Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tak Terduga
Setelah hampir sebulan Catherine lebih sering menghabiskan waktu dengan Naufal, kehidupan sehari-harinya terasa lebih ringan. Naufal adalah teman yang hangat dan penuh perhatian, selalu ada untuk mendengarkan cerita-ceritanya. Namun, meski Catherine merasa nyaman dengan rutinitasnya, ada sesuatu yang mulai mengusik pikirannya—perhatian Akbar yang semakin sering.
Akbar, yang dulu tampak cuek dan jauh, kini mulai menunjukkan sisi yang berbeda. Dia sering muncul di tempat-tempat yang tak terduga, memberikan sapaan yang lebih lembut, bahkan mencoba memulai percakapan kecil setiap kali mereka berpapasan.
Suatu sore sepulang sekolah, Catherine sedang berjalan ke gerbang bersama Naufal ketika Akbar tiba-tiba menghampirinya. Naufal yang peka segera menangkap suasana itu dan memberi Catherine ruang. "Aku tunggu di sana, Cat," katanya sambil menunjuk warung kecil di depan sekolah.
"Hei, Catherine," sapa Akbar dengan senyuman yang ragu.
Catherine menoleh dan mencoba menenangkan dirinya. "Ada apa, Akbar?"
Akbar terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku cuma mau bilang... kamu terlihat hebat sekarang. Aku suka lihat kamu lebih percaya diri."
Kata-kata itu membuat Catherine merasa tidak nyaman. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons tanpa memberi harapan atau terdengar kasar. "Terima kasih, Akbar. Tapi aku nggak berubah untuk siapapun. Semua ini buat diriku sendiri."
Akbar tampak sedikit terkejut mendengar jawaban Catherine, tetapi dia segera menenangkan diri. "Aku paham. Aku cuma mau minta maaf kalau aku pernah bikin kamu sakit hati atau nggak dihargai."
Catherine mengangguk pelan. "Aku udah maafin kamu, Akbar. Tapi aku harap kamu juga bisa move on dari masa lalu kita. Aku lebih nyaman kalau kita nggak terlalu banyak interaksi."
Akbar mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. "Iya, aku ngerti. Aku cuma... aku pengen kita bisa tetap temenan."
Catherine tersenyum tipis, lalu menjawab, "Mungkin, suatu hari nanti."
Ketika Akbar beranjak pergi, Surya dan Adam yang berdiri di kejauhan saling melirik. Mereka sudah lama curiga bahwa Akbar mulai menyukai Catherine, tetapi mereka memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, setidaknya belum.
"Dia jelas ada rasa, bro," bisik Adam ke Surya.
"Iya, tapi Catherine kayaknya nggak nyaman. Kita harus pastiin dia baik-baik aja," balas Surya.
Sementara itu, Catherine bergabung kembali dengan Naufal, yang langsung menyadari perubahan suasana hatinya. "Akbar lagi, ya?" tanyanya pelan.
Catherine menghela napas dan mengangguk. "Aku nggak ngerti kenapa dia jadi kayak gini sekarang. Aku cuma pengen fokus sama diriku sendiri dan sama kamu, sahabatku."
Naufal tersenyum dan menepuk pundak Catherine. "Tenang aja, aku nggak akan ninggalin kamu kayak orang lain."
Ucapan itu membuat Catherine merasa lebih lega. Dia tahu, dengan Naufal di sisinya, dia bisa menghadapi apa pun, bahkan perhatian yang tak diinginkannya dari Akbar.
Namun, jauh di lubuk hati, Catherine merasa sedikit khawatir. Perasaan Akbar yang mulai terlihat—setidaknya bagi Surya dan Adam—bisa menjadi masalah jika dia tidak segera menetapkan batas yang jelas. Catherine hanya berharap, untuk kali ini, dia bisa mengatasi semuanya tanpa drama yang berlarut-larut.
Catherine menjalani hari-hari awal di SMA dengan penuh semangat, terutama karena kehadiran Naufal, sahabat baru yang selalu membuatnya nyaman. Naufal adalah tipe teman yang apa adanya, humoris, dan sangat perhatian. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di kelas maupun saat istirahat. Jika ada tugas kelompok atau proyek sekolah, Catherine selalu merasa aman karena Naufal selalu mendukungnya.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di kantin, Naufal menatap Catherine yang sedang serius dengan catatan pelajarannya. “Hei, Cat, nggak usah serius banget. Kadang kamu perlu santai juga. Kalau terus-terusan belajar, nanti malah pusing,” godanya sambil menyodorkan es teh yang baru dia beli.
Catherine tertawa kecil, merasa nyaman dengan candaan Naufal. “Aku cuma mau memastikan semuanya lancar. Aku nggak mau lagi merasa nggak cukup baik kayak dulu,” jawabnya sambil tersenyum.
Namun, di sisi lain, kehadiran Akbar yang satu sekolah dengan mereka mulai terasa mengganggu. Akbar sering muncul di saat-saat yang tidak terduga, seperti ketika Catherine sedang mengobrol santai dengan Naufal. Tatapan mata Akbar sering terasa intens, membuat Catherine merasa tidak nyaman.
