DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM21
"Yank ... terimakasih ya, terimakasih banyak. Mas gak tahu gimana nasib ini, kalau gak ada kamu di sisi Mas." Mas Rama menarikku dalam pelukannya.
"Namanya suami istri yang mesti berbagi suka dan duka, Mas. Udah sana, cepetan balik rumah sakit. Biar Bapak segera dapat perawatan yang baik."
Ku ulurkan tas kecil isi pakaian dan sarung, serta tas kresek isi perbekalan.
"Mas balik rumah sakit dulu ya, Yank. Besok baru pulang, gantian denganbak Raya. Tadi Mbak sudah mengabari Ibu kalau besok baru bisa datang, karena tidak keburu dari kabupaten sebelah. Jangan lupa kunci pintu ya."
"Iya, Mas. Hati-hati. Jangan ngelamun. Jangan mikir aneh-aneh. Fokus ama kesembuhan Bapak aja, ya."
***
Sepagi ini sudah tercium aroma roti di rumahku. Jam kerja bagian produksi memang lebih awal. Tentunya jam pulangnya juga lebih awal. Mereka sudah kuberikan rekap pesanan hari ini, termasuk jumlah antaran ke kios.
Saat Bu Karto datang tadi, aku baru membuatkan makanan untuk Bian. Bian anak yang tidak rewel makannya. Terlihat dari pipinya yang gembul dan badannya yang padat.
Sekarang aku memasak sarapan untuk yang sedang jaga di rumah sakit, sementara Bu Karto menyuapi Bian. Mas Rama tadi kirim pesan supaya aku menyiapkan sarapan untuk Bang Dono sekalian, karena ternyata dia ikut menginap di rumah sakit.
Setelah urusan dapur selesai, segera aku mandi bebersih untuk ke rumah sakit. Urusan dengan para supplier kue bisa diselesaikan sepulangnya dari rumah sakit.
"Bu Karto, Bu Asih, saya titip Bian dan rumah ya. Saya mau ke RS dulu, semalam Bapak masuk rumah sakit," pamit ku.
"Ya Allah, Nak. Bapak sakit apa?" tanya Bu Karto.
"Serangan jantung ringan, Bu. Untung tidak terlambat ditangani. Sejak semalam Ibu dan Mas Rama menunggui di sana."
"Kok tidak telepon salah satu dari kami, Nak? Biar kami yang jaga Bian. Rumah saya kan juga dekat," tanya Bu Asih.
"Tidak apa-apa, Bu. Semalam masih bisa bagi tugas."
"Lain kali jangan ragu untuk telepon ya, Nak Alana. Kami tidak keberatan kok, kami pasti langsung datang. Semoga Bapaknya lekas sembuh ya," kata Bu Karto.
"Iya, Bu. Saya berangkat dulu ya."
***
Sesampainya di rumah sakit, aku segera menuju kamar rawat bapak. Tadi Mas Rama sudah memberitahuku di mana bapak dirawat. Kulihat Bang Dono dan Mas Rama duduk di luar kamar.
"Mas, kok nunggu di luar?" tanyaku ke Mas Rama.
"Tadi Mas ama Dono meluruskan punggung dulu. Kamu bawa sarapan ya itu?"
"Iya, Mas. Sekalian kopi nih, ayo kita sarapan dulu. Alana masak buat Bapak juga, dibedain masakannya."
"Wah mantap ini. Don, yuk sarapan di dalam, sekalian sama Ibu dan Bapak."
Kami pun masuk kamar bapak.
"Selamat pagi Pak, Bu. Alana bawa sarapan, mari makan sama-sama."
Ku cium tangan bapak dan ibu. Yah, meski ibu langsung menarik tangannya. Ku bagikan kotak bekal ke ibu, Mas Rama dan Bang Dono. Sengaja sudah kubagi-bagi per porsi supaya mudah makannya. Punya bapak juga kutandai.
"Alana suapi Bapak, ya. Biar Ibu bisa makan dengan tenang."
"Boleh kalau kamu tidak keberatan, Nak," jawab Bapak lirih.
Ku suapi bapak sampai habis lebih dari setengah.
"Cukup, Na. Bapak sudah kenyang. Makasih ya."
