NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka Dalam Duka

Pagi di sebuah pengadilan Kota Bahari. Cuaca cerah seperti hari kemarin. Di jalanan umum hiruk pikuk kendaraan terdengar silih berganti. Menjemput rejeki untuk anak istri yang sedang menunggu di rumahnya masing-masing.

"Raka, hari ini, indra kuncoro akan di hadirkan di persidangan. Orang-orangnya kamu, bagaimana?" tanyanya Marto di luar jeruji besi.

"Semua sudah siap," sahutku.

"Baguslah. Dari awal, aku yakin, kamu pasti bisa melakukannya. Jangan khawatir, aku akan menemanimu sampai semuanya kembali bersih." Marto menghela nafasnya. "Di sini, kita dilahirkan juga di besarkan. Ini kota kita, Raka. Jangan di rusak lagi, hanya karena hasrat sesaat. Buang jauh-jauh sifat egoismu yang hanya mementingkan diri sendiri. Kita bukan lagi anak SMA yang bandel. Siapa lagi yang mau merawat kota ini, kalau bukan pribumi itu sendiri. Generasi muda harus sadar akan itu, Raka." Memberi wejangan.

Kami mendengarkan.

Selintas, aku merenung. "Dari dulu, pendirian dan sifatnya kamu nggak pernah berubah, Marto. Aku bangga, bangga pernah menjadi bagian dari warga kelasmu," ucapku sembari memberikan senyuman terbaik untuk Marto.

Marto membalas datar. "Iya sudah. Hanya itu yang ingin aku tanyakan dan sampaikan padamu, Raka. Aku mau masuk dulu, ada yang perlu aku siapkan." Meninggalkanku dengan raut tegang.

Ia selalu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas dan kewajibannya. "Marto ... Jangan terlalu tegang, bikin santai saja," teriakku padanya.

Sambil lalu, ia hanya mengangkat tangannya, tak menengok.

Tegar, Aryanto, Supri dan teman yang lainnya. Memberikan semangat padaku.

Aku kembali senyuman.

Lima menit kemudian, dari arah jam sembilan. Ibu datang menjenguk, melangkah mendekat. Aku memandang malu, ingin menunduk. Namun, hati rindu. "Ibu!" seruku.

Ibu tersenyum. "Kamu apa kabar?" tanyanya Ibu datar.

"Alhamdulillah, sehat." Mencium tangannya Ibu. "Ibu, bagaimana?"

Ibu membuka kantong tas yang sedari tadi ditentengnya. Mengeluarkan makanan sembari berkata. "Kamu nggak perlu mengkhawatirkan Ibu. Ibu baik-baik saja." Menyodorkan makanan ke sela-sela jeruji besi.

"Makasih, Bu ... ." Aku membaginya pada teman-teman.

Mereka berebut.

"Ibu, terima kasih yah," ucapnya mereka bergantian pada Ibuku.

Ibu menyahuti. "Iya, sama-sama."

Ibu mengeluarkan makanannya lagi.

"Riana di mana?" tanyaku.

Ibu tidak menanggapi. "Siapa yang mau roti." Menawarkan pada mereka.

Supri menyambar. "Makasih, Ibu."

Tegar, Aryanto dan sepuluh teman lainnya sibuk berebut makanan.

"Bagi yang adil," celetuk Aryanto seiring mengamankan dua bungkus roti di sakunya.

"Sabar, jangan rebutan," pekik Tegar pada temannya yang belum kebagian bersamaan dengan mengunyah makanan di dalam mulutnya.

Ibu berucap. "Ini jatah kamu." Membukakan sebungkus nasi untukku.

Aku kembali bertanya. "Riana di mana, Ibu. Kenapa nggak sekalian diajak ke sini."

"Ini di makan dulu." Menyodorkan makanan paduku.

Aku mengabaikan.

Ibu menarik lagi makanannya. Ekspresi Ibu berubah. "Dua hari yang lalu, riana pamit ke Ibu."

"Pamit bagaimana?" tanyaku.

"Katanya, minggu depan, dia mau menikah." Ibu menghela nafas.

Aku tertegun.

Ibu meneruskan. "Ibu bukan siapa-siapanya dia. Jadi, Ibu nggak bisa mencegahnya. Ibu justru mendoakan yang terbaik untuknya. Ibu juga sempat mengucapkan terima kasih pada riana. Karena, dia sudah sering menjenguk kamu di sini, Ibu yakin, kamu juga pasti akan berkata yang sama, seperti apa yang Ibu ucapkan pada riana," ungkapnya Ibu.

Aku terdiam.

"Ini, di makan dulu." Ibu menyodorkan makanan.

Aku tercekat lesu.

Ibu berucap. "Ibu tahu, ini pasti berat buat kamu, Raka. Anggap saja, ini proses perjalanan pendewasaan yang harus kamu lalui. Kelak, kamu akan tahu dan bersyukur atas apa yang sudah terjadi di kehidupanmu." Meletakkan makanan di depanku. "Ibu hanya bisa mendoakan kamu agar berubah menjadi orang yang baik, mi-ni-mal ... untuk dirimu sendiri." Ibu memberikan senyuman.

