Ricard Dirgantara, pelayan bar yang terpaksa menjadi suami pengganti seorang putri konglomerat, Evelyn Narendra.
Hinaan, cacian dan cemooh terus terlontar untuk Richard, termasuk dari istrinya sendiri. Gara-gara Richard, rencana pernikahan Velyn dengan kekasihnya harus kandas.
Tetapi siapa sangka, menantu yang dihina dan terus diremehkan itu ternyata seorang milyader yang juga memiliki kemampuan khusus. Hingga keadaan berbalik, semua bertekuk lutut di kakinya termasuk mertua yang selalu mencacinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : BERTEMU KAKEK
Richard menyeret orang kepercayaan sang kakek keluar hingga depan pintu gerbang. Menghempaskan lengannya lalu berkacak pinggang. “Apa yang kamu lakukan di sini Delon?” sentak Richard dengan emosi.
“Maaf, Tuan. Ini darurat. Tuan Besar mengalami serangan jantung. Anda harus segera pulang,” papar Delon pada atasannya itu.
Richard menghela napas kasar, tangannya menyugar rambut yang dipenuhi keringat. Berpikir selama beberapa saat hingga akhirnya berbicara, “Siapkan penerbangan nanti malam. Dan siapkan juga tiket kembali, sebelum pagi tiba!” titah lelaki itu.
Senyum terurai dari bibir Delon, ia mengangguk dengan bersemangat, “Siap, Tuan. Akan segera saya laksanakan,” balasnya bersemangat. Setidaknya, sudah ada kemauan Richard untuk pulang dan menjenguk kakeknya.
“Pergi sana! Telepon saja kalau mau ketemu. Jangan asal datang seperti ini!” usir Richard mengayunkan kakinya untuk mengusir Delon.
“Permisi, Tuan!” Delon membungkuk lalu segera melenggang pergi.
Richard merapatkan pintu gerbang, kembali masuk ke rumah dengan perasaan berkecamuk. Saat membuka pintu utama, tersentak karena Velyn berdiri dengan tatapan tajamnya.
“Dari mana?” tanya wanita itu ketus.
“Eee ... itu, tadi ada orang iseng pencet bel. Jadi, aku marahi agar tidak berani melakukannya lagi,” ucapnya memijit lehernya yang meremang.
Tanpa berkata apa pun lagi, Velyn segera beranjak ke meja makan. Jam sudah menunjukkan waktu makan malam.
“Bi, semua masakan untuk Papa tidak dikasih garam ‘kan?” tanya Richard pada pelayan yang bertugas untuk memasak.
“Tidak, Tuan. Sesuai dengan permintaan,” balas wanita paruh baya yang menyiapkan makanan dibantu oleh lelaki itu.
“Mau kamu apakan makanan Papa?” selidik Velyn setelah meneguk teh hangat.
“Anu ... Non. Makanan Tuan tidak menggunakan garam dulu. Karena beliau sedang dalam penyembuhan,” papar pelayan itu lagi.
“Papa sakit?”
Richard pun memberi tahu kondisi Rendra saat ini. Velyn hanya menghela napas panjang. Lalu segera melahap makan malam tanpa menunggu anggota keluarganya yang lain.
...\=\=\=\=000\=\=\=\=...
.
.
Tepat pukul delapan malam, ponsel Richard memekik. Sudah dipastikan itu dari asistennya. Karena sebentar lagi pesawat akan segera lepas landas. Namun, Richard masih sibuk bersiap.
“Mau ke mana kamu?” tanya Velyn, dahinya berkerut tipis disertai tatapan menyelidik.
“Aku ada urusan sebentar. Tidak usah menungguku, tidurlah lebih dulu. Aku akan pulang sebelum pagi,” sahut Richard mengenakan sepatu dengan terburu-buru.
“Urusan apa? Ke bar lagi? Bukankah sudah aku peringatkan untuk berhenti bekerja. Kalau Papa tahu kamu habis nanti!” cecar wanita itu melipat kedua lengannya di dada.
