Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Utama
Kaivorn terbangun perlahan, seolah tenggelam dari mimpi yang tak berujung.
Cahaya matahari yang lembut menyusup melalui jendela kaca patri besar di dinding, menciptakan kilauan pelangi di sepanjang ruangan.
Siluet emas dan perak dari lambang keluarga Vraquos tampak berkilau dalam pancaran cahaya pagi, menambah keagungan pada dinding-dinding yang berlapis dengan mural pertempuran besar nenek moyang mereka.
Di dalam kamar megahnya, dekorasi serba mewah yang menandakan statusnya sebagai salah satu keturunan bangsawan tertua di kerajaan, Kaivorn perlahan menggerakkan kelopak matanya.
Tirai beludru merah darah yang menghiasi setiap sudut jendela melambai pelan, diterpa angin lembut dari luar.
Namun yang lebih memikat perhatian Kaivorn adalah suara lembut namun tegas yang memanggil namanya.
“Kaivorn, bangunlah, sayang…”
Suara itu seperti musik yang lembut di telinganya, menenangkan pikiran dan tubuh yang terasa berat.
Matanya terbuka perlahan, memperlihatkan sosok ibunya, Elandra, yang duduk di samping tempat tidur dengan senyuman penuh kasih.
Wajahnya yang anggun memancarkan keanggunan seorang wanita bangsawan, namun ada kekhawatiran yang tak tersembunyi di balik matanya yang biru seperti safir.
Gaun putih berlapis perak yang ia kenakan menambah aura keagungan, seperti dewi dari cerita-cerita kuno.
"Syukurlah kau bangun, putraku," ucap Elandra dengan suara bergetar, meski ada nada kekuatan di balik kata-katanya.
Di sisi lain, Raelion, kakak pertama Kaivorn, berdiri dengan sikapnya yang selalu tegas.
Rambut putihnya yang panjang tergerai, dan matanya yang tajam seperti elang memantau adiknya dengan sorot penuh disiplin.
Dia mengenakan jubah kebesaran swordsmaster keluarga Vraquos, dengan bordir lambang pedang berkilauan di bahunya.
"Kau bertindak gegabah, Kaivorn," suara Raelion terdengar tegas seperti palu yang menghantam anvil. "Kau hampir kehilangan nyawamu."
Kaivorn berusaha merespon, namun hanya napas berat yang keluar dari bibirnya yang pecah-pecah.
Kilasan-kilasan memori mulai kembali—pertarungan yang brutal, serangan di kastil, dan sosok pembunuh misterius.
Tubuhnya terasa remuk, seolah dihantam oleh badai tanpa ampun, namun pikirannya tetap tajam, berusaha menyusun kembali setiap detail.
Di dekat pintu, Mirelle, pelayan pribadinya, berdiri dengan tenang.
Rambut cokelatnya ditata rapi, menambah kesan elegan pada penampilannya yang sederhana namun anggun.
Meski matanya menatap Kaivorn dengan kelembutan, ketegangan di raut wajahnya sulit disembunyikan.
“Mirelle…” Kaivorn berhasil berbisik, suaranya serak dan lemah, seolah semua kekuatan telah terkuras.
Mirelle mendekat dengan langkah ringan, membungkuk anggun. "Tuan Muda, Anda membuat kami semua cemas," katanya dengan nada lembut, namun ada kegelisahan dalam tatapannya. "Apa yang sebenarnya terjadi di kastil?"
Sebelum Kaivorn sempat menjawab, ibunya, Elandra, berbicara lebih dulu, suaranya penuh kasih. “Tak peduli apa yang terjadi, yang penting kamu selamat sekarang.”
Namun Raelion tidak semudah itu terhibur. Wajahnya tetap keras, seperti batu karang yang dihantam ombak.
“Serangan di kastil bukanlah hal sepele." Ucap Raelion tegas. "Kita harus memberitahu Ayah secepatnya, ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”
Mirelle, yang merasakan ketegangan yang melingkupi ruangan, melirik Kaivorn dengan tatapan penuh perhatian.
“Izinkan saya memanggil pendeta untuk memastikan kondisi Anda, Tuan Muda. Istirahatlah dulu,” kata Mirelle lembut sebelum membungkuk dan perlahan meninggalkan ruangan.
Kaivorn menutup matanya sesaat, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan tempat tidur yang besar dan empuk.
Tiba-tiba, pintu besar yang dihiasi ukiran rumit dari emas murni terbuka, dan suara langkah lembut terdengar.
