Azzam tidak menyadari bahwa wanita yang ia nikahi bukanlah kekasihnya, melainkan saudara kembarnya.
Sejak kepulangannya dari Kanada, sebenarnya Azzam merasa ada yang aneh dengan kekasihnya, ia merasa kekasihnya sedikit berubah, namun karena rasa cintanya pada sang kekasih, ia tetap menerima perubahan itu.
Bagaimana jika suatu saat Azzam mengetahui yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shangrilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah foto
Happy reading..
Zura menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. "Mas," panggil Zura.
Tangan Azzam terangkat untuk mengusap pipi Zura dengan lembut. "Iya sayang," jawab Azzam.
"Kamu mau berjanji?"
Azzam mengernyitkan dahinya. "Janji?"
"Iya janji," jawab Zura.
"Janji apa?"
"Janji bahwa apapun yang terjadi kamu nggak akan ninggalin aku."
Azzam semakin mengeratkan pelukannya. "Tanpa kamu minta pun, aku tidak akan ninggalin kamu, sayang. Kamu adalah istriku, belahan jiwaku. Kamu adalah wanita yang aku pilih untuk menemani seumur hidupku,"
Zura menatap Azzam dengan penuh cinta. "Makasih, Mas." ucap Zura.
"Aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan mencintai wanita lain selain kamu," ucap Azzam terdengar sangat tulus di telinga Zura. "Tapi-" Azzam menggelantungkan kalimatnya.
"Tapi apa, Mas?" tanya Zura penasaran.
"Tapi jika aku sampai melihatmu bersama pria lain. Maka janjiku selesai,"
Zura menggeleng dalam dekapan Azzam. "Mana mungkin aku akan berbuat seperti itu, Mas. Sedangkan kamu adalah sosok imam yang baik bagiku,"
"Hati manusia bisa berubah kapan saja. Tapi aku harap hatimu tidak akan berubah sampai kapanpun, sampai maut yang memisahkan kita,"
"Aku tidak akan berubah, Mas."
"Dan sekarang, kamu yang harus berjanji. Janji bahwa kamu tidak akan ninggalin aku," pinta Azzam.
Zura terdiam. "Bukan aku yang ninggalin kamu, mas. Tapi kamu yang akan ninggalin aku jika kamu tahu yang sebenarnya," batin Zura.
"Sayang," panggil Azzam karena Zura tak kunjung meng-iyakan permintaannya.
Zura tersenyum simpul. "Iya Mas. Aku janji nggak akan ninggalin kamu apapun yang terjadi."
Hujan pun datang, seolah menjadi saksi atas janji yang mereka ucapkan satu sama lain.
Di tengah keheningan malam yang semakin larut, suara rintik hujan yang jatuh menambah suasana tenang di kamar Azzam dan Zura. Keduanya terbaring berdampingan di bawah selimut tebal, menikmati kehangatan bersama. Cahaya lampu tidur yang remang-remang menambah kesan romantis di antara mereka berdua.
Azzam menoleh memandang Zura dengan penuh kasih, meraih tangan halusnya dan menggenggamnya lembut. "Hujan selalu membawa kesan magis, ya?" bisik Azzam dengan suara serak karena kantuk.
Zura mengangguk, matanya yang sayu menatap langit-langit kamar, "Iya, seperti membawa kita ke dunia lain yang lebih damai," jawabnya lirih. Dia membalas genggaman tangan Azzam, merasakan kehangatan yang menenangkan dari sentuhan itu.
Di luar, hujan semakin deras, namun di dalam kamar, kedamaian semakin terasa. Mereka berdua, di tengah kesibukan dunia yang tak pernah berhenti, menemukan oasis kecil mereka sendiri, tempat di mana hanya ada mereka berdua, hujan, dan rasa syukur atas kebersamaan yang terjalin di antara detik-detik yang berlalu.
Azzam hampir terlelap, namun deringan handphone kembali membuatnya terjaga. Azzam melonggarkan pelukannya pada Zura, dengan gerakan pelan supaya tidak membangunkan sang istri.
Dengan hati-hati Azzam menarik tangannya dari bawah selimut, berusaha keras agar Zura tidak terbangun. Cahaya dari handphone yang terletak tidak jauh dari bantal mereka memecah kegelapan kamar. Dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Azzam meraih handphonenya dan membuka pesan masuk.
Matanya menyipit membaca nama pengirim, Baim. Sebuah foto muncul di layar, menunjukkan Baim dan beberapa teman lama Azzam yang sedang tertawa di sebuah cafe yang familiar.
"Masih nggak pengen nyusul kesini?" pesan selanjutnya dari Baim.
"Nggak." balas Azzam.
"Padahal ada yang mau aku tunjukin ke kamu,"
Azzam mengernyitkan dahinya dan mengetik balasan. "Apa?"
