“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 33
“Bagaimana bisa ada ular sebesar itu di dalam mobil?” Gun berkicau tak habis pikir.
Saat ini dia dan Suzi sudah berada di dalam kendaraan yang sama, mulai melaju meninggalkan area danau.
“Mungkin terjatuh dari pohon.”
Menanggapi asumsi Suzi, pikiran Gun bergerak mundur ke pemandangan tempat di mana mobil dia parkirkan tadi.
“Tidak mungkin!” sanggahnya setelah dengan jelas meraih ingatan yang hanya berlangsung tujuh detik saja. “Pohon sekurus itu tidak akan mungkin menampung ular sebesar tadi. Jika dari danau, tidak ada bekas di rerumputan pergerakannya.”
Ukuran phyton itu sebesar betisnya, panjang dan bertenaga, sementara pohon yang disebut Suzi terlihat tak memungkinkan. Daunnya saja hampir botak. Pohon lain lebih sehat bahkan berjauhan jarak.
Gun sempat kesulitan menyingkirkannya karena sang reptil terus berontak dan berusaha ingin melilit. Beruntung dia punya banyak cara. Sekarang nasib ular itu terikat di badan pohon dengan mulut rapat terlilit syal rajut milik Suzi yang tertinggal di dalam mobil.
Suzi sudah menghubungi petugas terkait hal itu.
Melupakan kejadian demikian, Gun bertanya, “Apa ada tujuan lain setelah ini?”
Suzi yang diam langsung menoleh. “Tidak,” katanya dengan gelengan tipis. “Kita pulang saja.”
“Oke.”
Tujuan jelas, Gun menambah kecepatan laju mobilnya agar bisa sampai dengan cepat ke tengah kota.
Di depan terlihat sebuah mobil bak besar pengangkut kayu, Gun berniat akan menyisi untuk memberi celah lebih lebar pada mobil itu, namun saat menginjak rem ....
“Kenapa tidak berfungsi?” Berulang dia menekan pedal rem dengan telapak kaki.
“Apanya yang tidak berfungsi?!" Suzi menoleh pria itu.
“Remnya!” jawab Gun, terus menginjak namun keadaan tetap sama.
Sementara mobil pengangkut kayu yang besar itu semakin dekat.
1 ... 2 ... 3 ....
....
“GUN, AWAASSSSS!!”
Opsi yang tersisa hanyalah membuang setir ke mana saja.
Alhasil ....
BRAAAKK!!!
Mobil yang dikendalikan Gun tertabrak ke sebuah pohon di tepi jalan, bagian depannya hancur dan mengepulkan asap beberapa saat setelahnya.
Gun memegangi kepalanya seraya meringis tipis setelah membentur setir. “Sial!” Lalu segera menoleh Suzi. “Suzi, kau tak apa?!”
Namun wanita itu nampak bergeming. Kepalanya tersangga sandaran kursi dengan rambut teracak menutupi wajah. Matanya rapat terpejam.
Segera dengan cepat Gun meraihnya. Menyibak rambut lalu memastikan detak jantungnya melalui hidung dan denyut nadi di pergelangan. “Syukurlah, dia masih hidup!”
Saat yang sama, percikan api muncul di depan. Gun membelalakkan mata ke arah sana. Bergegas dia keluar untuk membuka pintu bagian Kim Suzi, lalu mengeluarkan wanita itu sesegera mungkin sebelum mobil benar-benar meledak.
Dengan kekuatan penuh, Suzi dibawa lari dalam gendongan punggung untuk menjauh dari mobil nahas sialan yang umurnya sesaat lagi.
Setelah kurang lebih berjarak 120 meter jauhnya ....
DUAAAARRRR!
Benar-benar meledak.
Gun menghentikan langkah hanya sekedar untuk menoleh dan menatap. Kobaran api langsung menelan mobil nahas itu tanpa ikut memikirkan harga dan nilainya yang fantastis.
“Gun.”
Suara Kim Suzi terdengar parau.
“Kau sadar?" Gun terkejut tapi juga lega. Segera dia menurunkan wanita itu dari gendongan, lalu mendudukannya dengan hati-hati di atas rerumputan tepian jalan.
Wajah Suzi pucat pasi karena ketakutan dan keterkejutan yang tak terukur.
“Mobil kita!” Suzi melihat ke arah mobil yang terbakar.
“Bodoh!” semprot Gun. “Kau sadar hanya untuk mengingat mobil? Ayahmu seorang presiden. Satu mobil meledak tidak akan membuatmu pergi ke pasar berjalan kaki seumur hidup. Pikirkan dirimu sendiri dulu. Apa kau baik-baik saja?!”
Suzi terperangah sekian saat, kemudian mengangguk kaku. “Sudah lebih baik.”
“Syukurlah. Setidaknya aku tidak harus menggendongmu sampai tengah malam buta.”
Lagi-lagi pria itu membuat Suzi lupa dengan kesulitan yang sedang dihadapi. Dia bahkan lupa baru saja kembali dari acara pingsan.
“Tapi ponselku ada di mobil, bagaimana dengan ponselmu?”
Barulah Gun paham jika tujuan Suzi bukan hanya tentang mobil yang meledak, ponsel untuk menghubungi orang terkait pertolongan yang saat ini mereka butuhkan juga terbakar.