Kaivorn membuka matanya dan menatap sosok wanita cantik yang baru saja memasuki ruangan.
Cahaya matahari yang menembus jendela seakan memeluknya, membuat rambut pirangnya yang cerah bersinar seperti matahari terbit.
Jubah putih bersih dengan ornamen emas mengalir indah di tubuhnya, menandakan statusnya sebagai Saintess of Light—Franca.
Di belakangnya berdiri seorang pria tinggi dengan tubuh berotot, mengenakan armor emas yang dipenuhi dengan sihir suci.
Di punggungnya, pedang suci yang hanya dimiliki oleh Holy Knight tertinggi kerajaan, bersinar lembut seolah-olah terbuat dari cahaya murni.
Pria itu adalah Amon, Komandan Ksatria Suci dan pelindung kota suci Azzas, seorang legenda hidup yang biasanya hanya bisa didengar orang dalam kisah-kisah heroiknya.
Kaivorn berusaha bangkit, terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Saintess...?!!" ucapnya, suaranya sedikit bergetar, meski ia berusaha untuk tetap tenang.
Ruangan yang semula hangat tiba-tiba dipenuhi oleh aura suci yang berat, seperti kehadiran ilahi yang turun langsung ke dunia fana.
Elandra langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu menunduk dengan hormat, diikuti oleh semua yang hadir di ruangan itu.
Suasana penuh penghormatan dan kekaguman.
Dengan gerakan anggun, Elandra membungkukkan tubuhnya, diikuti oleh Raelion dan semua orang lainnya di dalam ruangan.
"Kehadiranmu adalah kehormatan besar bagi Vraquos, Saintess," Elandra, berbicara dengan nada penuh hormat.
Dia membungkukkan kepala, gestur yang jarang terlihat di kalangan bangsawan, menandakan betapa penting dan suci tamu yang sedang mereka hadapi.
Franca, Saintess of Light, berdiri di sana dengan tenang.
Kecantikannya tampak ethereal, seolah-olah tidak terikat oleh dunia fana.
Kulitnya pucat, bercahaya seperti mutiara, dan jubah putih bersih yang dikenakannya seakan mengambang di atas lantai marmer hitam.
Rambut pirangnya yang panjang berkilauan di bawah sinar matahari, memberikan kesan seolah-olah setiap helainya memancarkan sinar sendiri.
"Aku datang dengan pesan dari dewa," Franca berbicara, suaranya jernih dan beresonansi seperti lonceng perak yang dipukul lembut.
Kalimat itu mengambang di udara, menciptakan getaran yang terasa hingga ke inti jiwa.
Kaivorn merasakan atmosfer ruangan berubah seketika.
Elandra terlihat sedikit bingung, meski tetap mempertahankan sikap penuh penghormatan.
"Pesan dari dewa...?" gumam Elandra pelan, sementara bibirnya bergetar sedikit.
Ada keheranan, namun jelas terlihat bahwa dia tahu betapa pentingnya hal ini.
Kaivorn, dengan otaknya yang selalu bekerja cepat, langsung menganalisis situasi.
"Pesan dari sang ?" Gumam Kaivorn dalam hati, mulai berpikir. "Ini bukan hal yang bisa dianggap remeh."
Dalam benaknya, Kaivorn mulai menghubungkan berbagai kejadian dan rumor yang tersebar di kerajaan Maestiammea.
Tentang pergerakan di perbatasan, pertanda alam yang aneh, dan kemunculan kelompok-kelompok dari kultus sesat yang fanatik.
Semua petunjuk itu berputar-putar dalam pikirannya, membentuk pola yang semakin jelas.
Dia tahu sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang mungkin akan mengubah arah sejarah kerajaan mereka.
Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, Franca menoleh dengan senyuman lembut ke arah Elandra.
"Bolehkah saya meminjam Tuan Muda Kaivorn Vraquos sebentar?" tanyanya sopan, namun nadanya mengisyaratkan bahwa ini bukan sekadar permintaan biasa.
Elandra tampak ragu sejenak, namun dia memahami kedudukan Saintess.
"Tentu, Saintess." Dengan sedikit anggukan, ia memberi isyarat kepada para pelayan dan Raelion untuk meninggalkan ruangan.
Gerakan mereka sunyi, seolah enggan mengganggu kehormatan yang mengelilingi Franca.
Saat suasana semakin sunyi, Kaivorn merasakan tatapan dari Amon, komandan ksatria suci, menembus dirinya.
