Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahanan Luar
Sementara itu, Jena masih menunggu Siti Adawiyah berkemas.
"Jangan mengulur waktu. Engkau baru beberapa hari disini, mana mungkin engkau memiliki banyak barang pribadi."
"Ayah, bukankah Khalifah Taimiyah adalah temanmu? Mengapa engkau mengkhawatirkan anakmu sendiri didalam perlindungan teman baikmu." Siti Adawiyah masih mempertanyakan alasan Jena membawanya pulang.
Jena menyatakan alasannya. "Engkau lihat sendiri tadi, orang yang engkau percaya sudah tidak sanggup lagi melindungi dirimu. Bagaimana ayah bisa tenang meninggalkan kamu ditempat yang berbahaya ini?"
"Ayah, Panglima telah mengatakan kepadaku bahwa aku adalah takdirnya. Bukankah berarti aku adalah orang yang dianggapnya paling penting?" Siti Adawiyah menyebutkan hubungannya dengan Asrul, yang membuat Jena tidak habis fikir.
"Anak nakal! Bagaimana mungkin engkau menjadi orang yang paling penting bagi Panglima Jenderal Asrul? Engkau bahkan menjadi pencuci pakaiannya, membersihkan tempat tinggalnya, menyalakan tungku api untuknya, engkau tidak lebih hanyalah pelayan di matanya."
Muka Siti Adawiyah tampak cemberut. "Aku turun dulu, ada sesuatu yang akan aku ambil."
Jena ditinggalkannya sendirian, Siti Adawiyah turun dan duduk termenung sendirian.
Ketika Siti Adawiyah sedang duduk sendirian, dia melihat Surti sedang membawa tungku api. Sepertinya terlihat kebingungan mau membuang sisa pembakaran buang kemana.
"Sedang membawa apa tuh Surti? Sepertinya itu adalah tungku api milik Panglima. Itu tungku tempat Panglima membakar chip vidio kejadian peperangan di Jurang Neraka."
Siti Adawiyah terus mengawasinya, tidak lama kemudian Jenderal Kan'an berjalan mengikuti Surti.
"Waduh.. Sepertinya aku mengetahui niat Jenderal Kan'an ini."
Tidak salah lagi dugaan Siti Adawiyah. Jenderal Kan'an menghampiri Surti dan sepertinya mencari celah untuk mengambil sisa pembakaran itu yang tidak lain adalah barang bukti peperangan.
Jenderal Kan'an menegur Surti. "Surti. Sedang apa kamu? Sepertinya engkau mencari sesuatu?"
Surti sedikit terkejut melihat kehadiran Jenderal Kan'an.
"Owh, Jenderal. Iya nih, saya diperintahkan oleh Panglima untuk mengganti tungku api miliknya. Aku baru kali ini melakukan pekerjaan ini yang biasanya dilakukan oleh Siti Adawiyah. Karena Siti Adawiyah akan pulang bersama ayahnya, terpaksa aku yang menggantikan pekerjaannya.
Masalahnya saya tidak tahu harus dibuang kemana sisa pembakaran ini."
"Itu pekerjaan yang mudah. Izinkan saya membantumu." Jenderal Kan'an menawarkan bantuan.
Tanpa curiga sedikitpun terhadap Jenderal Kan'an, Surti segera menyerahkan tungku api itu kepada Jenderal Kan'an.
"Terimakasih Jenderal Kan'an, maaf telah merepotkan Jenderal."
Tidak lama setelah Jenderal Kan'an menghilang, Jenderal Kan'an kembali dengan membawa tungku api yang telah bersih dan diserahkan kepada Surti.
Siti Adawiyah masih mengawasi kejadian itu dan dia mengetahui dengan jelas apa yang telah terjadi. Jenderal Kan'an telah mendapatkan chip yang berisi video rekaman CCTV saat kejadian peperangan di Jurang Neraka.
"Ternyata sama saja, ternyata Jenderal Kan'an masih menyimpan perasaan curiga terhadap Panglima. Silahkan saja, saya yakin tindakan Panglima adalah tindakan yang benar dan Jenderal Kan'an akan mengetahui sendiri apa yang telah terjadi." Siti Adawiyah bergumam dalam hati.
Di ruangan rapat para Jenderal, seluruh Jenderal sedang mendiskusikan tentang peristiwa pembakaran barang bukti kejadian peperangan yang telah dilakukan oleh Asrul.
"Jadi, Panglima Jenderal Asrul telah membakar barang bukti itu?" Jenderal Usman meminta klarifikasi dari para Jenderal yang hadir saat kejadian.
