Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 18 ~
Aku mengganti lingerie dengan overal dress yang ku padukan dengan manset lilac dan hijab senada. Setelah makan malam, aku bisa langsung pergi ke rumah sakit untuk menginap di sana menemani Lala.
Saat aku menuruni anak tangga, pintu kamar mas Bima masih sama seperti ketika aku menatapnya beberapa menit lalu. Itu berarti mas Bima masih belum keluar dari kamarnya.
Tak ingin mengganggu, aku melangkahkan kaki menuju dapur, menyiapkan alat makan dan juga air minum.
Cukup lama aku duduk dan menunggu, mas Bima tak kunjung ke ruang makan, aku memutuskan ke kamar mas Bima untuk memanggilnya.
"Mas" Ku ketuk pintunya pelan.
"Masuk!"
Aku tak berani masuk, aku hanya membukanya sedikit dan berdiri di ambang pintu seperti yang biasa ku lakukan ketika memanggil mas Bima yang sedang berada di kamar.
"Kita makan dulu, mas!"
"Ya"
Sejenak, aku merasa bersalah, tapi di sisi lain seperti ada amarah tertahan yang ingin ku tumpahkan.
Hanya saja aku tak tahu bagaimana caranya.
"Kenapa masih berdiri di situ?" tanya mas Bima ketika aku tetap berdiri di depan kamarnya dengan pandangan menatap lantai "Mau melanjutkan pembicaraan yang tadi?"
Ucapan mas Bima membuatku menoleh ke arahnya. Ku lihat dia sudah tampak lebih fresh dari sebelumnya dengan pakaian rapi yang melekat di tubuhnya.
"Makan sekarang, kita sudah di tunggu Lala"
Dia langsung mematikan komputernya begitu mendengar nama putrinya.
"Cepat sedikit, ya! Aku tunggu di ruang makan"
Usai mengatakan itu, tanpa menunggu jawaban mas Bima, aku memilih kembali ke ruang makan.
Wajahnya kaku, matanya tajam, gesture tubuhnya selalu menyiratkan keseriusan serta ketegasan. Benar-benar tak ada sorot hangat dan kerlingan jahil, atau candaan yang membuatku tergelak sedikit saja. Pun dengan perkataan dan tindakannya membuatku segan untuk mendekat atau merayunya lebih dulu.
Selagi melangkahkan kaki menuju ruang makan, aku menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba, ada rasa nyeri yang semakin kuat mencengkram sampai aku merasa oksigen yang masuk justu menyakitiku.
Rasanya seharian ini bukan hanya tenaga yang terkuras habis, emosiku pun seakan di terjang badai yang begitu hebat. Soal cerita mami dan juga perdebatan beberapa saat lalu.
Kepercayaan dan kesetiaan?
Entahlah, mana yang lebih mahal.
****
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku kembali merasakan denyutan tak kasat mata yang seolah menerjang hatiku. Setelah perdebatan tadi, aku dan mas Bima saling diam, mas Bima seperti menarik diri, begitu pula denganku yang enggan banyak bertanya.
Kami seperti kembali ke keadaan di awal menikah.
Rasa canggung yang sebelumnya sedikit berkurang, kini kembali menebal bak kabut asap yang mampu menghalangi penglihatan.
Aku yang duduk di samping kemudi, seakan tak tampak oleh mas Bima, begitupun sebaliknya, aku seperti sendiri di dalam mobil ini, tak ada suara apapun kecuali lampu sign dan klakson yang sesekali mas Bima bunyikan.
Setibanya di rumah sakit, mbak Zara dan mbak Kanes langsung pulang. Aku melihat Lala sudah tertidur lelap di atas bed, mungkin efek dari obatnya yang membuat Lala mengantuk.
Aku duduk di samping ranjang seraya menatap putri kecilku dalam-dalam. Bibirku tersungging melihat wajah Lala yang begitu mirip dengan mas Bima. Bukan hanya wajah, tatapan serta sikap tegasnya pun menurun dari mas Bima.
Hanyut dalam euforia wajah imut Lala, tubuhku berjengit ketika ponsel di atas pangkuanku berdering. Pandanganku yang tadi menatap Lala, kini ku alihkan pada layar yang berkedip.
Riska Calling...
Tak ingin suaraku mengganggu ketenangan Lala, aku memilih ke luar kamar untuk menerima panggilan dari teman sekantorku.
"Mas"
"Hmm" pria itu tak menatapku, fokusnya terus terarah ke layar ponsel yang berada di tangan kirinya.
"Aku angkat telfon dulu di luar"
"Hmm" untuk kedua kalinya ucapanku di respon dengan deheman. Rasanya tangan ini benar-benar ingin melayang dan mendarat di pipinya.
"Assalamu'alaikum, Ris!"
"Wa'alaikumsalam. Gimana Lala, Bi?"
"Sudah agak turun demamnya, kalau nanti malam nggak naik, kemungkinan besok sudah bisa pulang" Aku mendudukkan diri di bangku.
"Syukurlah, cepat sembuh buat Lala ya"
"Aamiin,,, makasih Ris"
"Sama-sama! Oh ya Bi, besok rencananya aku mau jengukin Lala ke rumah sakit, sekalian mau antar dokumen yang harus kamu tanda tangani"
"Kenapa repot-repot di bawain?"
