**Sinopsis:**
Luna selalu mengagumi hubungan sempurna kakaknya, Elise, dengan suaminya, Damon. Namun, ketika Luna tanpa sengaja menemukan bahwa mereka tidur di kamar terpisah, dia tak bisa lagi mengabaikan firasat buruknya. Saat mencoba mengungkap rahasia di balik senyum palsu mereka, Damon memergoki Luna dan memintanya mendengar kisah yang tak pernah ia bayangkan. Rahasia kelam yang terungkap mengancam untuk menghancurkan segalanya, dan Luna kini terjebak dalam dilema: Haruskah dia membuka kebenaran yang akan merusak keluarga mereka, atau membiarkan rahasia ini terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alim farid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Sabtu malam yang telah lama dinantikan oleh luna akhirnya tiba, sebuah malam yang dipenuhi harapan dan impian yang menggantung di ujung langit. Setiap detik menuju malam itu, luna telah mempersiapkan diri dengan cermat, merajut setiap detail dengan penuh kecermatan dan rasa antisipasi. Dalam hatinya, malam ini adalah sebuah kesempatan untuk mengubah segalanya—malam di mana ia berharap kevin, senior yang selama ini hanya mampu ia kagumi dari kejauhan, akan mulai memperhatikannya dengan tatapan yang berbeda. Acara tahunan kampus menjadi latar yang sempurna untuk mewujudkan harapannya. kevin, yang telah dua kali berturut-turut dinobatkan sebagai pangeran kampus, selalu hadir bersama viona, gadis yang menjadi pendampingnya dalam setiap momen penting. Namun, meskipun banyak teman mereka menggoda bahwa kevin dan viona adalah pasangan yang sempurna, luna percaya bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sekadar persahabatan. Terlebih lagi, luna pernah melihat viona bersama kekasihnya, yang membuat secercah harapan menyala di dalam hatinya.
Malam itu, luna melangkah dengan keyakinan yang luar biasa, mengenakan gaun merah yang memukau—gaun yang telah dipilihnya dengan hati-hati untuk menonjolkan pesonanya yang tersembunyi. Potongan bahu terbuka pada gaun itu memperlihatkan tulang selangkanya yang indah, sementara belahan panjang pada rok menonjolkan kaki jenjangnya dengan elegan. Wajahnya bersinar dengan mayasan yang sempurna, menciptakan aura yang memikat setiap pasang mata yang memandangnya. Teman-temannya tak henti-hentinya melontarkan pujian, terpesona oleh transformasi penampilannya yang begitu memukau.
"luna, kamu benar-benar seperti bidadari yang turun dari langit malam ini," ujar maya, sahabat dekatnya, dengan nada kagum yang tulus.
luna hanya tersenyum tipis, menanggapi pujian itu dengan kerendahan hati. "Kamu terlalu berlebihan, maya," balasnya, meskipun jauh di dalam hatinya, ia berharap penampilannya yang memukau ini akan menarik perhatian kevin. Bukan untuk bersaing dengan viona, melainkan untuk menunjukkan bahwa ada seseorang di sekitarnya yang selama ini mengaguminya dengan tulus, tanpa pamrih.
Saat acara dimulai, luna memilih tempat duduk di samping nadia, sahabat yang selalu setia di sisinya, serta beberapa teman lainnya. Namun, perhatiannya terpaku pada satu sosok—kevin. Matanya terus mencari kehadirannya di tengah keramaian, dan ketika akhirnya ia menemukannya, kevin sedang asyik berbincang dengan teman-temannya. Setiap kali pandangan mereka bersirobok, jantung luna berdebar kencang, seolah-olah setiap tatapan itu adalah sebuah janji yang belum terucap. Namun, luna berusaha untuk tetap tenang, menjaga agar dirinya tidak tampak terlalu berharap, jika nanti kevin mendekatinya.
Ketika acara mencapai puncaknya, suasana yang semula riuh berubah menjadi lebih tenang dan intim. Musik mulai mengalun lembut, menciptakan atmosfer yang penuh harapan dan keintiman. Tiba-tiba, kevin melangkah ke atas panggung, mengambil mikrofon dengan tangan yang mantap. "Teman-teman, ada sesuatu yang ingin aku katakan malam ini. Ada seseorang yang telah lama menarik perhatianku," suaranya terdengar dalam dan penuh keyakinan, memecah keheningan yang mendadak memenuhi ruangan. Semua mata tertuju padanya, termasuk luna, yang hatinya berdegup kencang penuh harap.
Darah luna mengalir cepat, membuat wajahnya memerah oleh antisipasi. Pandangan kevin yang terfokus ke arahnya membuat harapan yang lama terpendam itu kembali menyala dengan kekuatan yang luar biasa. Mungkinkah malam ini adalah malam yang selama ini ia impikan—malam di mana kevin akan mengungkapkan perasaan yang selama ini hanya berani luna bayangkan dalam mimpinya?