Jenderal Ali memaklumi perbuatan Asrul. "Ya, benar. Memang kenapa? Apa yang bisa dilakukan oleh Jenderal Umar atas perbuatan Panglima? Sedangkan Khalifah saja tidak bisa berbuat apa-apa jika Panglima mengambil keputusan."
"Engkau jangan meremehkan Jenderal Umar. Beliau telah mengambil alih posisi Panglima selama dua puluh tahun sejak Panglima Jenderal Asrul telah tertidur di Jurang Neraka. Tentu saja kekuatannya sangat tinggi." Jenderal Usman memperingatkan Jenderal Ali.
"Tetap saja perbuatan Panglima sangat tepat. Beliau pasti telah mempertimbangkan hal ini dengan baik. Pasti ada alasan tertentu dibalik pelenyapan barang bukti." Jenderal Ali sangat mempercayai tindakan Asrul.
Sementara itu Jenderal Kan'an telah berada di ruangan makam Jenderal Abu Jahal.
"Kakak, engkau telah mengetahui bahwa seluruh prajurit keluarga Jahal telah tewas didalam peperangan Jurang Neraka. Aku menyaksikan sendiri pembantaian ini. Kedepannya, aku tidak akan membiarkan anggota keluarga Jahal mengalami hal yang serupa."
Di aula persidangan, Asrul bersama Jenderal Ali menghadap ajudan Khalifah Taimiyah untuk menerima titah dari Khalifah Taimiyah.
"Khalifah Taimiyah telah memutuskan bahwa Panglima Jenderal Asrul harus menjalani tahanan luar karena telah melenyapkan barang bukti kejadian peperangan di Jurang Neraka."
"Saya terima titah dari Khalifah Taimiyah." Asrul membungkukkan badannya dan menerima hukuman tersebut.
"Khalifah Taimiyah meminta kepadaku untuk menanyakan kepada Panglima. Apakah Panglima akan mengajukan pembelaan?" Ajudan Khalifah Taimiyah melanjutkan.
"Tidak perlu." Asrul menjawab dengan singkat.
"Jika tidak ada hal lain, aku pamit dulu. Aku akan melaporkan kepada Khalifah Taimiyah." Ajudan Khalifah Taimiyah pamit.
Setelah diruangan itu tinggal Asrul dan Jenderal Ali, Jenderal Ali bertanya kepada Asrul.
"Panglima, hingga saat ini engkau belum memberitahu kepadaku alasanmu melenyapkan barang bukti tersebut. Sekarang engkau telah dijatuhkan hukuman tahanan luar. Sebenarnya siapa yang sedang engkau lindungi?"
Asrul berterus-terang kepada Jenderal Ali. "Ada persekongkolan terjadi sebelum kejadian peperangan di Jurang Neraka. Jika aku tidak membakar barang bukti itu, sudah pasti keluarga Jahal akan lenyap tidak tersisa. Aku hanya dijatuhkan hukuman tahanan luar. Jika yang melakukannya orang lain, tentu saja akan melibatkan seluruh anggota keluarga."
"Aku sudah menduga hal ini. Ternyata benar. Yang aku tidak habis fikir, kenapa engkau masih ingin melindungi keluarga yang benar-benar telah memusuhi kamu?" Jenderal Ali menggelengkan kepalanya.
"Karena engkau telah mengetahui alasanku, engkau harus merahasiakan hal ini. Jangan sampai perbuatanku ini akan sia-sia." Asrul berpesan kepada Jenderal Ali.
"Tentu saja, Panglima. Aku sangat salut kepadamu. Terimalah hormat dariku." Jenderal Ali membungkukkan badannya.
Ketika Jenderal Ali hendak pergi, Asrul menahannya sebentar. "Jenderal Ali, aku adalah tahanan luar. Aku tidak bisa kemana-mana. Aku ada pekerjaan untukmu."
Jenderal Ali kembali menghadap. "Katakan saja, Panglima."
Asrul mulai mengatakannya. "Suku Alam Ruh telah bersekongkol dengan suku Iblis. Aku yakin mereka tidak akan berdiam diri. Sekarang engkau harus segera ke Pulau Es Utara untuk memantau apa yang sedang terjadi. Satu lagi. Apakah Siti Adawiyah dan tabib Jena telah pergi?"
Jenderal Ali menjawab. $Aku rasa mereka telah pergi. Ada satu hal yang saya curigai atas perbuatan tabib Jena. Sepertinya dia sedang merahasiakan sesuatu. Beliau begitu antusias untuk membawa pulang Siti Adawiyah. Kurasa ada hubungannya dengan hal ini."
Asrul menjawab. "Aku tau ini. Tugasmu hanya memantau pergerakan suku Alam Ruh di Pulau Es Utara."