Amon, dengan armor sucinya yang berkilauan dan ekspresi wajah yang tegas, seolah-olah bisa membaca setiap gerakan Kaivorn.
"Sir Amon?" Franca memanggilnya, suaranya sehalus sutra.
Amon mengangguk pelan, sebelum berjalan keluar ruangan dengan langkah berat namun penuh kehormatan.
Pintu besar di belakangnya tertutup dengan suara yang berat, membuat Kaivorn dan Franca kini hanya berdua dalam ruangan yang sepi, dibalut oleh ketegangan yang tak terlihat.
Tatapan Franca kini tertuju pada Kaivorn, penuh kelembutan dan harapan, namun juga sesuatu yang lebih dalam—sebuah keyakinan yang kuat.
Franca kemudian berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Divine Power, Silencer.”
Sekelibat cahaya melingkari mereka berdua, membentuk penghalang suara yang hanya bisa dirasakan oleh Kaivorn dan Franca.
Kaivorn menatap Franca dengan alis sedikit berkerut, merasa ada sesuatu yang janggal.
Tapi sebelum dia sempat bertanya, Franca melakukan sesuatu yang mengejutkannya.
Saintess itu tiba-tiba berlutut di hadapannya dengan begitu tulus.
"Hormat saya kepada anda, Pahlawan," kata Franca dengan suara yang begitu lembut namun penuh dengan rasa hormat yang tak terhingga.
Aura suci yang mengelilinginya semakin kuat, memutar di udara, seolah-olah kekuatan dari dunia lain hadir di sekitar mereka.
Kaivorn merasa terkejut, namun juga bingung. "Pahlawan? Apa maksudnya? Mengapa seorang Saintess, yang memiliki kedudukan begitu tinggi, berlutut di hadapanku?"
Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi dengan cepat dia menenangkan diri.
"Ini bukan waktunya untuk menunjukkan kebingungan," pikirnya. "Aku harus mendengarkan dan memahami apa yang sedang terjadi."
“Saintess,” Kaivorn memulai dengan nada yang tenang namun berwibawa, “aku merasa terhormat atas gesturmu, namun aku harus bertanya—apa maksud dari semua ini? Mengapa anda menyebutku pahlawan?”
Franca mendongak, menatap Kaivorn dengan mata yang memancarkan keyakinan yang mendalam.
“Tuan Muda Kaivorn, anda adalah yang terpilih. Seluruh takdir dunia ini bergantung padamu." Kata Franca, terasa begitu menenangkan. "Dewa telah memilihmu untuk menjadi pahlawan dalam perang yang akan datang, anda adalah harapan terakhir umat manusia.”
"Terpilih? Pahlawan? Perang yang akan datang?" Pikiran Kaivorn berputar cepat, berusaha merangkai semua informasi ini.
Namun, Kaivorn tidak menunjukkan tanda-tanda kebingungan di wajahnya. Ia hanya tersenyum tipis, menenangkan diri.
“Perang yang anda bicarakan… Apakah ini terkait dengan segala pertanda aneh yang telah terjadi belakangan ini?" Tanya Kaivorn pada Franca. "Petir yang memecah langit, desas-desus tentang makhluk-makhluk gelap yang muncul di perbatasan kerajaan?”
Franca mengangguk, “Itu hanyalah awalnya. Kegelapan yang lebih besar sedang mendekat, dan hanya anda yang bisa menghentikannya.”
Kaivorn merasa hawa dingin menjalari punggungnya.
Dia sudah mendengar rumor tentang makhluk-makhluk kegelapan itu, tapi selama ini dia mengira itu hanyalah kisah dongeng yang berlebihan.
Namun kini, dengan seorang Saintess di hadapannya yang mengonfirmasi semua itu, situasinya terasa jauh lebih nyata dan mengancam.
"Aku tak ingin menjadi pahlawan." Batin Kaivorn, memasang ekspresi yang terlihat lelah. "Aku harus bilang kepadanya."
Namun, ketika dia hendak memberi tahu Franca.
Sebuah layar hologram berwarna biru transparan muncul di hadapan Kaivorn, membuat fokusnya teralihkan.
[Ding!]
[Misi utama telah di temukan!]
[Misi: Menjadi pahlawan]
[Deskripsi: Kalahkan kegelapan dan selamatkan umat manusia dari kehancuran yang tak terelakkan]
[Hadiah: ???]
[Hukuman: Mati]
[Apakah anda ingin menerima misi ini?]
[Ya!—Misi ini tidak dapat di tolak]