"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Sikap Dingin Mekdi
Mekdi berjalan mendekati teras rumah lama kediaman Ibu Vika. Matanya yang tajam, menelisik mencari-cari sesuatu di sekitar rumah itu. Cat tiang beton yang mengelupas dan dinding depan rumah yang tampak retak, sejengkal demi sejengkal jadi perhatian Mekdi. Lantai keramik yang di injaknya pun turut diselidiki, mencari jejak baru di atas lantai keramik berwarna putih.
Tangan kanan Mekdi bergerak meraih gagang pintu. Mencoba membuka pintu kayu yang tampak lusuh. Namun, meskipun ukiran-ukiran rumit yang ada di pintu itu mulai terlihat lapuk termakan waktu, tapi pintu itu tetap terkunci dengan kokoh. Pintu itu tak berderit sedikitpun saat Mekdi mencoba mendorongnya.
Mekdi mencoba mengamati isi rumah lewat jendela yang berdebu, mengintip di sela tirai penutup yang sudutnya sedikit terbuka. Perabot jati model lama tampak menghias ruang tamu rumah itu, dan lukisan-lukisan besar terpajang di dindingnya. Di antara sekian banyak lukisan yang terpampang di dinding, ada satu foto yang menyelip di antara lukisan-lukisan yang menghias dinding ruang tamu rumah itu.
Foto yang berukuran besar itu memperlihatkan tiga pasang remaja SMA yang lengkap dengan seragamnya. Dari tiga laki-laki dan tiga perempuan yang ada dalam foto itu, hanya dua orang yang Mekdi kenali wajahnya, yaitu Ibu Vika dan Bapak Arfan.
“Drrrttt….” Handphone di tangan kiri Mekdi bergetar.
Mekdi mengalihkan pandangannya yang sedang mengusut isi rumah ke layar handphone. Ia melihat ada panggilan dari Zetha.
“Iya,” jawab Mekdi mengangkat panggilan Zetha.
“Kepolisian dari daerah Lengayang sudah mengirim email hasil penyelidikan mereka Pak,” ungkap Zetha dalam panggilannya.
“Baik, saya akan menuju ke kantor,” ucap Mekdi, lalu mengakhiri panggilan tanpa berbasa-basi. Sikapnya pada Zetha masih tetap serius meskipun lewat panggilan telpon.
Mekdi meninggalkan teras rumah kediaman lama Ibu Vika dan Bapak Arfan, menuju ke mobil mazda berwarna hitam miliknya. Kabar dari Zetha menghilangkan ketertarikannya untuk kembali melihat isi yang ada di dalam rumah itu.
Mobil sedan bermerek mazda milik Mekdi kembali melaju di tengah jalanan kota Padang yang sibuk. Cat hitamnya yang mengilap memantulkan cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik gedung-gedung modern dan pepohonan. Jalan-jalan yang ramai dengan aktivitas penduduk, dengan latar belakang bangunan berarsitektur Minangkabau, menambah keanggunan mobil tersebut melintas di tengah hirup-pikuk kota.
Setengah jam perjalanan, Mekdi sampai di kantor kepolisian kota Padang. Ia segera memasuki kantor untuk menemui Zetha. Langkah cepatnya yang terlihat terburu-buru, sejalan dengan isi kepalanya yang tak lagi sabar mendengar informasi baru.
Mekdi memasuki ruangan di mana Zetha biasa berkerja. Ia duduk di kursi hadap yang ada di depan meja Zetha, dan seperti biasanya, Zetha tetap tampak sibuk dengan laptop berwarna silver miliknya.
“Apa isi email yang mereka kirimkan?” tanya Mekdi, menggeser kursinya agak ke depan.
Zetha mencarikan apa yang dimaksud Mekdi. “Dalam laporan ini mereka menuliskan,bahwa mereka telah mendatangi keluarga Jarvis Lionel, dan menanyakan tentang keberadaan KTP Jarvis Lionel. Orang tua Jarvis Lionel mengatakan bahwa KTP anaknya hilang ketika anaknya mengalami kecelakaan lalu lintas setahun yang lalu,” urai Zetha membaca email yang dikirimkan kepolisian daerah Lengayang.
“Jadi orang yang bernama Jarvis itu meninggal akibat kecelakaan?
“Benar Pak,” angguk Zetha.
Mekdi membuka topinya, rambut lurus yang menyungkup di atas wajah tampannya kembali terasa gerah. Poninya perlahan jatuh menutupi mata sebelah kirinya yang terasa kabur melihat jejak Jarvis Lionel.
“Dan dua SMA yang kita tanyakan di daerah itu, benar-benar ada Pak. Hanya saja sekarang sudah berganti nama.” Zetha melanjutkan membaca isi surat yang dikirim kepolisian Lengayang.
