Semoga kisah nikah dadakan Atun Kumal dekil, dan Abdul kere menang judi 200 juta ini menghibur para readers sekalian...🥰🥰🥰
Happy reading....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua tahun kemudian
Beberapa hari terakhir ini Atun hanya meratapi kehidupan yang sudah dilaluinya bersama emak Rodiah. Perempuan bengis yang sudah membesarkannya itu membuat hatinya galau bercampur aduk. Di satu sisi, ia benci karena perempuan itu sudah begitu tega kepada ibu dan juga dirinya. Tapi di sisi lain, ia masih mengingat bagaimana seumur hidupnya, Atun hanya punya emak Rodiah, seperti kata perempuan itu.
Atun dilema antara sedikit sayang atau benci. Dia tidak mengerti....
Hari itu, Abdul sudah mulai bekerja di sebuah pabrik yang beberapa hari lalu ia datangi. Tentu saja kedepannya Atun akan lebih sering sendirian di rumah.
"Jangan mendatangi Emak ya Dek. Tetaplah di rumah sampai hatimu benar-benar membaik."
Begitu pesan Abdul, membuat wajah gadis itu merona memikirkannya. Ternyata Abdul begitu perhatian dan lembut.
Meskipun sempat menjawab, ia tidak mau rumah ibunya terus-menerus ditempati Rodiah, namun lagi-lagi Abdul mencegahnya. Akhirnya ia hanya diam sambil terus memikirkannya.
"Assalamualaikum."
Atun menoleh pintu yang tertutup, ia beranjak dengan sedikit senyum terbit di wajahnya.
"Wa'alaikum salam." Atun menyambut gadis yang tersenyum riang itu sudah berdiri di depan pintu. "Sudah pulang Mar?" tanya Atun kepada sahabatnya, ia menilik pakaian yang dikenakan sahabatnya itu, sudah berganti kaos oblong dengan celana jeans. Sudah tentu Marina pulang terlebih dahulu ke rumahnya, sebelum datang ke rumah Atun. Marina hanya mengangguk.
"Makan?" Atun menunjuk meja makan, menawarkan kepada sahabatnya itu.
"Enggak, aku sudah makan." jawabnya duduk di kursi kayu, ia menghembus nafas lega, diluar sangat terik.
"Maaf, aku belum bisa mengupas bawang di rumahmu." Atun menuang air putih, meraih toples berisi keripik pedas itu, lalu meletakkan di hadapan sahabatnya.
"Oh, Ndak apa-apa. Tapi ya itu, ibu nanyain kamu terus selama beberapa hari ini. Khawatir." membuka toples keripik, lalu mengambil isinya.
"Katakan sama Ibu lek, aku baik-baik saja." ucap Atun, duduk, menghempas bokongnya di samping Marina.
"Ya sudah pasti, aku juga sering tanya-tanya sama suamimu. Jadi ya aku tahu kabarmu setiap waktu." ujarnya sambil mengunyah keripik dengan nikmat.
"Kamu punya nomor ponselnya?" tanya Atun.
"Ya enggak!" sahut Marina menekuk wajahnya. "Aku ketemunya di warung Mak Ijah. Kan Suamimu rutin beli sayur beberapa hari ini."
Atun tertawa kuda. Ia baru ingat semenjak masalah ibunya terkuak, dia malas kemana-mana.
"Oh, iya. Kemarin itu, ibu ku ketemu sama pak Sukma." ucap Marina.
Atun menautkan alisnya. "Dimana?"
"Di rumahku. Dia pesan bawang dalam jumlah banyak. Katanya akan ada sedekahan di rumahnya."
Atun mengangguk-angguk. Dia ingat akan istrinya yang sudah selusin itu. Apakah pak Sukma mau menikah lagi? Pikir Atun.
"Aku dengar, Pak Sukma nanyain kamu. Terus kabar rumah tanggamu juga Tun!" Marina berkata dengan melebarkan matanya.
"Ngapain dia tanya-tanya aku, bukankah semuanya sudah selesai, dan teramat jelas bahwa aku lebih memilih hidup susah daripada jadi istrinya. Aku tidak peduli dengan warisan bapakku yang di gadaikan itu."
"Iya. Tapi sepertinya dia senang mendengar kamu bahagia. Dan aku merasa aneh! Bukankah dia sangat menginginkan kamu ketika itu Tun?" tanya Marina, tentu saja Atun tidak tahu.
"Dah ah, aku malas memikirkan pria itu. Aku saja masih pusing dan bingung dengan permasalahan antara aku dan emak." jawab Atun mendesah berat.
"Kamu benci emak mu?" tanya Marina.
"Iya!" jawab Atun.
"Kenapa enggak kamu urus aja rumah itu, di ambil alih dan_"
"Aku tidak tega juga." potong Atun.