“Ponselku ...?” Gun meraba saku bagian dalam jasnya, lalu turun ke dua saku celana, kemudian tertegun dengan tampang kosong pertanda buruk. “Kurasa ponselku juga terbakar. Aku menaruhnya di dasbor setelah menerima panggilan Jae Won tadi.”
Suzi melebarkan mulut, lalu mendesah panjang. Pandangan diedarnya ke sekitaran. “Jalanan ini tak pernah berubah, selalu sepi,” katanya. “Hanya orang seperti kita yang melintasinya hanya untuk pergi ke danau.”
“Dan mobil kayu sialan tadi!” timpal Gun cepat dan sedikit kesal, mengingat mobil kayu itu salah satu penyebab kesialan yang saat ini mereka alami.
“Baiklah!” Dia menegakkan tubuh, tak ingin berlarut dalam nasib konyol yang mengesalkan. “Tidak ada pilihan yang lebih baik dari berjalan kaki.” Disodorkannya telapak tangan ke hadapan Suzi. “Ayo!”
Gadis itu mendongak, menatap tangan Gun yang terjulur, lalu menerima tanpa mengatakan apa pun.
“Episode kedua hari ini bergandengan tangan,” celetuk Gun, mulai lagi.
“Kedua?” Suzi mengernyit kening.
“Ya!” jawab Gun. “Pertama di tepi danau, sekarang jalanan sepi yang mulai gelap.”
Suzi tak punya kata, selain gelengan kecil disertai senyum setipis harapan sekarang.
Empat kilometer radius yang dibutuhkan untuk sampai ke jalanan besar menuju kota. Dan itu terasa melelahkan bagi Suzi yang belum makan apa pun lagi sejak pagi selain sarapan sepotong roti.
Gun ikut berhenti saat Suzi melakukannya. “Kau baik-baik saja?”
“Aku ... kurasa aku tidak kuat lagi. Kakiku lelah,” jawab Suzi jujur. Embun bening keringat memenuhi pelipisnya, dia usap sekilas dengan punggung telapak tangan.
Gun melihat lututnya gemetar. Inisiatif gentleman dalam otaknya mencuat cepat. “Naiklah ke punggungku.” Posisi segera dia siapkan, tubuh merendah membelakangi wanita itu menyodorkan punggung kosong yang sedikit basah oleh keringat.
“Tapi kau juga lelah.” Suzi tak enak hati.
“Naik saja!”
Percuma menolak, Gun akan tetap memaksakan apa yang dia minta. Sedikit banyak, Suzi sudah paham lelaki itu.
Dengan terpaksa dia melekatkan diri ke punggung Gun, mengalungkan dua tangan ke leher yang aromanya cukup membius----aroma parfum campur keringat.
Perjalanan kembali dimulai dengan hanya dua kaki Gun yang berjalan.
Semakin jauh, suasana semakin beranjak kelam. Langkah kaki Gun mulai melambat, tapi pria itu tak mengeluhkan apa pun.
“Kita berhenti saja. Istirahat dulu!" Suzi tak tega.
“Tinggal sedikit lagi.”
“Aku yang ingin istirahat!” Suzi menurunkan diri dengan cepat dari punggung yang menggendongnya. “Tidur di bawah pohon, aku tak keberatan. Aku ingin tidur.”
Gun tak bisa menimpal lagi. Suzi sudah melanting langkah dengan tenaga sisa, menghampiri sebuah pohon yang cukup besar di tepi, sepuluh meter dari jalanan kurang lebih. Dia mengikuti tanpa pilihan.
Tak disangka Suzi benar-benar tertidur, sementara Gun masih terjaga di sampingnya, meminjamkan pundak untuk sandaran kepala wanita itu.
Sesekali matanya awas mengedar ke sekitaran, takut-takut ular yang tadi menyusul lagi.----Bodo amat!
Namun detik berikutnya semua alasan menjadi lain. Wajah Suzi yang justru menjadi objek karyawisata tatapan mata, dia tak bisa beralih dari sana walau sesaat.
Saat yang sama, mata berbulu lentik milik putri Kim itu terbuka, sontak menangkap sepasang mata bening yang menatapnya 'tak pakai otak.
Tatapan keduanya otomatis terkunci.
Sebagai lelaki normal, Gun sungguh tak bisa menahan diri. Bibir mungil itu pasti rasanya kenyal dan manis walau sedikit pucat.
Satu tangannya naik merangkum pipi Suzi yang dingin, lalu memajukan bibirnya dengan perlahan.
Terbawa suasana, Suzi berpasrah.
Legenda terbentuk.
Berbagi kecup setelah tragedi ular dan mobil meledak ... It's not bad!
...°°°°°°°°...
Baca juga! 👇
maaf ya thor 🙏 aq slow respon baca novelmu karena aq tepar euy udah 4 hari ini, thor jangan lupa jangan kesehatan ya 💪😍 & semoga lancar rejeki bwt dirimu thor 🤲
seneng bgt 👍👍👍👍
🙏🙏🙏🙏🙏🙏.
bilamana memang pembaca suka dan sllu menantikan update anda thor...pasti walaupun boom update juga pasti like...itu pasti...
Oiya kabar Archie gimana? Masih koma kah? Kangen sama aksi² Archie yang heroik, Archie dimana kau ❤️