Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan yang Gagal
Langkah Pak Suryadi semakin mendekat. Dia menarik kursi lalu duduk di depan mejaku. Aku langsung menjawab pertanyaannya.
“Hemm.. kayaknya saya lebih fokus kerja di kantor deh Pak!”
“Memangnya suami kamu nggak nunggu di luar?”
“Enggak, saya pulang ke rumah Ibu!”
Laki-laki itu kemudian menggeser kursi lagi ke arah lebih dekat. Seolah dia membaca ada yang tidak beres dalam kehidupan pernikahanku. Beberapa kali aku memang sempat minta maaf karena tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai target.
“Raina, kalau ada masalah, enggak apa-apa loh kamu libur dulu. Modul terakhir yang kamu buat kemarin, banyak yang salah loh. Bukan isinya ya, justru hal yang sepele. Salah ketik lah, pemilihan slide yang aneh, font nggak konsisten. Belum lagi grafiknya yang banyak warna. Kayaknya kamu kecapean atau ada masalah gitu?”
Aku tertergun. Sebanyak itukah kesalahanku? Aku tidak memeriksa kembali modul yang sudah aku buat. Ya ampun, kok bisa aku melakukan kesalahan yang katanya sepele padahal hal itu sangat mendasar.
“Wah, maaf Pak, nanti saya revisi. Yang mana ya modulnya?” aku sibuk membuka tumpukan modul yang sudah dicetak di atas meja.
“Tuh, sudah saya kasih note di atasnya.” Pak Suryadi lantas berdiri.
“Eh Bapak mau ke mana? Pulang? mau diskusi dulu nih masalah revisi tadi!” Aku mencegah langkahnya dengan segera.
“Duh sudah-sudah besok aja, sekarang saya mau jemput istri di rumah keluarga mantannya!” Dia berbisik sambil tersenyum.
“Hah, mantan? Istri Bapak ketemu mantan?” spontan aku bertanya karena penasaran.
“Iih kepo. Iya, mantan pacar. Tapi sudah dekat dari dulu, sudah seperti keluarga. Hari ini lagi ada pengajian di rumah keluarga mantannya itu, jadi saya mesti jemput soalnya sudah selesai dari tadi.” Dengan santai, Pak Suryadi menceritakan soal istrinya yang sedang berkumpul dengan keluarga mantan pacar.
“Pak .. Pak .. sebentar Pak!” Aku berlari mengejar langkah atasanku ke luar pintu. Kantor hari itu sudah sepi, beberapa staf sudah pulang karena ini hari jumat.
“Apa lagi pertanyaannya Bu Raina?” Dia menatapku sambil tersenyum lagi. Sepertinya selama ini, dia sudah menduga kalau Riko adalah pria yang sangat posesif.
“Memang Bapak enggak keberatan kalau istri Bapak berhubungan sama mantan dan keluarganya?”
“Raina, mantan pacar istri saya itu sudah menikah. Dan kalaupun belum menikah, tidak masalah juga. Kenapa keberatan, sekarang kan mereka berteman dan sudah seperti keluarga sejak dulu. Hidup itu untuk masa depan, bukan masa lalu. Dan untuk apa keberatan? Saya percaya dengan istri saya!”
“Oh gitu ya. Maaf ya Pak jadi nanya-nanya.” Aku berdiri di depan pintu mobil Pak Suryadi
“Iya…. Nggak masalah. Saya open kok buat diskusi apapun, oke ya saya jalan dulu!”
Pak Suryadi menutup pintunya lalu melajukan kendaraan keluar dari halaman kantor. Aku masih saja berdiri di atas aspal yang mulai ditumbuhi rumput liar. Kurenungkan kata-kata atasanku tadi. Seandainya Riko bisa seperti itu? Ah sudahlah.
“Pak Ade…. Tolong panggil tukang rumput buat bersihkan area parkir besok pagi ya!”
Aku pamit pada satpam dengan tubuh tinggi dan berkulit legam. Masih ada tiga orang di dalam, berkutat dengan angka dan neraca. Aku melenggang menuju rumah. Rasanya, keputusanku untuk berpisah tidak salah.Tapi dengan aturan yang diterapkan pengadilan agama tadi, aku harus menunda perceraian ini.
Sambil melangkahkan kaki menunggu angkutan umum, aku kembali teringat Krisna. Pria yang dikabarkan telah meninggal itu masih menyisakan keraguan. Aku harus menggali informasi lagi. Tetapi, sebenarnya untuk apa? Apa yang kulakukan jika Krisna masih hidup dan baik-baik saja. Kenapa khayalanku terlalu jauh? Kenapa aku berpikir bahwa berita dari Dini adalah kebohongan. Dan mengapa aku juga tidak percaya dengan berita kematian Krisna yang menyebar di Media?
Ribuan pertanyaan berkecamuk di benakku. Jika bukan Krisna, aku tidak akan segila ini. Wajah Krisna dan Riko berdampingan dalam bayangan. Mungkinkah karena perasaanku yang belum sepenuhnya untuk Riko, sehingga Riko selalu curiga dan cemburu? Mungkinkah karena aku yang berdosa memikirkan Krisna sehingga rumah tangga kami terasa kurang berkah?