"Iya, Pak. Sekarang minum dulu ya." Ku sodorkan gelas yang sudah ada pipetnya ke Bapak.
Tak lama kemudian suster masuk ke kamar untuk membersihkan bapak, dibantu ibu.
Kami bertiga menunggu di luar.
"Yank, semalam Mas sudah bilang ke Dono, mengenai tawaranmu. Tapi, Mas tidak bisa memberitahu rinciannya, mungkin kamu bisa beritahu Dono sekarang jelasnya kerjaan bagaimana ...," ucap Mas Rama.
Aku mengangguk lalu menatap Bang Dono. "Jadi begini, Bang Dono. Nanti kerjanya mirip seperti Pak Karto yang sekarang stand by di tempat produksi. Sekarang ini makin banyak instansi atau pelanggan perorangan yang memesan snack box dalam jumlah sedang. Misal 30 sampai 50 box. Untuk pesanan seperti itu, biasa kami antar pakai motor yang di modifikasi, yang belakangnya dikasih box kayak mini fuso gitu lho. Nah, sekarang si Alif yang sering bantu Pak Karto mengantar pesanan, padahal dia bagian produksi harusnya. Kalau Bang Dono mau, sambil menunggu panggilan di pabrik, Bang Dono yang bawa motor box itu. Gitu, Bang, gimana?"
"Saya mau," jawab Bang Dono dengan cepat. "Kerja apa aja asal halal, saya mau."
"Untuk gaji dan fasilitas, mohon maaf sebelumnya karena mungkin belum bisa setara pabrik ya, Mas. Namanya juga industri rumah tangga. Masih UMKM judulnya."
"Gak pa-pa, Na. Ditawari aja aku sudah bersyukur banget. Aku liat sendiri kamu dan Rama berjuang bersama mulai dari ku antar nyari kontrakan sampai usaha mu segini maju, bahkan bisa bangun rumah. Salut sih aku, yang ku inginkan sekarang cuma dapat penghasilan tetap dulu. Gak usah muluk-muluk jadi seperti kalian. Kalau ngandelin ngojek aja yang tidak tentu dapatnya, susah ini. Sementara kebutuhan minimal sudah pasti ada," jawabnya.
"Kebetulan mungkin sekarang sedang rejeki kami, Mas. Siapa tahu, berikutnya giliran Bang Dono. Kalau begitu, besok jam 8 langsung aja ke rumah ya, Mas. biasanya sih pengantaran terakhir jam 3 ... tapi, kalau tiba-tiba sore ada pesanan dadakan, ada hitungan lemburnya, Mas!" jelas ku pada Bang Dono.
Sahabat baik suamiku itu hanya manggut-manggut.
"Waktu mulai butuh kurir dulu, Alana sempat pengen nawari kamu, Don. Namun, waktu itu kamu sudah ikut proyek. Jadi ditawarkan ke Pak Karto. Baru sekarang ada kesempatan lagi."
"Iya, Ram, mungkin memang baru sekarang rejekinya. Kemarin dari proyek, dapatnya lumayan. Cuma karena pas kemarin harus caesar, jadi ya habis kepake buat biaya lahiran. Istriku mau buka warung, gak keburu uangnya. Dan gitu kan kalo namanya proyek. Selesai proyek, ya udah selesailah sudah semuanya, sampai nunggu ada proyek lagi. Jadi kalau ada yang pasti-pasti meski tidak sebesar proyek, ya aku mau lah."
Mas Rama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nanti kalau ada masalah, jangan sungkan disampaikan ya, Don. Jangan karena Alana istriku, atau karena kita sahabatan, kamu punya ganjelan jadi dipendam sendiri. Aku tidak mau ya persahabatan kita hancur gara-gara kerjaan, terlebih karena uang. Mending dibicarakan secara langsung."
"Beres itu sih."
"Oh ya, kamu pulang duluan aja, Don. Mandi terus istirahat, aku nunggu Mbak Raya dan hasil kunjungan Dokter, baru nanti balik. Semalam aku sudah izin untuk hari ini absen."
"Ya sudah, aku balik dulu ya, Ram, Al!" pamit Bang Dono.
Mas Rama memberikan lima lembar seratus ribuan ke Bang Dono.
"Apaan ini, Ram? Kamu sama temen kok pake beginian."
