NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kegigihan allan

Keriuhan dalam kamp militer mencapai titik didih. Di bawah tenda besar yang dihangatkan dengan cahaya redup, Jendral Fury mengintimidasi pasukannya, wajahnya sekeras baja. “Langkahmu harus tepat. Kesalahan sekecil apapun bisa berakibat fatal.”

Anak buahnya, tiga prajurit muda dengan wajah penuh ketegangan, berdiri tegak. Mereka saling melirik, tak ada yang berani memecah keheningan.

“Anda yakin, Jendral?” seorang prajurit bertanya dengan suara bergetar. “Mereka bisa saja melawan.”

“Dan itu akan menjadi kesalahan terbesar bagi mereka.” Jendral Fury mendekat, menghimpit prajurit itu dengan tatapannya yang tajam. “Allan tidak akan menghalangi kami.”

“Dia tahu lebih banyak daripada kita, Jendral. Kalau dia bercerita—”

“Jika dia bercerita, itu berarti dia harus dibungkam. Kita tidak punya waktu untuk ragu. Tangkap dia!” Suara Fury menggema, menambah tekanan di dalam tenda.

Prajurit itu menganggukkan kepala, meski terlihat ragu. “Baiklah. Kami akan segera—”

“Jangan ‘baiklah’! Lakukan saja!” Fury memotong, menyalakan bara api kemarahan dalam diri para prajurit itu. Mereka melangkah maju, bersiap untuk menjalankan perintah yang tak terelakkan.

***

Sementara itu, di sudut lain kamp, Allan meneliti perangkat alien yang ditemukan di Danau Elips. Mina, sahabatnya dan seorang teknisi berbakat, memperhatikannya dengan cemas.

“Al, pastikan kamu hati-hati. Jendral Fury tidak mempercayai kita,” Mina berbisik, wajahnya memucat.

“Dia tidak memiliki pilihan, Mina,” Allan menjawab dengan tenang, meski jantungnya berdegup kencang. “Apa yang kutemukan di sini lebih penting daripada sekadar kekuasaan pribadi. Ini tentang masa depan kita.”

“Kalau saja mereka mengizinkan kita bekerja sama...”

“Kita tidak bisa mengandalkan mereka. Waktunya akan datang ketika kita harus mengambil tindakan sendiri.” Allan menatap rumit perangkat itu. Cahaya biru berkilau samar dari konsol yang terhubung ke alat komunikasi alien.

Dengan penuh ragu, Mina bertanya, “Kau yakin alat ini bisa menghubungi mereka? Mereka... mereka mungkin berbahaya.”

“Risiko adalah bagian dari permainan ini.” Allan berusaha terdengar percaya diri. Namun, saat itu, suara langkah kaki mendekat menghentikan percakapan mereka.

Prajurit yang memimpin, dengan alur agresif, muncul di pintu tenda. “Allan! Di mana kau...?”

“Allan!” prajurit itu meneriakkan namanya, bergegas masuk dan memotong interaksi mereka. “Jendral memerintahkan—”

“Apa yang kau inginkan?” Allan berdiri, menjaga jarak di antara mereka.

“Kau harus ikut kami. Sekarang.”

“Kemana?” Allan bertanya, menyembunyikan kekhawatiran di balutan keyakinan.

“Ke Jendral. Dia ingin berbicara denganmu,” kata prajurit itu, suara keras dan tegas.

Mina menggenggam pergelangan tangannya dengan ketakutan. “Jangan pergi, Al! Dia ingin meringkusmu!”

Allan merenung sejenak. “Mina, aku akan baik-baik saja. Ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.”

“Dengar, aku tidak mau kehilanganmu!” Mina mendesak, wajahnya merona merah. “Dia bukan orang yang bisa dipercaya. Dia berbahaya.”

Tapi Allan sudah melangkah maju, siap menghadapi takdirnya. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus berani.”

Sebelum Mina bisa memprotes lebih lanjut, Allan memandang sang prajurit. “Ayo. Lead the way.”

***

Di dalam tenda Jendral Fury, suasana semakin menegangkan. Jendral memandang Allan dengan sorot mata tajam seperti serigala mengincar mangsanya.

“Ah, si jenius. Kau ternyata lebih cepat dari yang kukira.” Fury melipat tangan di depan dada, menyuruh Allan mendekat.

“Tidak perlu berkelit, saya di sini,” Allan menjawab tegas. “Ada apa?”

Jendral Fury memutar-mutar pena dalam tangannya, senyum dingin mengembang di wajahnya. “Ternyata, kau cukup cerdas untuk membongkar kerumitan ini. Namun cerdas saja tidaklah cukup.”

“Maksud Anda?” Allan merasakan getar di tenggorokannya, kesadaran akan bahaya yang mengancam.