Sore itu, ketika Catherine sedang berjalan pulang bersama Naufal, Akbar tiba-tiba muncul dari balik gerbang sekolah. "Catherine, aku bisa bicara sebentar?" tanyanya dengan nada ragu.
Catherine terdiam, menoleh ke arah Naufal seakan meminta dukungan. Naufal, yang peka terhadap situasi, tersenyum dan berkata, “Aku tunggu di depan, ya.”
Setelah Naufal pergi, Catherine menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Ada apa, Akbar?"
Akbar tampak gugup. "Aku cuma mau bilang... aku senang lihat kamu sekarang. Kamu kelihatan jauh lebih bahagia, dan... aku tahu ini aneh, tapi aku rasa aku mulai melihat kamu dengan cara yang berbeda."
Catherine merasa jantungnya berdebar. Dia tidak menyangka mendengar pengakuan seperti itu dari Akbar. "Akbar... aku menghargai apa yang kamu katakan, tapi aku nggak tahu harus bagaimana."
Akbar tersenyum tipis, tampak sedikit kecewa tapi mencoba menyembunyikannya. "Aku ngerti kok. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Aku nggak akan maksa apa-apa."
Setelah itu, Akbar pergi, meninggalkan Catherine yang berdiri mematung di tempatnya. Ketika dia kembali ke tempat Naufal menunggunya, Naufal langsung bertanya, “Kamu nggak apa-apa, Cat? Mukamu kok pucat?”
Catherine mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih kacau. "Aku nggak apa-apa, Naf. Cuma... Akbar bilang sesuatu yang nggak aku duga."
Naufal mengerutkan kening, terlihat khawatir. "Kalau dia bikin kamu nggak nyaman, aku ada di sini. Kamu tahu itu, kan?"
Catherine mengangguk, merasa sedikit lega. Kehadiran Naufal benar-benar menjadi penguatnya. Sejak saat itu, dia mulai menjaga jarak dengan Akbar, meskipun dia tahu perasaan Akbar terhadapnya tidak mudah diabaikan.
Waktu berjalan, dan Catherine semakin dekat dengan Naufal. Kebersamaan mereka di SMA menjadi momen-momen yang paling Catherine nikmati. Mereka sering belajar bersama, berbagi cerita, dan bahkan sesekali pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi tugas. Kehadiran Naufal membuat Catherine merasa terlindungi, sesuatu yang tidak pernah dia rasakan dari Akbar.
Namun, di saat yang sama, Catherine tidak bisa sepenuhnya menutup hati terhadap Akbar. Meski takut dan ragu, ada bagian kecil dalam dirinya yang mengingat masa lalu mereka. Akbar, dengan segala kekurangannya, pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Tetapi Catherine sadar, dia harus lebih memprioritaskan dirinya sendiri dan memilih orang-orang yang benar-benar memberikan rasa aman.
“Cat, kamu yakin nggak mau cerita lebih banyak soal Akbar?” tanya Naufal suatu sore ketika mereka sedang mengerjakan tugas bersama di rumah Catherine.
Catherine terdiam, lalu menghela napas. "Aku nggak tahu, Naf. Aku takut kalau terlalu banyak berpikir soal dia, aku malah kehilangan diriku lagi."
Naufal menepuk bahunya dengan lembut. "Kamu nggak sendiri, Cat. Kalau ada apa-apa, aku ada buat kamu."
Kata-kata Naufal memberikan ketenangan yang Catherine butuhkan. Di hatinya, dia tahu, bersama Naufal, dia bisa melangkah lebih jauh tanpa harus terbebani oleh masa lalunya. Akbar mungkin punya perasaan, tapi Catherine sadar, dia yang memegang kendali atas hidupnya sendiri.
Hari-hari berlalu dengan Catherine yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Naufal, sahabat dekatnya yang selalu ada di berbagai kesempatan. Mereka sering terlihat bersama, baik di taman dekat rumah maupun sekadar nongkrong di warung kecil untuk membicarakan berbagai hal.
Namun, Catherine mulai merasa sesuatu yang aneh dengan Akbar. Laki-laki itu terus-menerus mencoba mendekatinya dengan alasan yang terkadang tidak masuk akal. Entah itu meminjam catatan lama yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan, atau sekadar menyapa dengan cara yang membuat Catherine merasa tidak nyaman.
Di suatu siang yang cerah, Catherine, Naufal, Adam, dan Surya duduk di bawah pohon besar di taman, menikmati suasana santai. Catherine sibuk bercanda dengan Naufal, sementara Adam dan Surya asyik cekikikan tanpa alasan jelas, membuat suasana semakin ramai.
"Tuh, Akbar lagi ngeliatin lo dari jauh," Surya menyenggol lengan Catherine sambil menahan tawa.
Catherine segera menoleh ke arah yang dimaksud dan mendapati Akbar berdiri tidak jauh, tampak ragu untuk mendekat. Dia buru-buru memalingkan wajah, hatinya berdebar aneh. "Duh, dia apa lagi sih sekarang?" gumam Catherine setengah kesal, namun dengan nada ketakutan kecil.