“Assalaamualaikum!”
Suara seorang perempuan terdengar jelas dari kamar. Aku kenal suara itu, itu suara Eyang Putri. Segera aku keluar disusul Ibu dan Arkana yang sudah lancar berjalan.
“Waalaikumsalam! Eh ada Eyang, silakan masuk!” Ibu menyambutnya dengan ramah. Seperti biasa, Ibu tidak pernah memperlihatkan kekecawaan atau amarah pada siapapun. Ia selalu menasehatiku, sebenci-bencinya kita pada manusia, jangan pernah memperlihatkannya.
Aku menyalami Eyang Putri dan Eyang Kakung dengan takzim. Sudah kuduga mereka akan datang ke sini, tidak mungkin Riko tidak mengeluh terus menerus pada orangtuanya. Selama keinginannya belum tercapai, Riko akan terus membujuk dan meminta bantuan ibu bapaknya.
“Duduk Eyang, diantar siapa?” Tanyaku sambil menyiapkan minuman dan pisang goreng. Tumben juga Ibu menggoreng pisang yang baru matang dari pohon, biasanya dia membiarkannya tergeletak sampai sore.
“Itu loh sama Mas Riko, dia masih di mobil.” Tak lama orang yang disebutkan datang. Riko menyalami Ibu, aku, dan memeluk Arkana. Sedangkan Aksa, masih mengaji di masjid sampai isya nanti.
Setelah berbasa-basi menanyakan kabar kami sekeluarga, akhirnya Eyang Kakung membuka percakapan.
“Begini, saya sadar selama ini saya salah dalam mendidik anak. Riko itu memang tidak paham cara mengelola usaha ataupun uang. Saat ini, rumah Riko yang di Karawaci sudah dijual. Saya sudah berunding, sebaiknya mulai sekarang dia tidak boleh memegang uang lagi. Biarlah Raina yang mengatur semuanya. Dan mengenai tempat tinggal, jika Raina lebih betah di Bogor karena dekat dengan kantor, saya sudah meminta Riko untuk pindah ke Bogor. Mungkin, kalian bisa mencari rumah yang dekat-dekat Parung atau desa ini, supaya harganya terjangkau. Dan soal utang-utang Riko, semuanya sudah diselesaikan dari hasil penjualan rumah. Saya kira, harga rumah di sini tidak semahal di Jakarta. Jadi, cobalah kalian memulai kembali segalanya dari awal.”
Aku dan Ibu saling berpandangan. Penjelasan Eyang Kakung begitu ringan seolah persoalan rumah tanggaku hanya sebatas materi. Seakan-akan, jika masalah keuangan selesai, maka masalah kami juga tuntas. Apa perlu aku jelaskan lagi, bahwa titik masalahnya bukan soal materi. Bahwa karakter Riko yang sering berbohong dan terlalu posesif itulah yang menjadi masalah. Semua itu berakar dari ketidakpercayaan. Bagaimana mungkin rumah tangga yang dicita-citakan menjadi sakinah, akan terwujud jika tidak berlandaskan saling percaya.
“Terima kasih Eyang atas niat baiknya. Tapi, keputusan saya sudah bulat. Anggaplah saya yang salah karena tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan rumah tangga ini. Anggap saja saya yang salah karena tidak bisa menerima kekurangan Mas Riko.”
Eyang Putri tiba-tiba menangis, “Maafkan Mas Riko Raina, Eyang sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Tapi Mas Riko akan berubah mulai sekarang, dia akan menuruti semua keinginan kamu. Kasihan cucu Eyang kalau sampai kalian berpisah.” Jelas Eyang sambil terisak-isak.
Ibu hanya terdiam dan mengamati. Sedangkan Riko tetap menundukkan wajahnya tanpa berkata-kata. Ia menjadi pengecut yang tidak berani bertindak seorang diri. Ah, bukankah selama ini pun memang seperti itu.
“Iya Eyang, saya sudah maafkan. Kita harus saling memaafkan. Saya juga banyak salah, belum bisa menjadi istri yang baik buat Mas Riko. Tapi sekali lagi, saya mohon maaf, saya tidak bisa hidup bersama dengan Mas Riko. Mungkin jodoh kami hanya sampai di sini. Insya Allah untuk urusan Arkana, saya tidak akan membatasi jika Mas Riko dan keluarga ingin bertemu.”
Entah kenapa, kata-kataku begitu lancar siang itu. Eyang putri masih terisak dan Eyang Kakung termenung. Orang yang seharusnya meminta maaf, malah mematung tanpa mejelaskan apa-apa.
“Maaf Yangti, kalau boleh saya berpendapat!” tiba-tiba Ibu ikut bersuara.
“Begini, menurut saya, sebaiknya dibiarkan saja dulu. Mungkin Raina masih emosi. Kita ikuti saja keinginan Raina yang masih ingin tinggal di sini. Kalaupun ternyata masih berjodoh, tidak menutup kemungkinan bakal rujuk kembali."