Richard hanya tersenyum tipis, beranjak berdiri dan sedikit merunduk, “Tidak. Aku sudah keluar. Ini penting, dan aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Aku pergi ya,” pamit lelaki itu.
Tanpa menunggu protes lagi, Richard bergerak cepat keluar dari rumah. Ia juga berjalan sembari mengangkat ponselnya. “Iya! Iya! Sabar kenapa?!” sentak lelaki itu langsung mematikan panggilan.
Di luar, Delon sudah menunggu di dalam sebuah taksi. Mereka segera berangkat ke bandara. Cuaca malam itu cukup bersahabat. Dua jam perjalanan udara, telah mengantarkan mereka ke Negara asal Richard. Sudah ada sopir yang menunggu kedatangan mereka. Hanya butuh 20 menit, mereka akhirnya sampai di kediaman Dirgantara.
Richard turun dari mobil, memperhatikan lamat-lamat bangunan megah di hadapannya. Suasana masih sama, tidak berubah sejak kepergiannya lima tahun yang lalu. Lampu-lampu sudah banyak yang padam, mengingat sekarang sudah menjelang tengah malam.
“Silakan, Tuan!” Delon mengulurkan lengan, mempersilakan Richard untuk masuk.
Tanpa diduga, kakeknya sudah menyambut kedatangan Richard, duduk di kursi rodanya bersama seorang perawat. Dua pria beda usia itu saling beradu pandang.
Richard bergeming, matanya berkaca-kaca melihat sang kakek yang pucat, tubuhnya pun semakin kurus.
“Icad! Cucu Kakek!” seru Alex dengan suara gemetar, merentangkan kedua tangannya.
Panggilan kesayangan yang sangat dirindukan oleh Richard, akhirnya terdengar kembali. Pria itu berjongkok lalu memeluk kakeknya dengan erat. Satu-satunya keluarga yang tersisa, selain keluarga istrinya.
“Bagaimana kabarmu, anak nakal! Lama sekali kamu merajuknya!” lanjut lelaki tua itu menepuk-nepuk punggung kokoh Richard.
“Bukankah Kakek sendiri yang memintaku pergi?” balas Richard.
“Dasar cucu nakal! Bilang tidak mau menikah, sekarang justru sudah memiliki istri!” seru Kakek Alex mengetahui hasil penelusuran anak buahnya.
Richard meregangkan pelukannya, “Kek, waktuku tidak banyak. Ayo ke kamar. Aku akan memeriksa keadaan Kakek,"” pinta Richard mengabaikan sumpah setapah sang kakek.
Kening Alex mengerut tipis, “Sejak kapan kamu menjadi dokter? Sok-sok’an mau memeriksa kondisi Kakek?” cibir lelaki tua itu.
“Haiss! Kakek selalu meremehkanku! Buruan ke kamar!” Richard mengambil alih kursi roda dan membawa kakeknya ke kamar.
Dengan bantuan Delon, Alex dipindahkan ke atas ranjang. Richard pun segera menunjukkan kemampuannya. Memijat titik-titik syaraf sang kakek, yang sesekali membuat lelaki tua itu merintih kesakitan.
“Tensi Kakek tinggi ya? Makanya jangan suka marah-marah!” seloroh Richard meneruskan pijatannya.
“Gara-gara kamu, cucu kurang ajar!” seru Kakek melempar bantal pada cucu kesayangannya itu.
“Aku hanya membuktikan pada kakek, kalau aku bisa hidup dengan kedua kaki sendiri. Tanpa embel-embel dan harta gono-gini Dirgantara,” cetus Richard dengan sombongnya.
“Ah, dada kakek terasa lebih ringan. Kau belajar dari mana? Lima tahun ternyata mampu membuat kamu berubah, Icad! Maafkan Kakek. Sekarang kembalilah, perusahaan sangat membutuhkanmu. Kau lihat sendiri, Kakek sudah tidak mampu,” pinta lelaki tua itu menatap penuh harap pada ahli waris satu-satunya di keluarga Dirgantara.