"Wuu! Siapa? Siapa?" teriakan beberapa teman mereka menggema di aula, menambah ketegangan yang semakin menguat. kevin mulai melangkah turun dari panggung, berjalan perlahan menuju meja di mana luna dan teman-temannya duduk. luna menahan napas, perasaannya bercampur aduk antara harapan dan ketakutan saat kevin berhenti tepat di depannya. Waktu seolah berhenti ketika tatapan mereka bertemu. Namun, saat kevin mengeluarkan setangkai mawar merah dari balik punggungnya, detik itu juga dunia luna hancur.
“nadia, maukah kamu menjadi pacarku?” suara kevin terdengar lembut namun penuh kepastian, menghancurkan setiap mimpi yang selama ini dijaga luna dengan hati-hati. Dunia yang tadinya penuh warna seketika memudar menjadi abu-abu, saat kenyataan pahit itu menyergap hatinya tanpa ampun.
Dalam hitungan detik, semua harapan dan impian yang telah luna bangun selama ini runtuh tanpa ampun. Sorak-sorai dan tepuk tangan teman-temannya yang memberikan selamat kepada nadia terdengar jauh, seakan berasal dari dunia lain. kevin, yang selama ini menjadi sumber harapannya, ternyata tak pernah melihatnya lebih dari sekadar teman. nadia, sahabat yang selalu ada di sisinya, adalah yang terpilih oleh kevin, meninggalkan luna dengan perasaan hampa dan patah hati yang begitu mendalam.
luna berjuang menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya, mencoba menelan kepahitan yang seolah menghantamnya bertubi-tubi. Dengan senyum getir yang hampir tak terlihat, ia memberi ruang bagi kevin untuk duduk di samping nadia. Di tengah keramaian dan kebahagiaan yang menyelimuti mereka, luna hanya bisa duduk terdiam, menyaksikan dengan hati yang hancur. Saat kevin dan nadia saling bertukar senyum bahagia, luka di hati luna semakin dalam, merobek setiap sisa kebahagiaan yang mungkin masih ada.
Setelah dengan berat hati mengucapkan selamat kepada nadia, suaranya nyaris tak terdengar, luna segera berdiri dan meninggalkan tempat itu. Ia tak lagi sanggup melihat pemandangan yang begitu menyakitkan hatinya. Dengan langkah cepat dan perasaan yang hancur, ia mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya. Namun, tak seorang pun yang tahu bahwa saat ia melangkah pergi, kevin sempat menatapnya dengan senyum yang sulit diartikan—sebuah senyum yang mungkin menyimpan rahasia yang tak pernah terungkap.
luna terus melangkah, berusaha meninggalkan segala rasa sakit di belakangnya. Tanpa tujuan yang jelas, ia menemukan dirinya berjalan menuju sebuah klub malam yang tidak jauh dari lokasi acara. Rasa kecewa dan sakit hati yang begitu mendalam mendorongnya untuk mencari pelarian, meskipun ia tahu bahwa itu hanyalah pelarian sementara yang tak akan pernah benar-benar menyembuhkan lukanya.
"Satu shot Tequila dan dua botol bir, tolong," suaranya serak saat ia memesan kepada bartender. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah dengan deras di pipinya, tanpa lagi bisa dihentikan.
luna meneguk minuman demi minuman dengan harapan bahwa alkohol bisa menghapus rasa sakit yang menghancurkan hatinya. Namun, semakin banyak ia minum, semakin berat kepalanya terasa, dan semakin kabur pandangannya, luka di hatinya tetap terasa begitu nyata, seolah tak terjamah oleh alkohol yang mengalir deras di tubuhnya.
"kevin, kenapa kamu membuatku berharap hanya untuk menghancurkannya?" batinnya berteriak dengan penuh kemarahan dan kekecewaan. Dengan sisa tenaga yang tersisa, luna mengangkat gelasnya sekali lagi, meminta satu shot lagi dalam upaya putus asa untuk menenggelamkan segala rasa yang menyakitkan.
"Satu lagi, tolong," pintanya dengan suara lemah, seolah berharap bahwa lebih banyak alkohol akan mampu menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Namun, meskipun telah menenggak begitu banyak minuman, luka di hatinya tetap tak tergoyahkan. Air mata terus mengalir tanpa henti, seakan tak ada akhirnya.
"Aku harus menemukan maya yang lebih baik dari dia!" serunya dalam keadaan mabuk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, jauh di lubuk hatinya, luna tahu bahwa ini bukan hanya tentang menemukan maya lain. Ini tentang menerima kenyataan pahit bahwa cinta tidak selalu berpihak padanya. Ini tentang belajar untuk melepaskan, meskipun itu berarti melepaskan impian yang selama ini telah ia rajut dengan penuh harapan.
Dengan pandangan yang kabur dan hati yang hancur, luna menatap ke sekeliling, seolah mencari sesuatu yang tak pernah ada. "Di mana kamu, jodohku?" bisiknya pelan, sebelum akhirnya kepalanya bersandar di meja bar, matanya terpejam dengan harapan bahwa ketika ia membuka mata lagi, semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa segera ia lupakan.