"Jangan-jangan dia suka sama lo, Cat," goda Adam dengan senyum usil.
"Ya ampun, jangan bercanda begitu!" balas Catherine, mencoba mengalihkan topik. Namun, dalam hati, dia merasa bingung dan sedikit panik dengan perhatian berlebih dari Akbar yang semakin hari semakin sulit diabaikan.
Hari-hari berlalu, dan Catherine mulai merasa ada sesuatu yang aneh dengan Akbar. Dia sering mencari-cari alasan untuk mendekati Catherine, seperti meminjam catatan, meminta pendapat tentang tugas sekolah, atau bahkan sekadar bertanya hal-hal kecil yang seharusnya bisa dia cari tahu sendiri.
"Naufal, kamu perhatiin nggak sih, Akbar akhir-akhir ini suka deketin aku?" tanya Catherine dengan nada cemas saat mereka duduk di bangku taman setelah sesi belajar kelompok.
Naufal, sahabat Catherine yang selalu ada untuknya, mengerutkan kening. "Iya, aku juga perhatiin. Dia kayak punya tujuan tertentu. Kamu hati-hati aja, Cat. Kalau kamu nggak nyaman, bilang aja ke aku."
Catherine mengangguk, merasa sedikit lega karena Naufal selalu mendukungnya. "Aku cuma takut dia beneran suka sama aku. Aku nggak mau punya hubungan apa-apa sama dia. Aku masih ingat gimana dia dulu sering meremehkan aku."
Keesokan harinya di kelas, Akbar kembali menghampiri Catherine. "Cat, boleh minjem catatan matematika kamu? Soalnya aku ketinggalan pelajaran kemarin."
Catherine menyerahkan buku catatannya tanpa berkata banyak, merasa lebih baik tidak membuat situasi menjadi canggung. Tapi dalam hatinya, dia mulai merasa resah. Apakah Akbar benar-benar hanya ingin berteman, atau ada sesuatu yang lebih?
Di saat-saat seperti ini, Catherine bersyukur memiliki Naufal. Setiap kali Akbar terlalu banyak menghabiskan waktu di sekitarnya, Naufal selalu datang untuk memastikan Catherine merasa aman. Bahkan ketika mereka sedang makan siang bersama, Akbar muncul lagi dan duduk di meja mereka.
"Naufal, kamu suka tempat ini, ya?" kata Akbar, mencoba membuka obrolan sambil melirik Catherine.
Naufal tersenyum tipis, jelas menangkap maksud Akbar. "Iya, tempat ini nyaman buat ngobrol. Tapi kalau buat ngerepotin Catherine, kayaknya nggak cocok, deh."
Catherine tersenyum kecil, berterima kasih atas cara halus Naufal melindunginya. Meski begitu, dia tahu bahwa dia harus segera bicara dengan Akbar, memastikan perasaannya tidak berkembang lebih jauh. Namun, keberanian itu masih terasa sulit ditemukan.
Hari-hari, Catherine yang penuh dengan pembenahan diri tiba-tiba terasa lebih rumit dengan kehadiran Akbar yang semakin sering muncul. Awalnya, Catherine berpikir mungkin itu hanya kebetulan, tetapi lama-lama dia merasa Akbar seperti sengaja mencari-cari alasan untuk mendekatinya.
Saat sedang duduk santai di halaman rumah sambil membaca novel, tiba-tiba Akbar datang membawa sekotak makanan. “Hei, aku lagi lewat, jadi sekalian bawain ini buat kamu,” katanya dengan senyum canggung.
Catherine, yang merasa ada yang aneh, mencoba menolak dengan halus. “Oh, makasih, tapi aku lagi nggak lapar.”
Namun, Akbar tetap meletakkan kotak itu di atas meja kecil di sampingnya. “Nggak apa-apa, buat nanti aja. Lagian aku cuma mau ngobrol sebentar.”
Catherine mulai merasa tidak nyaman, tetapi dia mencoba tetap sopan. Setelah beberapa menit, alasan Akbar untuk bertahan semakin tidak masuk akal. Bahkan saat Catherine menyebutkan bahwa Naufal akan datang sebentar lagi, Akbar hanya mengangguk seolah-olah tidak peduli.
Di tempat lain, Adam dan Surya, teman dekat Akbar, sedang berbincang di sebuah warung. Melihat Akbar yang belakangan sering terlihat menghabiskan waktu di sekitar Catherine, mereka mulai menggoda.
“Bro, seriusan nih? Catherine? Kalau iya, bilang aja,” Surya berkata sambil tertawa kecil.
Adam menimpali, “Hati-hati, nanti dicuekin loh sama dia. Naufal udah lebih dulu deket tuh sama Catherine.”
Akbar pura-pura tidak mendengar dan menyesap teh manisnya. “Nggak ada apa-apa kok, kalian lebay aja.”
Tapi tatapan penuh arti dari Adam dan Surya membuat Akbar akhirnya mengeluh, “Udah deh, diem kalian. Serius nggak ada apa-apa.”
Namun, di dalam hati, Akbar mulai mempertanyakan perasaannya sendiri.