"Hem, itu sih terserah kamu sajalah Tun. Yang paling penting kamu nyaman aja, lagipula kamu sudah tinggal di sini." ucap Marina.
Ya, tentulah untuk beberapa waktu, Atun enggan menemui Emak Rodiah. Begitu pula sebaliknya.
***
***
***
Dua tahun kemudian.
"Maaf ya Mas, aku belum bisa memberimu momongan." Atun berkata pelan, ia menggenggam erat alat tes kehamilan itu di tangannya.
"Tak apa, mungkin belum sekarang, lagipula baru dua tahun Dek."
Lagi-lagi, ucapan yang sama terdengar di telinga Atun. Jika awal pertama mendengarnya menjadikan ia semangat dan senang, berbeda ketika sudah berkali-kali hingga saat ini. Kata-kata itu sepertinya hambar.
"Oh iya, malam ini Mas telat pulang. Soalnya Mas ada pekerjaan tambahan." ucap Abdul.
Pria itu sedikit sibuk akhir-akhir ini, tentu saja Atun tidak keberatan. Semuanya demi kehidupan yang lebih baik. Ia melambaikan tangannya ketika Abdul mulai melajukan mobilnya.
Atun pun bersiap pergi, ia menghabiskan hari-harinya di rumah Marina hingga sore, meskipun pekerjaannya hanya itu-itu saja, tapi dia sangat menyukainya. Hanya 20 hingga 40 ribu sehari, tapi jika sudah berbulan-bulan maka jumlahnya akan sangat lumayan.
"Suami kamu lembur lagi Tun?" tanya Bu Lilis, ia juga mempekerjakan beberapa orang lagi selain Atun. Sementara Marina sudah berkuliah di kota, hanya pulang ketika Sabtu Minggu, itupun kalau tidak ada kegiatan.
"Iya Bu Lek." jawab Atun sopan.
"Sebaiknya tidak terlalu sering, kalian kan masih pengantin baru." tutur Bu Lilis.
Atun tersenyum, dia tahu apa yang di ucapkan Bu Lilis itu benar. Terlebih lagi atasan suaminya itu adalah seorang perempuan yang sering minta Abdul untuk mengantarnya jika sedang ada perjalanan bisnis.
Sempat terbersit rasa cemburu, terlebih lagi ketika Abdul berangkat bekerja dengan penampilan rapi, wangi dan ganteng. Hati Atun selalu khawatir. Bisa saja seorang wanita di luaran sana akan tertarik kepada Abdul. Terlebih lagi selalu bersamanya, di malam hari pula.
Atun tak membahas itu lagi, ia memilih pulang karena hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya mandi dan sholat meskipun waktu ashar itu sudah hampir habis.
"Mbak Ajeng?" sapa Atun, setengah terkejut melihat kedatangan kakak keduanya itu. Sungguh itu tidak biasa, karena Ajeng adalah sosok yang cuek, dingin dan tidak suka ikut campur urusan orang lain.
"Iya, apa kabar kamu Tun?" tanya Ajeng berbasa-basi.
"Baik Mbak, Alhamdulillah." jawab Atun, ia segera membuka pintu dan mengajak Ajeng masuk.
"Mana suamimu?" tanya Ajeng menilik keadaan rumah Atun.
"Kerja Mbak, katanya ada lembur." jawab Atun, ia meraih beberapa air putih kemasan untuk kakaknya itu. "Mau minum apa Mbak?" tanya Atun.
"Tidak usah. Aku kesini hanya ingin memberi tahu kamu kabar." ucap Ajeng, kemudian menjeda. "Emak sakit." lanjutnya.
"Emak sakit?" ucap Atun sedikit meninggi. Meskipun permasalahan dua tahu lalu itu masih membekas, namun tak bisa di pungkiri kalau sebagian hatinya masih memikirkan emaknya itu.
"Sebaiknya kamu tengokin dia. Kasihan!"
Tanpa pikir panjang, Atun beranjak dari duduknya. Meraih kunci rumah yang baru saja ia letakkan di meja itu. "Ayo Mbak, kita pulang!" ajak Atun kepada kakaknya itu.
Ajeng menurut saja, ia berjalan lebih dulu menuju rumah emaknya. Tak lama kemudian Atun berjalan tergesa-gesa, mensejajarkan langkahnya kepada Ajeng.
"Rame Mbak." tanya Atun ketika sudah berada di rumahnya. Ada mobil Bima.
"He'em." Ajeng berjalan lebih dulu memasuki rumah itu.
"Emak!"
ben kapokn
uhuuuuiii aji jgn jadi biawak sungai yahhhhhh
wkekwkkkkkk
tariiiikkkkkk siiiissssssss
nasib mu sunguh berubah.. heheheee.. slmt tun tp klo dah kaya jgn sombong tun