“Emm ... untuk sementara, aku akan memantaunya dari sana, Kek. Biar Delon yang membantu. Karena masih banyak hal yang harus aku selesaikan di Negara A,” papar Richard menoleh pada Delon yang hanya menjadi pengamat sedari tadi. “Pesawat jam berapa?”
“Jam satu dini hari, Tuan!” balas Delon.
Richard menilik jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum pulang ke rumah sang istri.
“Kau ingin meninggalkan kakek lagi?” seru Alex menatap tajam.
"Sudah aku jelaskan, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan, Kek. Bersabarlah, aku akan membawa cucu menantumu ke sini! Dia sangat cantik!” puji lelaki itu tersenyum lebar.
“Ah, baiklah. Bawa dia, sekaligus cicitku. Awas saja kalau kamu berbohong!"
“Siap, Kek. Sekarang tidurlah! Aku akan memeriksa laporan perusahaan dulu sebelum pulang. Jangan makan sembarangan, Kek. Ikuti anjuran dokter kalau mau melihat cicitmu nanti.” Richard beranjak, memasangkan selimut pada kakeknya.
Ia bisa melihat binar kebahagiaan dari sang kakek. Setidaknya, akan menjadi semangat tersendiri. Walaupun ia masih kesulitan meluluhkan istrinya. 'Cucu! Melakukannya saja cuma sekali. Tidak mungkin langsung tumbuh benih,' batinnya terkekeh.
Setelah berpamitan, Richard segera pergi ke ruang kerjanya bersama Delon. Waktu yang sangat terbatas mengharuskan ia membawa laptop dan berkas-berkas penting yang harus diperiksa. Dengan bantuan Delon, Richard bisa kembali pulang tepat waktu.
...\=\=\=\=000\=\=\=\=...
“Kenapa enggak sekalian pulang pagi aja?” tanya Velyn yang masih terjaga di meja kerjanya. Padahal hari sudah menjelang pagi.
“Kok belum tidur?” tanya Richard menyembunyikan tas kerja dan meletakkannya perlahan.
Velyn hanya diam saja. Kacamata bertengger di hidung mancungnya, kedua jari jemarinya sibuk di atas keyboard. Rambut panjangnya bergelung asal-asalan, memancarkan aura yang berbeda dalam pendar remang cahaya laptop.
Richard berinisiatif untuk menghampiri. Ia memijat kedua bahu istrinya yang tampak menegang karena lelah yang menghujam.
Lama kelamaan, Velyn merasa lebih rileks. “Ada masalah di perusahaan,” ucap wanita itu dengan lesu. Beban yang ia tanggung seorang diri, begitu besar. Velyn butuh tempat curhat. Sekalipun tidak memberikan solusi.
“Coba aku lihat, siapa tahu bisa membantu,” tawar Richard hendak merunduk menatap layar laptop lamat-lamat, jaraknya begitu dekat dengan Velyn. Embusan napas segar dan dingin usai perjalanan, kini menerpa leher jenjang wanita itu.
Decak kesal Velyn membalas ucapan Richard, ia mendorong kepala Richard agar menjauh, “Apa yang bisa kamu lakukan?!” ejek wanita itu tertawa sumbang. “Seorang pelayan bar mana mengerti krisis perusahaan besar!” sambungnya mencibir.
Bersambung~
Bestiiee... Yok Komennya terbangin 💋😅 Sabar sabar... sesabar Icad 💖
semoga sehat selalu 🤗🤗🤗
ck.. ck.. ck..
Malunya gak akan abis tujuh turunan..
Sulit buat Velyn.. makin cinta dech.. /Heart//Heart/
aq kasih bunga sama Vote
Mana panas pula lihat Stevy dah masuk mobil Delon