layanan pijat spa. Otomatis tangannya pun terkena lulur.
"Sudah nikah mbak?", pelanggan itu kembali bertanya.
"Belum bu", jujur Rena.
"Jadi menantuku saja mbak, anakku ganteng loh", ujar perempuan itu, sontak membuat pijatan Rena terhenti.
"Bagaimana mbak? Mau ya jadi menantuku", tawar pelanggan itu seraya mengambil ponsel di dalam tasnya di samping ranjang.
"Em, saya belum ingin nikah bu", jawab Rena sembari kembali memijat punggungnya.
"Ini loh anak saya, ganteng kan?", ucap pelanggan itu seraya menunjukkan foto pria berusia 25 tahun menggunakan jas putih, seolah tidak mendengar penolakan Rena.
"Dia lulusan magister manajemen loh. Nanti dia akan pegang anak perusahaan saya. Gimana?", nampak pelanggan itu begitu antusias menjadikan Rena sebagai menantu.
"Oh, engga bu, terimakasih. Putra ibu tampan dan berpendidikan. Jadi, sebaiknya menikah dengan yang sederajat. Saya tidak pernah kuliah bu", jawab Rena untuk menolak secara halus.
"Halah, nanti kamu bisa kuliah setelah menikah. Pasti kalian berdua akan sangat serasi", pelanggan itu bahkan tak mempermasalahkan latar belakang pendidikan Rena. Namun, itu malah membuat Rena curiga.
"Em, tidak bu, terimakasih tawarannya", jawab Rena yang tak ingin dijadikan pembantu kalau strata mereka terlalu jauh berbeda.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kuberi kartu namaku. Hubungi secepatnya kalau kamu berubah pikiran ya mbak. Sayang sekali kalau secantik dan semulus ini engga segera menikah", ujar pelanggan itu.
Rena hanya menjawab sedapatnya saja, memang tak tertarik dengan tawaran yang terlalu menggiurkan. Ia sudah berulang kali tertipu investasi bodong yang menawarkan keuntungan besar tanpa harga sepadan. Ia pun beranggapan, jika pun benar pelanggan itu kaya, ia hanya akan diinjak karena strata mereka terlalu berbeda.
Siang itu, Rena dan Tini makan siang bersama saat istirahat.
"Hufh, hari ini banyak sekali pelanggan ya Na", keluh Tini yang nampak sedikit pucat karena memijat dua pelanggan sedari pagi.
"Iya Tin, pundak dan lenganku pegal-pegal", Rena pun merasakan hal yang sama. Sebenarnya Rena kuat memijat sampai empat orang sekali pun jika moodnya sedang baik-baik saja. Namun, sejak pagi sampai siang, ada saja yang membuat moodnya terus turun.
"Nih, es krim coklat mede buat kalian", tiba-tiba Abdul membawa dua cup es krim kesukaan Rena.
"Wah, terimakasih pak Abdul", ucap Tini begitu kegirangan. Bukan karena es krimnya, melainkan karena perhatian Abdul. Meski ia tahu Abdul melakukan ini semua untuk Rena, Tini tutup mata saja dan berhayal ini memang untuk dirinya.
"Terimakasih pak", ucap Rena, tak segera mengambil es krim itu, menunggu Abdul pergi.
"Ayo Na, dimakan es krimnya. Hari ini banyak yang ambil spa kan? Pasti kalian lelah", ucap Abdul yang memantau transaksi melalui aplikasi pos online di ponselnya.
"Iya pak, capek banget", bukan Rena yang menjawab. Tini lah yang menyahut ucapan Abdul, nampak wajahnya cemburu. Rena di samping Tini bahkan hanya tersenyum.
"Hufh, sudah lah, habiskan dan istirahat lah. Khusus hari ini, kalian boleh istirahat 90 menit", Abdul memberi keringanan kepada kedua pegawainya.
"Yee, terimakasih pak Abdul", lagi-lagi hanya Tini yang menyambut ucapan Abdul.
Pria itu pun berbalik, meninggalkan kedua pegawainya yang sedang asyik menikmati makan siang di bawah rindangnya pohon.
"Rena Rena. Kapan kah kamu mau menerima cintaku?", lirih Abdul sembari mengayuh sepedanya.
Tini yang asyik menikmati es krimnya, melihat Rena makan sembari melamun.
"Kamu kenapa lagi sih Na? Kalau ngga mau, sini, biar kuhabiskan es krim itu", ujar Tini, sontak menyadarkan Rena dan menarik es krimnya, menjauh dari tangan Tini.
"Ciye, posesif amat. Es krim pak Abdul tuh", Tini menggoda Rena. Benar-benar cinta segitiga layaknya dunia fiksi di novel dan sinetron.