Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22_Keputusasaan Santi dan Rencana Tak Terduga
Keesokan harinya Santi bangun tepat pukul empat pagi, ia langsung beres-beres rumah dan memasak, sedangkan Riski dan adik adiknya masih pulas tertidur.
Santi harus bekerja secepat mungkin, agar neneknya tidak memarahi dirinya maupun adiknya.
Setelah sarapan pagi, mak Erot dan Burhan kembali berbincang-bincang sedangkan kakek Bayan pergi ke kebun.
“Tau tidak mantanmu itu si Dewi, udah jadi janda sekarang, hartanya banyak, kamu enggak ada niatan buat CLBK sama dia,” Mak Erot kembali mencomblangi Burhan kepada Dewi. Dewi adalah mantan Burhan masa lajang dulu, tapi Burhan tidak mencintainya dia lebih memilih Sumi.
“Emak, Burhan masih pusing, jadi enggak mau mikirin itu dulu.”
“Justru karena Burhan sedang pusing, jadi butuh hiburan, sama kamu ketemuan sama si Dewi. Kamu pasti rindu kan sama dia,” ujar Mak Erot.
Santi yang mendengar ucapan neneknya, kesal, tetapi dia hanya bisa diam seribu bahasa. Ibu mereka baru meninggal tetapi neneknya sudah menjodohkan ayah mereka kepada perempuan lain.
“Nanti aja Mak, Burhan mau keliling kampung dulu.”
“Ahh anak ini,” ujar Mak Erot mendengus kesal melihat Burhan yang langsung pergi meninggalkan Mak Erot.
Burhan ingin melihat-lihat kampung kelahirannya, yang penuh dengan kenangan di masa kecil.
Ia ingin berjumpa kembali dengan teman-teman lamanya, meski beberapa teman lamanya sudah banyak yang pergi merantau meninggalkan desa, dan menetap di daerah rantauan mereka masing-masing dan menikah, dan punya anak di sana.
Burhan kembali teringat dengan Dewi yang tadi di ucapkan oleh ibunya, ia pun penasaran seperti apa wajah Dewi saat ini.
Di rumah, Santi terus bekerja tanpa henti, dan dibantu oleh Riski, sedangkan adik-adiknya yang lainnya pergi ke luar bermain dengan anak-anak tetangga sebaya mereka.
“Santi kamu sudah kelas berapa?” tanya Mak Erot.
Mak Erot duduk santai di kursi di ruang tamu, sedangkan Santi tengah mengepel lantai.
“Sudah putus sekolah nek saat aku masih di kelas 1 SMA,” sahut Santi
“Ohh baguslah, biar enggak jadi beban bagi bapakmu. Kamu enggak sekolah aja jadi beban, apalagi sekolah,” tukas Mak Erot santai tanpa merasa bersalah. Santi hanya menghela napas singkat, dan lanjut melap lantai dengan kain lap.
“Kalau adikmu yang laki-laki itu kelas berapa?” tanya Mak Erot.
“Riski, Rido, Ujang nek?”
“Saya enggak tau nama-nama mereka, nah mereka itu bagaimana, jadi beban bapakmu juga?”
“Mereka juga putus sekolah nek, nanti kalau ada rejeki mereka lanjut lagi sampai sarjana.”
“Gayamu sarjana, makan tidur be rak aja numpang,” celetuk Mak Erot.
“Pokoknya kalian itu harus tau diri selama.tinggal di rumah ini, jangan banyak tingkah, jangan bikin pusing ayahmu,” perintah Mak Erot.
“Iya Nek,” sahut Santi singkat, meski hatinya sangat kesal sekali kepada neneknya.
Padahal jelas-jelas semua ini kesalahan bapaknya, ayahnya lah jadi beban di keluarga mereka bukan mereka. Tapi Santi memilih diam, tidak ingin mencari ribut, sebab ia belum ingin di usir dari rumah ini.
“Adikmu yang laki-laki yang dibawahmu siapa namanya?”
“Riski Nek”
“Ya sudah panggil dia, suruh dia pijitin kaki saya, jangan kerjanya cuman tiduran aja di kamar,” ucap Mak Erot.
Santi hanya menurut.
“Sudah lah dek, sana pijitin kaki nenek.”
“Akh si nenek peot itu, banyak sekali maunya, padahal aku baru saja siap mencuci piring.”