Azzam beringsut duduk, tak lama kemudian sebuah foto dari Baim ia terima kembali, namun foto yang kedua ini berhasil membuatnya terkejut.
Azzam menggenggam erat ponsel di tangannya, matanya melebar tak percaya saat melihat foto yang baru saja masuk dari Baim. Di layar terpampang jelas wajah Zahwa, istrinya, namun yang membuatnya terkejut adalah ada wanita lain yang wajahnya serupa persis dengan Zahwa, duduk berdampingan dengan istrinya. "Ini tidak mungkin," gumamnya pelan.
Dia segera memperhatikan setiap detail pada foto itu, mencari tanda-tanda yang bisa membuktikan bahwa foto tersebut adalah hasil editan. Namun semakin lama dia memandangi, semakin jelas bahwa tidak ada ketidakwajaran dalam pixel atau tanda editan di sana. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Azzam, detak jantungnya semakin kencang.
Azzam duduk terpaku matanya masih memandang layar ponsel yang masih menyala. Foto yang baru saja diterima dari Baim, sahabatnya, membuat jantungnya berdegup kencang. Zahwa, istrinya, terlihat sedang duduk di sebuah kafe bersama seorang wanita yang memiliki wajah serupa dengannya.
Dengan tangan gemetar, Azzam memperbesar gambar itu, memastikan apa yang dilihatnya benar. Kedua wanita itu tertawa, memegang cangkir kopi, seolah-olah mereka berbagi rahasia yang hanya mereka yang tahu.
"Apa ini? Kembaran Zahwa?" bisik Azzam pada dirinya sendiri, rasa terkejutnya bercampur dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Dia tidak pernah mendengar Zahwa berbicara tentang memiliki saudara kembar atau bahkan saudara perempuan.
Pikirannya melayang pada semua percakapan yang pernah mereka bagi, mencari tahu apakah pernah ada petunjuk yang dia lewatkan. Azzam mengambil ponselnya, mengetik pesan cepat kepada Baim, meminta penjelasan lebih lanjut tentang situasi yang terlihat dalam foto itu.
Namun, sebelum dia sempat mengirimkannya, ponselnya berdering.
"Lihatlah dengan matamu sendiri, Zam." isi pesan Baim terlihat serius.
Azzam membuka aplikasi pesan dan mengetik dengan cepat, "Baim, di mana kamu mendapatkan foto ini? Apakah kamu yakin ini Zahwa dan... dan siapa wanita yang mirip dengannya itu?"
Tidak lama kemudian Baim membalas, "Dari Rafa noh,"
Azzam kemudian menoleh ke arah Zahwa yang masih terlelap di sampingnya, nafasnya teratur tanda ia masih terlelap dalam tidurnya. Dia mengamati wajah sang istri, mencari-cari perbedaan apa pun yang bisa membedakan antara istrinya dan wanita di foto itu. Namun, semakin lama dia menatap, semakin dia yakin bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, Azzam menggenggam erat ponselnya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Bagaimana mungkin? Apakah ada kemungkinan Zahwa memiliki kembaran yang tidak pernah dia ceritakan? Atau, apakah ada sesuatu yang lebih gelap yang belum dia ketahui?
Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan dan kemungkinan. Apakah memang ada kembaran Zahwa yang tidak pernah dia ketahui? Atau apakah ada sesuatu yang lebih gelap sedang berlangsung? Seribu satu teka-teki berputar dalam benaknya, mencari jawaban yang mungkin bisa menjelaskan situasi yang tidak masuk akal ini.
"Dari mana Rafa mendapatkan foto itu?"
"Makanya nyusul kesini biar jelas." balas Baim.
Azzam menghela napas, ia berfikir sejenak sebelum mengambil keputusan apakah dirinya harus menyusul ke cafe atau tidak. Kalau mau menyusul ke cafe bagaimana jika mertuanya atau istrinya bertanya? Lagi pula jarak cafe dan rumah ini cukup jauh.
Tapi kalau tidak menyusul sekarang, dirinya tidak akan bisa tidur karena rasa penasaran.
"Besok saja," balas Azzam. Pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak menyusul teman-temannya. Ia juga tidak inginbmembangunkan sang istri yang tampak lelah. Dia mematikan layar handphone dan kembali memeluk Zura, namun pikirannya terus melayang ke foto yang baru saja dilihatnya.
Dalam diam, Azzam berusaha menenangkan diri, namun rasa ingin tahu dan kegelisahan terus menggelayuti pikirannya. Dia memutuskan untuk menunggu sampai besok pagi, saat sang istri bangun maka ia akan bertanya tentang foto yang baru saja ia terima dari sang sahabat.
To be continued.