selingkuhan suamiku merampok semua hartaku dan papaku, suamiku berubah saat bertemu wanita iblis bernama Syifa, aku tidak menyangka perubahan sikap yang ditunjukkan oleh suamiku karena pengaruh guna-guna wanita iblis bernama Syifa itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
curhat Alice kepada Bu Anita
Richard melangkah keluar dari pintu kantor pengadilan, wajahnya tampak lelah, tetapi ada secercah kelegaan yang terpancar dari matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa di dadanya. Proses perceraiannya dengan Alice akhirnya selesai. Ia resmi bercerai.
Syifa sudah menunggu di mobilnya. Ia melihat Richard berjalan mendekat, wajahnya tampak khawatir. Ia segera keluar dari mobil dan menghampiri Richard.
"Ric," panggil Syifa, suaranya lembut. Ia memeluk Richard erat-erat. "Gimana? Udah selesai?"
Richard mengangguk, memeluk Syifa balik. "Udah, Sayang," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Aku udah resmi bercerai sama Alice."
Syifa tersenyum lega. "Alhamdulillah," gumamnya. Ia merasa sangat bahagia. Setelah sekian lama menunggu, Richard akhirnya bebas dari ikatan pernikahannya dengan Alice. Ia tahu bahwa Richard telah menderita selama ini, dan ia sangat bersyukur bahwa semuanya telah berakhir.
Richard melepaskan pelukannya, menatap Syifa dengan mata yang penuh cinta. "Aku bebas, Sayang," katanya, suaranya penuh emosi. "Aku bebas untuk memulai hidup baru bersamamu."
Syifa tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku selalu ada untukmu, Ric," jawabnya, suaranya lembut. Ia tahu bahwa jalan di depan mereka masih panjang, tetapi ia yakin bahwa mereka akan mampu melewatinya bersama-sama. Mereka akan membangun kehidupan baru yang lebih bahagia.
Richard melangkah keluar dari pintu pengadilan, wajahnya tampak lelah, namun ada kelegaan yang terpancar dari matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih terasa. Proses perceraiannya dengan Alice akhirnya selesai.
Syifa, yang menunggu di mobil, menyambutnya dengan senyuman. Namun, senyuman itu bukanlah senyuman tulus. Di balik senyum itu, tersimpan rencana licik yang telah lama ia rancang. Senyumnya licik, tajam, seperti seekor serigala yang telah mendapatkan mangsanya.
"Ric," sapa Syifa, suaranya terdengar manis, namun matanya berkilat dengan ambisi. Ia memeluk Richard, namun pelukannya terasa dingin dan tanpa rasa sayang.
"Udah selesai?" tanya Syifa, suaranya menunjukkan ketidaksabaran.
Richard mengangguk, "Udah, Sayang." Ia belum menyadari niat licik Syifa.
Syifa melepaskan pelukannya, senyum liciknya semakin terlihat jelas. Dalam hatinya, ia berpikir, "Akhirnya, Alice telah ku kulit. Sekarang, giliran suamiku." Ia membayangkan harta kekayaan Richard akan menjadi miliknya. Harta Alice sudah menjadi miliknya, dan sekarang ia akan mendapatkan semuanya. Rencana liciknya telah berhasil. Ia merasa menang.
Alice dan Richard keluar dari gedung pengadilan, jarak di antara mereka terasa seperti jurang. Alice berjalan lebih dulu, langkahnya mantap, bahkan sedikit cepat. Richard mengikuti di belakang, kepala sedikit menunduk. Di luar gedung, mereka berhenti sejenak, terhenti oleh keheningan yang berat. Alice berbalik, tatapannya dingin, namun ada kelegaan yang tersirat di dalamnya. Bukan kelegaan karena bebas dari Richard, melainkan kelegaan karena akhirnya ia bisa melangkah maju.
"Ini sudah selesai, Richard." ujarnya Alice suaranya tenang tapi tegas.
Richard mengangkat wajahnya, matanya sembab. Ia terlihat lelah, dan ada secercah penyesalan yang samar di wajahnya.
"Alice... aku..." ujar Richard suaranya serak.
Alice memotongnya, namun suaranya tidak lagi penuh amarah, lebih kepada kepasrahan "Jangan. Tidak perlu ada kata-kata lagi. Semua sudah terucap, baik yang terlontar maupun yang tersirat." ujar Alice. Ia menatap Richard sejenak, lalu melanjutkan, "Aku harap kau bisa menemukan kedamaian, Richard. Tapi, itu bukan urusanku lagi."
Richard menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan, tapi ia tahu tidak ada kata-kata yang mampu memperbaiki segalanya.
"Aku... aku benar-benar menyesal." ujar Richard, suaranya hampir tak terdengar
Alice mengangguk pelan, tatapannya masih tertuju pada Richard, namun ada sedikit rasa iba yang terpancar. Bukan iba karena kasihan, melainkan iba karena melihat betapa hancurnya Richard.
"Aku juga berharap begitu." ujar alice
Alice berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Richard sendirian. Richard tetap berdiri di tempatnya beberapa saat, memandangi punggung Alice yang menjauh. Ia tidak mengejarnya, tidak memanggilnya. Ia hanya berdiri di sana, menanggung beban kesendirian dan penyesalannya. Perpisahan mereka terasa sunyi, tanpa drama, hanya kesunyian yang penuh makna. Ini bukan akhir yang dramatis, melainkan akhir yang realistis, mencerminkan kenyataan pahit dari sebuah perpisahan yang menyakitkan.