"Bukan gitu, Don. Ini bukan bayaranmu nemeni aku semalam. Hari ini kan kamu pasti gak bisa narik karena ngantuk, anggap ini sebagai ganti hasil ngojek buat ngasih anakmu. Masa kamu mau maksa tetap narik dalam kondisi capek dan ngantuk akibat terpaksa bergadang semalam? Malah bahaya kan, Don. Tolong jangan ditolak ya, buat anakmu ini."
Bang Dono menghela napas. "Baiklah kuterima. Makasih ya Ram, Al. Aku pulang dulu."
"Hati-hati ya. Jangan lupa besok ya."
Kulihat Bang Doni berpapasan dengan Mbak Raya dan Mas Budi di lorong. Mbak Raya terlihat panik.
"Bapak gimana, Ram?"
"Sekarang sudah agak lebih baik, tapi, masih lemas. Nunggu kabar dulu dari Dokternya, Mbak. Katanya ada jadwal kunjungan pagi ini."
"Terus kenapa kalian di luar? Ibu mana?"
"Tadi suster sama Ibu sedang membersihkan badan Bapak, jadi kami nunggu di luar. Tadi ada Dono juga, nunggu di rumah sakit bareng aku semalam. Ketemu ama Mbak kan di lorong?"
"Oh ... iya tadi ketemu Dono. Ayo masuk, Bapak sudah selesai dibersihkan tuh."
Mas Budi dan Mbak Raya langsung mencium tangan bapak dan ibu. Mbak Raya malah sudah nangis.
"Bapak gimana? Mana yang sakit? Maaf, Pak, semalam Raya gak tahu kalau ditelepon. Raya ikut ibu mertua ke kabupaten sebelah."
"Bapak sudah gak pa-pa, Nak ...." Sahut bapak dengan lirih sambil mengelus kepala Mbak Raya.
"Dokter bilang apa, Ram?" tanya Mas Budi.
"Semalam dibilangnya serangan jantung ringan, Mas."
"Kok sampai serangan jantung? Bapak mikirin apa, Pak?!" Mbak Raya semakin menangis.
"Bapak gak mikirin apa-apa kok."
"Lah itu ...."
Kata-kata Mbak Raya terpotong oleh sapaan dokter yang masuk disertai beberapa suster dan dokter muda.
"Permisi. Selamat pagi, Pak Yanto. Saya periksa sebentar ya."
Dokter segera membaca rekam medis bapak, kemudian memeriksa detak jantungnya. Lalu memberikan instruksi kepada suster dan penjelasan kepada dokter-dokter muda itu.
"Pak Yanto diusahakan untuk tidak terlalu capek lagi ya, Pak. Apalagi sampai stress. Jangan banyak pikiran ya, supaya kondisinya tetap stabil. Bapak masih merokok atau minum kopi?" tanya dokter
"Masih, Dok."
"Kalau begitu, mulai sekarang merokok dan minum kopinya diganti minum air putih aja ya, Pak. Biar cepat sehat. Bisa ya, Pak?"
"Iya, Dok."
"Kalau begitu saya permisi dulu ya. Jangan bersusah hati, Pak. Tidak perlu terlalu khawatir. Biar terus stabil dan cepat pulang. Ingat pak, pada dasarnya hati yang gembira adalah obat. Tentu saja juga karena kemurahan Allah. Saya permisi bapak, ibu."
Setelah kunjungan dokter tadi, kami semua sempat terdiam sampai Mbak Raya bersuara.
"Ram, kalau mau pulang istirahat, sana pulanglah. Nanti sore kita bicarakan perawatan Bapak setelah keluar dari rumah sakit. Bapak sama Ibu gak mungkin tinggal berdua aja di rumah situ. Tapi nanti sore aja, sekarang kamu pasti ngantuk."
"Ibu juga pulang dulu saja diantar Rama. Tidur dan istirahat di rumah. Biar Raya yang jaga Bapak. Nanti sore Ibu bisa balik ke sini. Ya, bu ,ya?" bujuk Mbak Raya.
"Gak mau ...!"
*
*
Bagus banget /Kiss/
Apalagi part di mana Alana hamil, ya ampun, saya sampai meneteskan air mata. /Good/