"Nggak apa-apa Bi, soalnya hari senin kan sudah harus di laporkan ke provinsi, takutnya kamu senin masih ijin"
"Enggak lah, aku senin insya Allah sudah berangkat"
"Besok pagi ya, tunggu aku di lobi rumah sakit"
"Okay! Makasih sebelumnya lho, Ris"
"Kamu ini lho Bi, kayak sama siapa aja, makasihnya nggak habis-habis"
Aku tersenyum dari sini.
"Bi"
"Ya"
"Dapat salam juga dari pak Firman. Katanya nggak ada kamu, nggak ada pemandangan indah yang di lihat"
"Salam balik, bercandanya keterlaluan tahu"
"Kamu tahu sendiri kan, kakek-kakek satu itu. Kalau ada pegawai seger, cantik, yang nggak masuk kerja, pasti nyeletuknya begitu"
"Hemm"
"Ya sudah Bi, anakku rewel"
"Yupps"
"Sampai jumpa besok ya, Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Aku tak langsung masuk usai memutuskan panggilan.
Duduk di kursi depan ruangan Lala, aku bermaksud menghirup udara segar yang terbebas dari manusia jelmaan es kutub seperti mas Bima.
Setidaknya aku bisa menenangkan diri sejenak sekaligus menjernihkan pikiran di sini.
"Arimbi"
Aku mendongak mencari netra yang memanggil namaku.
"Mas Saka" Sosoknya yang anggun dan berwibawa dengan pakaian dokter kebanggaannya, berdiri di depanku dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku snelly. Ada stetoscope menggantung di lehernya yang melengkapi atribut profesinya.
Aku bangkit dari dudukku.
"Kok disini? Apa anakmu di rawat?"
"Iya mas"
Mas Saka melirik ke arah pintu kamar Lala. "Jadi yang di kamar ini anakmu, Bi?"
"Iya"
"Tapi pas aku periksa tadi, kok bukan kamu yang di dalam?"
"Aku baru datang, mas. Tadi itu yang jaga kakak-kakaknya suamiku"
"Oh" Sahutnya ringan. "Sepertinya sudah membaik, Bi. Besok kalau demamnya nggak naik, insya Allah sudah bisa pulang"
Aku mengangguk paham.
Tak lama setelah itu, mas Bima membuka pintu kamar Lala. Aku dan mas Saka sama-sama mengalihkan pandangan ke arah mas Bima yang tengah menutup kembali pintu itu.
Rautnya seperti terkejut mendapati aku tengah mengobrol dengan mas Saka.
"Mas Saka, ini suamiku" Aku memperkenalkan mas Bima padanya ketika mas Bima sudah berdiri di antara aku dan mas Saka.
"Ini teman kakak tingkatku saat kuliah, mas"
"Bimasena Anggara" Ucapnya tegas dan sangat jelas, sembari mengulurkan tangan.
"Sang Saka Dikara" balas mas Saka tak kalah tegas.
"Ku kira Sang Saka Merah Putih"
"Mas" Aku melirik mas Bima dengan tajam. Tak percaya jika mas Bima sefrontal itu.
Sementara mas Saka tersenyum kecut.
"Biasa Bi, kamu sendiri tahu, nggak cuma suamimu yang nyeletuk gitu, teman-teman kita yang lain, bahkan kamu juga dulu begitu kan, pas awal-awal kita kenalan"
"Maaf ya mas" Aku tersenyum tak enak hati.
Mas saka membalasku dengan senyuman lengkap dengan anggukkan kepala.
"Okay mas Bima, semoga putrinya lekas sembuh"
"Terimakasih, mas Saka" Mas Bima menyunggingkan senyum
"Aku ke ruanganku dulu Bi, lama-lama aku kedinginan disini"
"Oh, iya mas Silakan!"
"Mari, mas Bima"
"Silakan" balas Mas Bima.
Seperginya mas Saka, aku dan suamiku sempat bertukar pandang.
"Ada apa dengannya? Dia menyindirku?"
Aku merespon mas Bima dengan kedikkan bahu, lantas melangkah masuk ke kamar Lala.
Sepertinya mas Bima langsung mengekori langkahku.
Saat kami sudah berada di dalam ruangan Lala, mas Bima bersuara dari balik punggungku.
"Bukankah itu pria yang menemuimu tadi pagi saat masih di IGD?"
Aku langsung berbalik begitu mendengar pertanyaan mas Bima lalu menatapnya dengan sorot terkejut.
Bersambung
jujur pgn jg ada kisah ttg kalangan menengah ke bawah. Misal guru SD, dokter yg bertugas di desa terpencil dg kehidupan yg sederhana...ato apalah...😁
tp gpp lah ...nikmati kisah rumah tangganya sj...
lanjutt... .
pasti Bima ke hotel itu ngelabrak Gesya krn sdh blg yg engga2 ke Arimbi wkt itu. Gesya itu licik, pandai memanfaatkan situasi, mgkn pas Bima telp mo ngemabrak...Gesya sengaja menyuruh menemui di hotel. sengaja menciptakan kesalah pahaman dg dibantu Yoga....