“Apa mereka juga mengirim alamat SMA itu?
“Ada Pak. Mereka mengirim alamat beserta data-data sekolah itu,” jelas Zetha.
“Kabarkan pada mereka besok saya akan menuju ke sana. Saya akan melakukan penyelidikan di daerah Lengayang.
“Baik Pak,” jawab Zetha melayangkan senyuman pada Mekdi.
Mekdi membalas senyuman dari Zetha. Wajahnya yang tadi tampak kusut mulai sedikit berubah. Walaupun sikap Mekdi terkesan serius, namun ia tetaplah seorang pria yang membutuhkan keramahtamahan seorang wanita. Cintanya yang gagal di masa lalu, bukanlah alasan untuknya harus selalu bersikap dingin pada Zetha.
“Persiapkan segala sesuatu yang mungkin saya butuhkan nantinya. Saya akan menemui Pak Je,” ucap Mekdi menyebut nama atasannya, kemudian meninggalkan ruangan Zetha, menuju ke ruangan yang ada di sebelah ruangan Zetha.
Di sebelah ruangan Zetha, seorang pria yang lebih tua dari Mekdi tampak sedang sibuk mengamati dokumen yang ada di atas meja. Rambutnya tersisir rapi, serapi susunan buku dan beberapa penghargaan yang terpajang di lemari yang ada di belakangnya.
Dia mengenakan seragam dinas resmi dengan pangkat yang jelas terlihat di pundaknya. Wajahnya tampak penuh perhatian , dengan sorot mata yang tenang, menunjukan kewibawaan dan pengalaman panjang dalam penegakan hukum. Pria itu ialah Kompol Jelfi Syahreza yang biasa di panggil Pak Je.
“Bagaimana hasil penyidikanmu Mekdi?” Pak Je bertanya sebelum Mekdi sempat mengetuk pintu. Walau komisaris itu tetap sibuk dengan dokumen yang ada di mejanya, namun ia sepertinya dapat merasakan kehadiran Mekdi yang sudah di depan pintu.
Mekdi mengurungkan niatnya yang ingin mengetuk pintu, masuk ke ruangan itu, dan duduk di kursi yang sepertinya sudah dari tadi menunggu Mekdi.
“Saya sudah mengumpulkan beberapa bukti Pak,” jawab Mekdi.
“Ya. Zetha sudah menjelaskan beberapa bukti yang kalian dapatkan,” ungkap Pak Je. Sepertinya pertanyaan yang baru saja di ajukannya pada Mekdi hanya sekedar basa-basi. “Apa rencanamu selanjutnya?” Pak Je kembali bertanya.
“Saya akan memulai tahap penyelidikan, dan itu akan saya lakukan di daerah Lengayang Pak. Saya butuh surat rekomendasi dari Bapak, karena mungkin selama penyelidikan saya perlu bantuan dari kepolisian yang ada di Lengayang.
“Cuma itu?” Pak Je menutup map yang ada di mejanya, dan mengalihkan pandangan pada Mekdi.
“Saya rasa cuma itu Pak,” jawab Mekdi.
“Kamu tidak membawa Zetha ke sana?
“Saya rasa saya bisa pergi sendiri Pak.
“Zetha sangat profesional dalam pekerjaanya. Dia akan sangat membantumu selama bertugas di Lengayang.” Pak Je memberi saran. “Daerah Lengayang sangat jauh dari sini. Butuh empat jam perjalanan untuk menuju ke tempat itu. Temanmu yang wartawan itu tidak akan bisa membantumu selama di sana,” sambung Pak Je.
“Jika saya butuh bantuan, saya akan menghubungi Zetha lewat telpon,” ucap Mekdi masih mencoba untuk menolak.
“Apa kamu masih mengingat masa lalu?” Pak Je menatap Mekdi lebih dekat. Kali ini tatapannya bukan lagi tatapan soal pekerjaan, melainkan lebih ke perasaan. Sepertinya Pak Je yang menjadi atasan Mekdi tidak hanya mengetahui kinerja Mekdi, tapi juga mengetahui rahasia pribadi Mekdi.
Mekdi hanya diam menatap tumpukan map yang ada di meja Pak Je. Tatapan matanya tampak rumit, serumit jiwanya yang masih berbenah dari masa lalu.
“Aku sudah mempersiapkan surat rekomendasi untuk kalian berdua. Aku yakin, jika kamu berdua bersama Zetha, kamu pasti bisa dengan cepat mengungkap kasus yang sulit ini.” Saran Pak Je kembali.
Mekdi mengangguk, tak punya alasan lagi untuk menolak. Walau hati Mekdi terasa berat, namun permintaan Pak Je bukan hanya sekedar permintaan seorang atasan baginya, tapi juga merupakan permintaan seorang kakak terhadap adik.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,