“Sudahlah dek, kita harus sadar diri sebagai penumpang.”
Akhirnya Riski pergi ke ruang tengah memenuhi perintah Mak Erot.
“Ha kau, pijitin kaki saya,” Mak Erot meluruskan kakinya ke meja di ruang tengah.
Riski pun mulai memijit kaki si nenek peot yang banyak drama itu.
“Kalian itu hanya numpang di sini, ya seenggaknya kalian bantu-bantulah di sini. Besok kau sama adikmu yang laki-laki itu ikut kakek ke kebun,” perintah Mak Erot kepada Riski.
“Iya Nek” sahut Riski.
“Itu nanti yang ke kebun saya sama Ridho ya nek?”
Riski dan Ridho sudah biasa kerja di kebun, bahkan sampai kerja harian, tapi kalau Ujang yang baru berusia delapan tahun belum pernah sama sekali.
“Ya enggaklah, saya lihat kalian itu ada tiga laki-laki, jadi ketiga-tiganya haus kerja di kebun,” perintah Mak Erot.
“Tapi adik saya Ujjang masih delapan tahun nek, belum tau kerja di kebun.”
“Makanya dia dibawa serta biar diajarin. Lagipula kalian semua kan putus sekolah, mau jadi apa lagi kalau bukan pekerja kasar. Sudah jangan banyak bantah, kalau kamu enggak suka kamu sama saudara-saudaramu itu bisa pergi dari rumahku,” usir Mak Erot, langsung bangkit dari kursinya, dan pergi ke rumah tetangga untuk menggosip. Membicarakan keburukan ke enam cucunya itu.
“Mbak…” Riski datang ke dapur menghampiri Santi dengan mata berkaca-kaca.
“Iya kenapa Ki?” tanya Santi, ia tengah asik melap lemari kaca di dapur itu yang sudah berlumut, ternyata tidak pernah dibersihkan dalam waktu yang cukup lama.
“Nenek ngusir kita.”
Santi menghentikan sejenak aktivitasnya melap lemari kaca di dapur, lalu beralih menatap wajah Riski.
“Kamu buat ulah?” tanya Sant,i
Riski menggelengkan kepala.
“Jika tidak, kenapa nenek sampai mengusir kita?”
“Tadi nenek bilang mulai besok aku, Ridho, dan Ujang harus ke kebun setiap hari bantu kakek, aku sih tidak apa-apa, tapi kata nenek Ujang juga harus ikut. Aku bilang Ujang terlalu kecil untuk ikut ke kebun, terus nenek bilang kalau aku gak suka, kita semua bisa pergi dari rumah ini, katanya kita hanya beban di rumah ini,” jelas Riski panjang lebar.
Santi hanya terdiam, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Semenjak kematian ibunya, ia seperti hilang arah, ayahnya tidak perduli sama sekali kepada mereka, neneknya pula tidak menyukai mereka.
Satu Minggu kemudian.
Sudah satu bulan mereka di sini, di rumah Mak Erot, ke tiga adik-adiknya Ujang, Riski, Ridho setiap hari pergi ke kebun mengangkat cangkul membantu kakek Bayan. Mak Erot pula selalu ke sana ke mari mencari tetangga untuk diajak menggosip, ayahnya Burhan selalu mengapeli janda beranak dua yang bernama Dewi bahkan Burhan kerap menginap di sana. Sisil, Lili, dan Santi pula di rumah menjadi babu untuk Mak Erot.
Lili kecil sering disuruh ambil ini dan itu, Sisil pula harus bisa membersihkan rumah dan halaman, Santi harus masak tiga kali sehari, mencuci pakaian seluruh anggota keluarga, belanja, dan semua pekerjaan lainnya adalah tanggung jawabnya.
Mereka semua tidak disekolahkan, padahal anak di kampung ini banyak juga yang sekolah ke kampung sebelah yang jaraknya delapan kilometer, mereka bisa naik becak. Tapi baik nenek, kakek, maupun ayahnya tidak ada yang perduli dengan pendidikan mereka. Burhan sudah mabuk kepayang kepada Dewi, bahkan ia tidak segan-segan mencuri uang orang tuanya demi bisa mengapeli Dewi.
Santi sendiri sebenarnya sudah sangat putus asa, ia rindu ibunya tetapi untuk berjiarah saja ia tidak mampu. Ia merasa semua orang begitu jahat kepada dirinya dan adik-adiknya.