Alice duduk di kursi belakang mobilnya, wajahnya terlihat lesu meskipun ia baru saja memenangkan gugatan cerainya. Ia menatap ke luar jendela, pandangannya kosong. Pengacaranya, Bu Anita, duduk di kursi depan, menunggu Alice untuk berbicara. Keheningan di dalam mobil terasa berat, dipenuhi oleh kesedihan yang terpendam.
Setelah beberapa saat terdiam, Alice akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lirih.
"Bu Anita… sebenarnya… saya hampir tidak mendapatkan apa-apa." ujar Alice.
Bu Anita mengangguk, mengerti apa yang Alice rasakan. Ia tahu bahwa perceraian ini tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga secara finansial.
"Saya mengerti, Nona Alice. Proses hukum memang seringkali tidak adil. Tapi, kita telah berusaha sebaik mungkin." ujar Bu Anita.
"Saya tahu, Bu. Tapi… Syifa… perempuan licik itu… dia telah mengambil hampir semua harta saya. Bisnis Papa, rumah, investasi… semuanya." Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Alice. "Hanya mobil ini… mobil ini saja yang berhasil saya selamatkan." ujar Alice.
Bu Anita mengulurkan tangannya, menempatkan tangannya di atas tangan Alice untuk memberikan dukungan.
"Saya turut berduka cita, Nona Alice. Tapi, ingatlah bahwa Anda masih memiliki banyak hal yang berharga. Anda masih memiliki kesehatan, keluarga, dan juga masa depan yang cerah." ujar Anita.
"Saya tahu, Bu. Tapi… sulit untuk tidak merasa marah dan kecewa. Semua kerja keras Papa… semua yang telah kami bangun bersama… lenyap begitu saja di tangan perempuan itu." ujar Alice.
Bu Anita mengangguk lagi, mendengarkan Alice dengan penuh empati. Ia tahu bahwa Alice membutuhkan waktu untuk memproses semua yang telah terjadi.
"Ambillah waktu Anda, Nona Alice. Jangan ragu untuk menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan. Kita akan cari cara untuk memulihkan kerugian Anda, sejauh yang memungkinkan." ujar Anita.
Alice mengangguk, menahan air matanya. Ia tahu bahwa jalan menuju pemulihan akan panjang dan sulit, namun ia yakin bahwa ia akan mampu melewatinya. Ia masih memiliki keluarga, teman-teman, dan juga kekuatan di dalam dirinya. Ia akan bangkit dari keterpurukan ini, dan membangun kembali
hidupnya. Mobil melaju terus, membawa Alice menuju masa depan yang masih belum pasti, namun penuh dengan harapan.
Alice duduk di kursi belakang mobilnya, wajahnya terlihat lesu meskipun ia baru saja memenangkan gugatan cerainya. Ia menatap ke luar jendela, pandangannya kosong. Pengacaranya, Bu Anita, duduk di kursi depan, menunggu Alice untuk berbicara. Keheningan di dalam mobil terasa berat, dipenuhi oleh kesedihan yang terpendam.
Setelah beberapa saat terdiam, Alice akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lirih.
"Bu Anita… sebenarnya… saya hampir tidak mendapatkan apa-apa." ujar Alice.
Bu Anita mengangguk, mengerti apa yang Alice rasakan. Ia tahu bahwa perceraian ini tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga secara finansial.
"Saya mengerti, Nona Alice. Proses hukum memang seringkali tidak adil. Tapi, kita telah berusaha sebaik mungkin." ujar Anita
"Saya tahu, Bu. Tapi… Syifa… perempuan licik itu… dia telah mengambil hampir semua harta saya. Bisnis Papa, rumah, investasi… semuanya." Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Alice. "Hanya mobil ini… mobil ini saja yang berhasil saya selamatkan." ujar Alice
Bu Anita mengulurkan tangannya, menempatkan tangannya di atas tangan Alice untuk memberikan dukungan.
"Saya turut berduka cita, Nona Alice. Tapi, ingatlah bahwa Anda masih memiliki banyak hal yang berharga. Anda masih memiliki kesehatan, keluarga, dan juga masa depan yang cerah." ujar Bu Anita.
"Saya tahu, Bu. Tapi… sulit untuk tidak merasa marah dan kecewa. Semua kerja keras Papa… semua yang telah kami bangun bersama… lenyap begitu saja di tangan perempuan itu." ujar Alice
Bu Anita mengangguk lagi, mendengarkan Alice dengan penuh empati. Ia tahu bahwa Alice membutuhkan waktu untuk memproses semua yang telah terjadi.
"Ambillah waktu Anda, Nona Alice. Jangan ragu untuk menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan ujar Bu Anita. Kita akan cari cara untuk memulihkan kerugian Anda, sejauh yang memungkinkan."
Alice mengangguk, menahan air matanya. Ia tahu bahwa jalan menuju pemulihan akan panjang dan sulit, namun ia yakin bahwa ia akan mampu melewatinya. Ia masih memiliki keluarga, teman-teman, dan juga kekuatan di dalam dirinya. Ia akan bangkit dari keterpurukan ini, dan membangun kembali hidupnya. Mobil melaju terus, membawa Alice menuju masa depan yang masih belum pasti, namun penuh dengan harapan.