Pandanganku mengambang.

"Nak ... ." Nadanya Ibu menurun. "Ingat ... . Jangan pernah berkecil hati, apalagi berputus asa atas kehendakNya. Apa yang sudah terjadi di kehidupan kita. Pasti menyimpan rahasia yang indah. Keindahan itu jangan sampai di sia-siakan, juga jangan kamu rusak dengan amarah dan kebencian," tuturnya Ibu.

Pikiranku melambung, tak punya kosakata untuk menyahuti Ibu.

"Sabar, yah," ucap Ibu.

"Benar apa yang pernah dikatakan oleh tegar. Memindahkan posisi nggak semudah itu," gumamku dalam hati.

"Raka ... ." Panggilnya Ibu, lirih.

"Iya," lesu.

"Kamu nggak apa-apa, kan." Ibu memberikan makanan.

Aku meraihnya tanpa ekspresi. Meletakkan makanan ke sampingku. Sekejap langsung menghilang. Ramai jadi rebutan. Aku merasa sepi di tengah suasana hiruk.

"Ibu yakin, kamu pasti kuat menghadapi semuanya," bisiknya Ibu.

Aku mengusap muka dengan kedua tangan yang terborgol. Gesekkan rantai besi pada borgol, melengking di kepalaku seiring dengan sumpahnya. Berganti rintihan dan tangis air matanya. Sepintas terdengar suaranya yang memelas. Hangat peluknya masih terasa. Seolah, baru satu detik yang lalu, dia berada di depanku. Sendu kalimatnya, isak kala berucap. Aku memapah, meraihnya penuh kasih. Kembali aku mendengar sumpahnya yang di saksikan oleh langit malam, waktu itu. Bulan jingga menggelantung merana. Bintang datang dengan mahkota tanpa senjata, meski nestapa berjanji untuk menghabisinya. Di gerbang semesta, bulan justru merajai hatinya. Aku tak percaya, kini telah usai. Semoga ini hanya mimpi di pagi hari.

"Raka ... ." Ibu kembali menyebut namaku.

Setengah tak percaya, aku berucap. "Ibu, apakah aku sedang bermimpi?"

Mata Ibu berkaca-kaca. Seolah Ibu tahu apa yang sedang aku rasakan.

"Aku harus segera mandi dan berangkat ke sekolah, Ibu. Kenapa kita masih di sini. Nanti aku terlambat lagi ke sekolah." Pikiranku kacau.

Ibu mengelus rambutku melalui sela-sela jeruji besi.

"Maaf Ibu ... . A-aku su-dah me-nge-ce-wa-kan I-ibu." Aku menunduk dalam.

"Nggak apa-apa, Nak. Masih banyak waktu untuk memperbaikinya. Mau, kan, kamu berjanji pada Ibu?" pintanya Ibu.

"Iya Ibu."

"Berjanjilah pada Ibu, Raka. Apapun yang terjadi, hari ini atau nanti. Bersabarlah, kadang sang waktu punya maksud dan tujuan yang lebih baik dibalik semuanya. Kamu harus lebih berhati-hati menjalani hidup ini. Musuhmu adalah dirimu sendiri. Jangan jadikan orang lain sebagai musuhmu. Sekali lagi, kamu harus bersabar, Raka." Ibu menasihati.

"TERIMA KASIH ... atas makanannya. Semoga, Ibu sekeluarga diberi rejeki yang melimpah," celetuknya Tegar membuyarkan suasana lara.

"Iya, sama-sama." Nampak senyuman yang dipaksakan oleh Ibu.

"Jangan bosan menjenguk kita di sini, ya, Ibu." Tegar menyeringai.

Aku masih tertunduk lemas.

Ibu menghela nafas. "Ibu pamit dulu yah, Ibu mau istirahat di ruangan tunggu."

"Iya, Ibu ... ."

"MAKASIH BANYAK ... ."

"HATI-HATI ... ."

Suara riuh dari teman-teman seiring melambai-lambaikan tangan, mereka merasa senang telah mendapatkan makanan dari Ibuku. Karena bagi para tahanan, mendapatkan makanan dari luar adalah sebuah kebahagiaan yang di nanti-nanti setiap harinya.

"JANGAN BOSAN-BOSAN MENJENGUK KAMI DI SINI ... ," pekik Supri.

Ibu menengok, membalas mereka dengan senyuman. Mungkin itu sebuah keterpaksaan, pura-pura tenang. Padahal hatinya sedang sedih melihat anaknya yang terluka dalam duka. Atau barangkali mungkin, Ibu sedang mengajarkan padaku, tentang bagaimana caranya menerima garis takdir dengan berlapang dada. Seperti yang sedang ibu tunjukkan padaku kini. Pikiranku limbung tak menentu.

1
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!