Dan di sinilah Santi sekarang, di kamarnya sendirian dengan pintu yang ia kunci rapat-rapat. Tangan kanannya kini sudah memegang sebilah pisau, yang sering ia gunakan untuk mengiris bawang, dan kini pisau itu akan ia gunakan untuk mengiris urat nadinya sendiri.
Santi memejamkan matanya, “maafkan mbak dik, maafkan mbak, mbak enggak sanggup hidup seperti ini, mbak nggak tega melihat kalian terus-menerus diperlakukan tidak baik di rumah ini. Sedangkan mbak hanya bisa diam, tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan semua ini,” ucapnya lirih, pisau sudah dia arahkan tepat di urat nadinya sebelah kiri, ia hendak melancarkan aksinya.
Tiba-tiba
“Santi… Santi… buka pintunya,” terdengar suara Mak Erot yang menggedor-gedor pintu kamar. Dengan segera Santi menyembunyikan pisaunya, dan menghapus air matanya dan berpura pura baik baik saja di depan Mak Erot.
“Iya Nek?” tanya Santi rendah.
“Ngapain kamu cuman berleha-leha saja di kamar, sana cepat buatkan teh tiga antar ke ruang tengah,” perintah Mak Erot.
“Baik Nek.”
Santi langsung pergi ke dapur, untuk membuat teh.
“Dasar anak pemalas, sama seperti ibunya,” maki Mak Erot.
Ingin rasanya Santi memaki-maki Mak Erot, tetapi jika ia berulah maka adik-adiknya akan di usir, sedangkan ayah mereka tidak perduli kepada mereka, dan Santi sendiri tidak punya uang sepeserpun ia tidak tahu akan pergi dan bagaimana jika mereka di usir sedang ia tidak punya uang sama sekali, bahkan seribu rupiah pun ia tidak ada.
Santi membuat teh dengan cepat, dan membawanya ke ruang tamu. Di ruang tamu sudah ada Mak Erot, Bayan, dan Burhan yang sedang berbincang-bincang. Tetapi, ketika Santi datang perbincangan mereka hentikan.
“Santi masuk kamarmu,” perintah Mak Erot ketika Santi sudah selesai meletakkan ketiga gelas berisi teh ke hadapan mereka masing- masing.
“Baik Nek,” sahut Santi kemudian berangsur pergi. Tapi Santi bukanlah gadis sepolos itu, ia merasa ada yang tidak beres dengan mak Erot, tidak biasanya Mak Erot menyuruhnya ke kamar, dan tadi saat dirinya datang mak Erot yang tengah berbicara langsung terdiam. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan batin Santi.
Ia pun memilih untuk berdiri di balik dinding ruang tamu, dan menguping pembicaraan ketiga orang tua itu.
“Burhan dengarkan emak, mbah Jarwo itu kaya raya, kamu enggak akan menyesal kalau menikahkan Santi sama si Jarwo.”
Deg, hati Santi berdegup lebih kencang.
Ternyata Santi berencana ingin dinikahkan dengan Mbah jarwo. Tapi siapa Mbah Jarwo? Santi semakin memusatkan fikiran dan telinganya untuk menyimak pembicaraan tiga orang tua itu.
“Tapi Mak, Mbah Jarwo itu istrinya sudah 6, usianya juga sudah tua, lalu apa emak yakin kalau Santi yang masih muda belia gitu mau nikah dengan mbah Jarwo?”
Burhan sendiri tidak begitu setuju kalau Santi menikah dengan kakek-kakek tua bernama Mbah Jarwo.
Meskipun di kampung ini mbah Jarwo terkenal sebagai juragan ternak kambing, dan lembu. Tetapi tetap saja,menurutnya Santi pantas mendapatkan pria muda yang sepantaran dengan Santi.
“Ahhh, bodoh sekali kamu. Kamu kan ayahnya, kamu bujuk dia, bila perlu paksa. Kamu tahu tidak kalau Mbah Jarwo nikah sama si Santi, nanti kita bisa minta uang panainya tinggi. Kita minta seratus juta, nanti uangnya kita bagi tiga. Tenang saja, untukmu emak kasih 50 juta, biar emak sama bapak hanya dapat bagian dua puluh lima juta saja, emak dua puluh lima juta, dan bapak dua puluh lima juta.”
Burhan mengerutkan kening.