“Aku tidak butuh kehadiranmu di sini. Jika kau tidak bisa bekerja sama, terpaksa aku harus meringkusmu,” Fury berkata, mendorong tekanan di ruangan itu.

Allan berusaha tampil tenang. “Apa yang kau rencanakan dengan teknologi ini? Ini bisa mengancam keselamatan kita semua.”

Fury tertawa kecil. “Keselamatan? Hanya yang kuat yang bertahan hidup. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangiku untuk mendapatkan kekuatan.”

Allan menghalangi jalanan pikirannya. “Dan jika informasi ini jatuh ke tangan yang salah? Apa yang kau lakukan?”

“Buat mereka bertanggung jawab.” Jendral Fury mendekat, tatapannya tajam seperti pedang. “Aku bos di sini.”

Allan berdiri tegak meski terintimidasi, hatinya berdebar. “Tapi kamu dan aku tahu, ini bukan hanya tentang kita.”

“Cukup! Ambil dia!” perintah Fury, mengubah suasana yang sudah tegang menjadi peperangan terbuka.

Anak buah Fury menyerbu ke arah Allan dan Mina. Allan tahu, ini saatnya menunjukkan siapa yang memiliki kendali nasib.

Allan berlari, menghindari tangkapan prajurit yang mendekat. Pelipisnya berdenyut dan otot-ototnya kencang, ia berusaha meraih konsol perangkat alien yang memancarkan cahaya biru.

“Mina, pergi! Sini tidak aman!” serunya, menolak satu prajurit yang berusaha menangkapnya.

Mina berlari ke arah pintu keluar, wajahnya pucat. “Allan, jangan!”

“Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambilku!” Allan menolak perintah rantai komando di sekelilingnya.

Satu prajurit menyergapnya dari sisi kanan, dan Allan berbalik, memukul tangan prajurit itu. Senjata yang dipegangnya terjatuh, dan dia memanfaatkannya untuk melawan balik. Namun, lebih banyak prajurit datang, mengepungnya.

“Dia berbahaya!” teriak salah satu prajurit lainnya. “Dia tahu lebih banyak dari yang kita kira!”

Mina menggertakkan gigi, berusaha menahan air matanya saat melihat Allan terdesak. “Tidak, Allan! Kita bisa berusaha mencari cara lain!”

Allan menemukan kesempatan, menghindar dan berlari ke arah console alien. “Mina! Ayo kita gunakan alat ini untuk berkomunikasi. Mungkin ada harapan.”

Jendral Fury mengamati dari jauh, kepuasan menghiasi wajah dinginnya. “Biarkan dia. Biarkan dia mempermalukan dirinya sendiri.”

Allan berhasil menyinkronkan pengaturan di konsol, tetapi detik-detik yang berharga berlalu dengan cepat saat prajurit mendekat lebih dekat.

“Bisa kau lakukan ini lebih cepat?” Mina berteriak, wajahnya berkerut penuh kecemasan.

“Jika aku bisa menghubungi mereka,” Allan menjawab sambil fokus, jarinya menari di atas tombol. “Ini semua untuk keselamatan kita!”

Suara langkah-langkah berat mendekat, prajurit-prajurit Fury bersiap menyerang. Allan menekan tombol terakhir. Cahaya dari konsol membalas dengan semburan intens, menampakkan gambaran bayangan samar di layar.

“Siapkan diri kalian!” Allan berteriak, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin muncul.

Jendral Fury justru tersenyum sinis, tak mengira bahwa teknologi tersebut bisa mengalirkan lebih dari sekadar sinyal. “Diam! Kau hanya membuang-buang waktu!”

“Cukup, Fury!” seru salah satu prajurit yang bimbang. “Kita perlu memberi Allan kesempatan, kita tidak tahu apa yang dia lakukan!”

Tiba-tiba, dari layar muncul citra misterius. Bentuknya tidak jelas, namun pancaran cahaya biru itu memancarkan intensitas rasa ingin tahu yang meningkat di hati Allan dan Mina.

“Ini bukan hanya teknologi, Fury. Ini adalah sebuah pintu menuju masa depan,” Allan berani menyuarakan keyakinan meski ancaman terus mendekat.

“Menjauh!” Jendral Fury menggeram. “Tangkap dia!”

Ribuan mimpi dan harapan berbaur dalam satu momen saat cahaya dari layar merefleksikan kegundahan di wajah mereka. Allan berjuang, mendorong pintu-pintu ke masa depan terbuka. Pada saat bersamaan, Mina meraih tangan Allan.

“Mari kita pergi! Ini kesempatan kita!” dia seru, matanya penuh semangat.

Sebelum prajurit-prajurit dapat mengambil langkah, cahaya dari konsol mengeluarkan gelombang elektromagnetik yang memukau. Mereka seakan disentak oleh energi yang luar biasa.

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!